Newsletter

PMI & Inflasi, Diagnosis Pertama Infeksi Corona ke Ekonomi

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
01 April 2020 06:22
Cermati Sentimen Penggerak Hari Ini
Foto: CNBC Indonesia/Chandra Gian Asmara
Hari ini pada pukul 07:30, IHS Markit dijadwalkan merilis Rilis Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) Indonesia per Maret. Pada periode sebelumnya, manufaktur Indonesia masih mencatatkan indeks positif yakni di level 51,9.

Artinya, para pelaku usaha di sektor manufaktur masih bergeliat, karena angka di atas 50 mengindikasikan aktivitas manufaktur yang ekspansif, sedangkan angka di bawah itu mengindikasikan pelemahan.

Waspada menurut proyeksi Tradingeconomics, angka PMI manufaktur Indonesia pada Maret akan berada di level 49, alias terkontraksi. Ini menunjukkan bahwa wabah COVID-19 yang memicu penghentian operasi manufaktur di di Provinsi Hubei, China sejak Februari akhirnya menulari manufaktur Indonesia.

Rilis PMI manufaktur akan menjadi pengerak sentimen pasar hari ini, karena nyaris berbarengan dengan rilis serupa di negara-negara utama dunia, seperti misalnya China (versi Caixin), Jepang (versi Tankan), dan AS (versi ISM).

Selanjutnya menjelang siang nanti, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan Indeks Harga Konsumen (IHK), alias headline inflation. Rilis data inflasi ini bakal menjadi indikator pertama yang mengukur sejauh mana virus corona strain baru tersebut menginfeksi ekonomi makro Indonesia.

Polling Reuters menyebutkan inflasi Maret (tahunan) bakal berada di level 2,96% atau tak berubah dari posisi sebelumnya 2,98%. Inflasi bulanan berada i 0,14% atau jauh melambat dari sebelumnya 0,28%. Adapun laju inflasi inti diprediksi lebih cepat yakni menjadi 2,79% dari sebelumnya 2,76%.

Jika polling tersebut terkonfirmasi, maka aksi panic buying dan kenaikan harga beberapa komoditas (terutama bawang putih) yang sempat terjadi beberapa waktu lalu terbukti tidak memicu lonjakan inflasi, alias masih dalam skala yang terkontrol.

Di sisi lain, inflasi yang terkendali di Maret--bulan pertama bangsa ini mengonfirmasi adanya kasus COVID-19, menunjukkan bahwa suplai barang masih berlangsung normal alias tidak terganggu meski pemerintah telah mengumumkan social distancing yang berujung pada penurunan aktivitas bisnis dan konsumsi masyarakat.

Ini akan memicu optimisme pelaku pasar bahwa efek COVID-19 untuk saat ini masih terkendali di Nusantara. Jika angka PMI manufaktur Indonesia masih positif, maka ini akan memberikan alasan bagi investor untuk memburu saham-saham yang sensitif terhadap inflasi yakni saham sektor konsumer dan perbankan.

Bagaimana dengan saham manufaktur? Mungkin masih akan dihindari karena prospek untuk jangka menengah sektor manufaktur masih akan buram. Yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan sektor ini adalah gelontoran stimulus seperti yang sudah dilakukan oleh negara maju. 

Kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan rencana penerbitan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk merelaksasi batas defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi 5%, dari batas sekarang hanya 3%. Pemerintah akan menggali lebih banyak utang, demi menggulirkan stimulus ke sektor swasta dan rakyat.

Indonesia tidak sendiri. Pemerintah AS bakal menarik banyak utang hingga rasio utang terhadap PDB bertambah hingga 30% tahun ini, atau menyamai posisi perang dunia II. Rasio pada 2019 adalah 108,28% dari PDB, berdasarkan data CEIC.

Sebagai perbandingan pada tahun 2008 ketika terjadi krisis finansial global, rasio utang terhadap PDB AS naik sekitar sebesar 8% di tahun 2008 dari tahun 2007 menjadi 72,72%. Lalu, naik lagi 12% menjadi 85,21% di tahun 2009. (ags/ags)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular