Newsletter

Suku Bunga AS Bisa Minus, Serius?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 May 2020 05:43
Ilustrasi Dollar
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengalami koreksi pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah ditutup melemah.

Kemarin, IHSG finis dengan pelemahan yang cukup dalam yaitu 1,09%. IHSG menjadi indeks saham terlemah kedua di Asia, hanya unggul dari Weighted Index Taiwan yang anjlok 1,21%.

Sementara rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,2% di hadapan dolar AS. Meski depresiasinya relatif terbatas, tetapi sudah cukup untuk menjadikan rupiah sebagai yang terlemah di Benua Kuning.


Dari dalam negeri, data ekonomi terbaru membuat investor ragu untuk masuk ke pasar keuangan Tanah Air. Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel pada Maret 2020 turun 4,5% year-on-year (YoY), lebih dalam ketimbang penurunan bulan sebelumnya yang sebesar 0,8%.

Pada April, penjualan ritel diperkirakan lebih anjlok lagi dengan penurunan mencapai 11,8%. Jika terjadi, ini adalah yang terlemah sejak November 2008.



Data ini menggambarkan betapa suramnya prospek perekonomian nasional. Sebab ternyata momentum Ramadan saja tidak mampu mendongrak penjualan ritel. Padahal Ramadan semestinya menjadi puncak konsumsi rumah tangga. Kalau puncaknya saja seperti ini, bagaimana dengan bulan-bulan ke depan...


Sementara dari faktor eksternal, investor bimbang karena melihat ada pertanda penyebaran virus corona (Coronavirus Disesase-2019/Covid-19) di beberapa negara mengalami percepatan. Dikhawatirkan apa yang menjadi ketakutan selama ini bisa kejadian yaitu gelombang serangan kedua (second wave outbreak).

Apabila second wave outbreak benar-benar terjadi (amit-amit), maka perekonomian dunia yang 20harusnya bisa mulai bangkit pada kuartal III-2019 menjadi penuh tanda tanya. Akan sangat sulit untuk bangkit jika virus yang mengancam keselamatan nyawa masih bergentayangan.



Kabar kurang sedap datang dari bursa saham New York. Tiga indeks utama ditutup melemah tajam, di mana Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 1,89, S&P 500 berkurang 2,05%, dan Nasdaq Composite ambles 2,06%.

Volatilitas pasar yang tercermin dari indeks VIX juga meningkat tajam. Pada pukul 04:09 WIB, indeks mendapat julukan fear index itu meroket 19,84% ke 33,04, tertinggi sejak 6 Mei.



Pelaku pasar benar-benar mencemaskan potensi gelombang serangan kedua virus corona seiring dengan mulai dibukanya kembali keran aktivitas publik. Anthony Fauci, Direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases, menyatakan bahwa virus corona belum sepenuhnya jinak sehingga pelonggaran pembatasan sosial (social distancing) yang prematur bisa membahayakan nyawa banyak orang.

"Saya rasa kita berada di jalan yang benar, tetapi bukan berarti kita sudah bisa mengendalikan penyebaran. Ada risiko yang sangat nyata bahwa kita mungkin bisa memicu penyebaran yang mungkin tidak bisa kita kontrol, dan membuat kita mundur lagi. Tidak hanya menyebabkan kematian yang seharusnya bisa dihindari, tetapi juga membuat kita mundur dalam hal menuju pemulihan ekonomi," tegas Fauci dalam rapat dengan Kongres AS, seperti diberitakan Reuters.


Fauci mendesak agar pemerintah negara bagian untuk benar-benar memperhatikan rekomendasi otoritas kesehatan sebelum melakukan pembukaan kembali (reopening) aktivitas publik. Harus dipastikan terlebih dulu bahwa memang terjadi penurunan jumlah kasus.

Mengutip data US Centers for Disease Control and Prevention, jumlah kasus corona di Negeri Paman Samm per 11 Mei adalah 1.324.488. Naik dibandingkan posisi per hari sebelumnya yaitu 1.300.696.

Saat ini, sejumlah negara bagian sudah mulai memperbolehkan warga untuk kembali berkegiatan meski dibatasi. Pabrik-pabrik-pabrik mulai beroperasi lagi meski dengan jumlah karyawan yang belum 100%.

AS dihadapkan kepada masalah pelik. Di satu sisi penyebaran virus corona masih terjadi, meski dalam tren yang melambat. Namun di sisi lain angka pengangguran melonjak akibat social distancing. Pada April, tingkat pengangguran mencapai 14,7%, tertinggi sejak Perang Dunia II.

