
Newsletter
Trump Beri Bantuan Jokowi, Modal Asing Bakal Masuk ke RI?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 April 2020 06:07

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri bergerak bervariasi pada pekan lalu. Berbagai sentimen dari luar negeri dan dalam negeri memberikan dampak yang cukup signifikan, mulai dari ambrolnya harga minyak mentah dunia hingga pelarangan beroperasinya penerbangan komersial serta keluar masuknya kendaraan di Jabodetabek.
Sementara itu pada hari ini Senin (27/4/2020) pasar keuangan Republik Indonesia (RI) berpeluang menguat, sentimen penggerak hari ini akan dibahas di halaman 3. Salah satu sentimen positif datang dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai teman dan berencana memberikan bantuan untuk menghadapi pandemi penyakit virus corona (COVID-19).
Ketika sentimen pelaku pasar membaik, tentunya aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi akan kembali menjadi incaran. Aliran modal bisa masuk kembali ke RI mengingat yield yang masih cukup tinggi.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot 2,99%, dalam lima hari perdagangan, IHSG tercatat menguat 2 hari (Rabu dan Kamis) dan melemah 3 hari. Investor asing juga melakukan aksi jual bersih (net sell) yang cukup besar, Rp 2,67 triliun di pasar reguler dan non-regular, berdasarkan data RTI.
Sementara rupiah berhasil menguat 0,32%, meski tidak terlalu besar tapi sudah cukup bagi rupiah untuk membukukan hat-trick alias penguatan tiga pekan beruntun melawan dolar AS. Kinerja rupiah di bulan ini cukup impresif, secara month-to-date tercatat menguat 5,83%.
Dari pasar obligasi, yield tenor 10 tahun turun tipis 0,3 basis poin (bps) menjadi 7,924%.
Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya, ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik. Ketika harga naik, itu berarti sedang ada aksi beli di pasar obligasi.
Meski demikian, dalam sepekan hingga Kamis (23/4/2020) investor asing tercatat melepas kepemilikan di obligasi sebesar Rp 100 miliar, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.
Jika kondisi pasar global kembali stabil, yield obligasi Indonesia yang cukup tinggi tersebut tentunya menarik para investor untuk mengalirkan modalnya ke dalam negeri.
Di awal pekan lalu, jagat finansial global dibuat heboh setelah harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mengakhiri perdagangan Senin (20/4/2020) di wilayah minus, pertama kali sepanjang sejarah. Berdasarkan dara Refinitiv, minyak WTI sempat ambles hingga US$ -40,32/barel sebelum mengakhiri perdagangan di US$ -37,63/barel atau ambles 305,97% di awal pekan.
Harga minyak WTI minus merupakan untuk kontrak Mei yang expired pada Selasa (21/4/2020), dan kontrak yang paling aktif diperdagangkan adalah bulan Juni. Di akhir perdagangan Senin, minyak WTI kontrak Juni berada di level US$ 20,43/barel dan lebih tepat menggambarkan pasar minyak mentah yang sebenarnya.
Namun, pada perdagangan Selasa minyak WTI kontrak Juni tersebut akhirnya ambles juga, sempat menyentuh level terendah intraday US$ 6,5/barel sebelum mengakhiri perdagangan di level US$ 11,57/barel. Harga minyak Brent juga ikut ambles ke bawah US$ 20/barel dan mencapai level terendah sejak 2001.
Sontak hal tersebut membuat sentimen pelaku pasar memburuk yang membuat aset-aset berisiko berguguran.
Harga minyak mentah biasanya dijadikan acuan tingkat aktivitas ekonomi global, sebab ketika roda perekonomian berputar dengan cepat, permintaan minyak mentah untuk industri akan menjadi tinggi, dan harga minyak mentah akan naik.
Sebaliknya, ketika harga minyak mentah terus menurun, itu artinya permintaan rendah dan roda perekonomian melambat, atau bahkan terhenti sehingga tidak ada permintaan minyak mentah yang membuat harganya menjadi negatif.
"Dalang" dari semua ini sudah jelas, virus corona yang membuat banyak negara menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) sehingga aktivitas ekonomi terhenti.
Secara global laju penambahan kasus sudah mulai melambat. Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) laju penambahan kasus sudah satu digit persentase setiap harinya sejak 30 Maret lalu. Pada periode 30 Maret hingga 25 April lalu, penambahan kasus per hari berada di kisaran 58.000 sampai 93.000 kasus. Secara persentase, pada 25 April lalu, jumlah penambahan kasus hanya 3,56%, sehingga total menjadi 2,72 juta kasus.
Selain itu, beberapa negara di Eropa juga sudah berencana membuka lockdown setelah penyebaran COVID-19 melambat. Italia berencana membuka lockdown secara bertahap pada 4 Mei nanti. Italia dan Spanyol bahkan sudah mengijinkan warganya mulai beraktivitas meski terbatas sejak dua pekan lalu.
Kemudian Jerman juga mulai mengizinkan warganya beraktivitas, toko-toko kecil sudah diizinkan buka kembali sejak Senin, dan sekolah mulai aktif lagi per 4 Mei. Belanda juga berencana membuka lockdown secara bertahap mulai 11 Mei.
Roda bisnis di Eropa yang mulai berputar kembali tentunya menjadi kabar bagus, perekonomian global bisa perlahan bangkit dari keterpurukan.
Sementara itu dari dalam negeri, penambahan kasus COVID-19 masih dalam tren naik, tetapi trennya masih terjaga, belum ada lonjakan kasus signifikan per harinya. Hingga Minggu kemarin, jumlah kasus 8.882, dengan 743 orang meninggal dunia dan 1.107 dinyatakan sembuh.
Guna meredam penyebaran COVID-19, pemerintah sudah melarang masyarakat untuk mudik saat bulan Ramadan. Pemerintah secara resmi menghentikan sementara layanan transportasi udara penumpang komersial. Ketentuan ini berlaku sejak Jumat ini, 24 April 2020 sampai 1 Juni 2020.
Selain itu kendaraan bermotor umum, dengan jenis mobil bus dan mobil penumpang, kendaraan bermotor perseorangan, dengan jenis mobil penumpang, mobil bus, dan sepeda motor juga dilarang keluar masuk Jabodetabek. Ketentuan ini dikecualikan untuk angkutan logistik dan kebutuhan pokok , angkutan umum dan pengangkut obat-obat, dan petugas ambulan jenazah.
Selain itu, pada pekan lalu Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo kembali menebar optimisme. Ia mengatakan puncak kepanikan global akibat pandemi COVID-19 sudah berlalu, puncaknya di pekan kedua Maret.
Hal ini ditunjukkan dari premi risiko global atau biasa dilihat dari global volatility index (VIX) sebelum covid-19 mencapai 18,8. Dan pada Maret mencapai 83,2, sementara saat in berada di kisaran 43.
"Data terakhir menunjukkan 43,8. Artinya memang kepanikan pasar keuangan global puncaknya pada pekan kedua Maret 2020. Berangsur mereda dan sekarang 43,8," kata Perry dalam video conference di Channel Youtube BI, Rabu (22/4/2020).
"Ketidakpastian masih berlangsung, sebelum COVID-19 masih tinggi, tapi relatif rendah saat setelah pekan kedua Maret 2020," tambahnya
Pada Jumat (24/4/2020) volatility index bahkan kembali menurun ke 35,93 dan merupakan yang terendah sejak 5 Maret. Penurunan VIX tersebut tentunya mengkonfirmasi pernyataan Gubernur Perry jika puncak kepanikan sudah berlalu.
Sementara itu pada hari ini Senin (27/4/2020) pasar keuangan Republik Indonesia (RI) berpeluang menguat, sentimen penggerak hari ini akan dibahas di halaman 3. Salah satu sentimen positif datang dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai teman dan berencana memberikan bantuan untuk menghadapi pandemi penyakit virus corona (COVID-19).
Ketika sentimen pelaku pasar membaik, tentunya aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi akan kembali menjadi incaran. Aliran modal bisa masuk kembali ke RI mengingat yield yang masih cukup tinggi.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot 2,99%, dalam lima hari perdagangan, IHSG tercatat menguat 2 hari (Rabu dan Kamis) dan melemah 3 hari. Investor asing juga melakukan aksi jual bersih (net sell) yang cukup besar, Rp 2,67 triliun di pasar reguler dan non-regular, berdasarkan data RTI.
Sementara rupiah berhasil menguat 0,32%, meski tidak terlalu besar tapi sudah cukup bagi rupiah untuk membukukan hat-trick alias penguatan tiga pekan beruntun melawan dolar AS. Kinerja rupiah di bulan ini cukup impresif, secara month-to-date tercatat menguat 5,83%.
Dari pasar obligasi, yield tenor 10 tahun turun tipis 0,3 basis poin (bps) menjadi 7,924%.
Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya, ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik. Ketika harga naik, itu berarti sedang ada aksi beli di pasar obligasi.
Meski demikian, dalam sepekan hingga Kamis (23/4/2020) investor asing tercatat melepas kepemilikan di obligasi sebesar Rp 100 miliar, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.
Jika kondisi pasar global kembali stabil, yield obligasi Indonesia yang cukup tinggi tersebut tentunya menarik para investor untuk mengalirkan modalnya ke dalam negeri.
Di awal pekan lalu, jagat finansial global dibuat heboh setelah harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mengakhiri perdagangan Senin (20/4/2020) di wilayah minus, pertama kali sepanjang sejarah. Berdasarkan dara Refinitiv, minyak WTI sempat ambles hingga US$ -40,32/barel sebelum mengakhiri perdagangan di US$ -37,63/barel atau ambles 305,97% di awal pekan.
Harga minyak WTI minus merupakan untuk kontrak Mei yang expired pada Selasa (21/4/2020), dan kontrak yang paling aktif diperdagangkan adalah bulan Juni. Di akhir perdagangan Senin, minyak WTI kontrak Juni berada di level US$ 20,43/barel dan lebih tepat menggambarkan pasar minyak mentah yang sebenarnya.
Namun, pada perdagangan Selasa minyak WTI kontrak Juni tersebut akhirnya ambles juga, sempat menyentuh level terendah intraday US$ 6,5/barel sebelum mengakhiri perdagangan di level US$ 11,57/barel. Harga minyak Brent juga ikut ambles ke bawah US$ 20/barel dan mencapai level terendah sejak 2001.
Sontak hal tersebut membuat sentimen pelaku pasar memburuk yang membuat aset-aset berisiko berguguran.
Harga minyak mentah biasanya dijadikan acuan tingkat aktivitas ekonomi global, sebab ketika roda perekonomian berputar dengan cepat, permintaan minyak mentah untuk industri akan menjadi tinggi, dan harga minyak mentah akan naik.
Sebaliknya, ketika harga minyak mentah terus menurun, itu artinya permintaan rendah dan roda perekonomian melambat, atau bahkan terhenti sehingga tidak ada permintaan minyak mentah yang membuat harganya menjadi negatif.
"Dalang" dari semua ini sudah jelas, virus corona yang membuat banyak negara menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) sehingga aktivitas ekonomi terhenti.
Secara global laju penambahan kasus sudah mulai melambat. Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) laju penambahan kasus sudah satu digit persentase setiap harinya sejak 30 Maret lalu. Pada periode 30 Maret hingga 25 April lalu, penambahan kasus per hari berada di kisaran 58.000 sampai 93.000 kasus. Secara persentase, pada 25 April lalu, jumlah penambahan kasus hanya 3,56%, sehingga total menjadi 2,72 juta kasus.
Selain itu, beberapa negara di Eropa juga sudah berencana membuka lockdown setelah penyebaran COVID-19 melambat. Italia berencana membuka lockdown secara bertahap pada 4 Mei nanti. Italia dan Spanyol bahkan sudah mengijinkan warganya mulai beraktivitas meski terbatas sejak dua pekan lalu.
Kemudian Jerman juga mulai mengizinkan warganya beraktivitas, toko-toko kecil sudah diizinkan buka kembali sejak Senin, dan sekolah mulai aktif lagi per 4 Mei. Belanda juga berencana membuka lockdown secara bertahap mulai 11 Mei.
Roda bisnis di Eropa yang mulai berputar kembali tentunya menjadi kabar bagus, perekonomian global bisa perlahan bangkit dari keterpurukan.
Sementara itu dari dalam negeri, penambahan kasus COVID-19 masih dalam tren naik, tetapi trennya masih terjaga, belum ada lonjakan kasus signifikan per harinya. Hingga Minggu kemarin, jumlah kasus 8.882, dengan 743 orang meninggal dunia dan 1.107 dinyatakan sembuh.
Guna meredam penyebaran COVID-19, pemerintah sudah melarang masyarakat untuk mudik saat bulan Ramadan. Pemerintah secara resmi menghentikan sementara layanan transportasi udara penumpang komersial. Ketentuan ini berlaku sejak Jumat ini, 24 April 2020 sampai 1 Juni 2020.
Selain itu kendaraan bermotor umum, dengan jenis mobil bus dan mobil penumpang, kendaraan bermotor perseorangan, dengan jenis mobil penumpang, mobil bus, dan sepeda motor juga dilarang keluar masuk Jabodetabek. Ketentuan ini dikecualikan untuk angkutan logistik dan kebutuhan pokok , angkutan umum dan pengangkut obat-obat, dan petugas ambulan jenazah.
Selain itu, pada pekan lalu Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo kembali menebar optimisme. Ia mengatakan puncak kepanikan global akibat pandemi COVID-19 sudah berlalu, puncaknya di pekan kedua Maret.
Hal ini ditunjukkan dari premi risiko global atau biasa dilihat dari global volatility index (VIX) sebelum covid-19 mencapai 18,8. Dan pada Maret mencapai 83,2, sementara saat in berada di kisaran 43.
"Data terakhir menunjukkan 43,8. Artinya memang kepanikan pasar keuangan global puncaknya pada pekan kedua Maret 2020. Berangsur mereda dan sekarang 43,8," kata Perry dalam video conference di Channel Youtube BI, Rabu (22/4/2020).
"Ketidakpastian masih berlangsung, sebelum COVID-19 masih tinggi, tapi relatif rendah saat setelah pekan kedua Maret 2020," tambahnya
Pada Jumat (24/4/2020) volatility index bahkan kembali menurun ke 35,93 dan merupakan yang terendah sejak 5 Maret. Penurunan VIX tersebut tentunya mengkonfirmasi pernyataan Gubernur Perry jika puncak kepanikan sudah berlalu.
Next Page
Wall Street Kirim Hawa Positif
Pages
Most Popular