"Dari sisi kesehatan, kita bisa mundur lagi kalau membuka diri terlalu awal. Namun kalau tidak segera dibuka, maka kita akan menghadapi bencana ekonomi," kata Phil Blancato, COE Ladenburg Thalmann Asset Management yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.


Kebimbangan dan ketidakpastian ini membuat investor ogah mengambil risiko. Oleh karena itu, pasar saham menjadi dihindari.


Untuk perdagangan hari ini, ada sejumlah sentimen yang perlu dicermati. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang memprihatinkan. Koreksi dalam di Wall Street bisa mempengaruhi mental investor di pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia.

Kedua adalah perkembangan pandemi virus corona. Ada tendensi peningkatan kasus yang membuat upaya reopening menjadi perlu dipikirkan kembali.

Di Jepang, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah kasus corona per 12 Mei adalah 15.874. Naik 0,48% dibandingkan posisi per hari sebelumnya. Kenaikan 0,48% lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan hari sebelumnya yaitu 0,32%.

Di Indonesia juga terjadi percepatan laju kenaikan kasus. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan jumlah pasien positif corona per 12 Mei adalah 14.749 orang. Naik 3,39% dibandingkan per hari sebelumnya. Kenaikan 3,39% adalah yang tertinggi sejak 9 Mei.


Bahkan pemerintah sudah memberi wanti-wanti bahwa pekan depan mungkin jumlah kasus akan meroket. Ini terjadi seiring pengujian akan dilakukan dengan lebih masif.

Isu wabah virus corona masih akan mendominasi sentimen di pasar. Sebelum pandemi virus yang bermula dari kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat ini reda, sulit untuk berharap kita bisa hidup tenang. Risiko perlambatan bahkan kontraksi ekonomi menjadi sangat nyata.

"Ada persepsi bahwa yang terburuk sudah berlalu. Namun jujur saja, rasanya itu masih terlalu prematur. Kita melihat ada kenaikan jumlah kasus di beberapa tempat, tetapi belum jelas ke mana arahnya," kata Keith Buchanan, Portfolio Manager di GLOBALT yang berbasis di Atlanta, seperti dikutip dari Reuters.


Sentimen kedua, investor perlu mewaspadai reaksi yang berlebihan jelang pidato Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Jerome 'Jay' Powell di hadapan Kongres pada malam ini waktu Indonesia. dalam pidato tersebut, investor berharap ada petunjuk baru dari The Fed terkait arah kebijakan ke depan.

Sejumlah pelaku pasar kini berani bertaruh bahwa suku bunga acuan di Negeri Adidaya bisa memasuki teritori negatif. Sekarang suku bunga memang sudah mendekati nol, yaitu 0-0,25%.

Data Bank of America Securities menyebutkan bahwa ada peluang 23% suku bunga acuan AS bisa di bawah 0% pada akhir tahun ini. Pekan lalu, peluangnya masih 10%.

Wacana suku bunga negatif lebih kencang berembus setelah datang data ekonomi terbaru. Pada April, AS mencatat deflasi -0,8% secara bulanan (month-on-month/MoM). Ini adalah catatan terendah sejak Desember 2008.



Inflasi rendah, bahkan sampai deflasi, menunjukkan bahwa ada ruang bagi kebijakan moneter yang lebih akomodatif untuk mendorong permintaan. Oleh karena itu, isu suku bunga minus menjadi semakin santer.


Akibatnya, dolar AS pun menjadi tertekan. Pada pukul 05:19 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) turun 0,23%.

Sejatinya tekanan terhadap dolar AS bisa menjadi peluang bagi rupiah untuk kembali menguat. Namun peluang itu menjadi samar-samar ketika pada saat yang sama investor juga mencemaskan risiko gelombang kedua serangan virus corona.


Berikut adalah sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

1. Media briefing tentang program Pemulihan Ekonomi Nasional (10:00 WIB).
2. Rilis data pengangguran Korea Selatan (06:00 WIB).
3. Pembacaan pertama angka pertumbuhan ekonomi Inggris kuartal I-2020 (13:00 WIB).
4. Rili data cadangan minyak AS periode pekan yang berakhir 6 Mei (21:30 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q I-2020 YoY)

2,97%

Inflasi (April 2020 YoY)

2,67%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (April 2020)

4,5%

Surplus/defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Surplus/defisit transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Surplus/defisit Neraca Pembayaran Indonesia (2019)

US$ 4,68 miliar

Cadangan devisa (April 2020)

US$ 127,88 miliar


Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di 
sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Corona Makin Gawat, China & Negara Barat Malah Main 'Silat'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular