Selama sepekan kemarin, indeks acuan bursa Amerika Serikat (AS), yakni Dow Jones Industrial Averaga (Dow Jones) telah menguat 3,93%. Dow Jones serupa dengan Indeks LQ45 di Indonesia yang berisikan saham-saham unggulan terbaik. Di sisi lain, S&P 500 yang merupakan IHSG-nya Negeri Sam meroket 10,3%.
Investor pun terbelah dalam melihat fenomena ini. Ada yang menganggap reli sepekan tersebut merupakan indikator bahwa bursa saham terbesar dunia itu sudah menyentuh level terendahnya, sehingga berpeluang melaju ke area bullish. Misalnya, hedge fund besar AS Blacrock.
Di sisi lain, ada yang menilai bahwa perlu ada beberapa tes teknikal tambahan untuk melihat apakah titik terbawah (bottom) sudah tersentuh, untuk memastikan bahwa reli sepekan tersebut bukanlah tanda palsu (false alarm).
“Saya takjub melihat orang-orang begitu bullish ketika kasus temuan virus (corona) meningkat dan pertumbuhan ekonomi sedang memburuk,” tutur Richard Bernstein, CEO Richard Bernstein Advisors, sebagaimana dikutip CNBC International.
“Meski pasar sudah menguat lebih dari 20%, dari posisi terendah intraday pada 23 Maret ke posisi tertinggi intraday pada 26 Maret, yang banyak dianggap sebagai indikator pasar banteng (bull market)… kita harus melihat enam bulan ke depan sebelum bisa menyebut bull market,” tutur Sam Stovall, chief investment strategist at CFRA.
Posisi intraday adalah posisi sebuah indeks dalam perdagangan dalam satu hari, dan bukan posisi penutupan. Di sisi lain, bull market merupakan situasi di mana grafis pasar mengarah ke atas seperti banteng yang sedang menanduk, menunjukkan pasar yang sedang menguat. Sebaliknya, pasar beruang (bear market) mengindikasikan indeks yang sedang menurun.
Stovall mengatakan secara historis indeks S&P 500 memang menguat menjelang April, tetapi tahun ini kemungkinan kondisinya akan berbeda. Indeks acuan bursa saham tersebut sudah anjlok sekitar 14% sepanjang Maret. Sejak Perang Dunia II, bulan April selalu menjadi bulan terbaik kedua untuk S&P, yang menguat rata-rata 1,5% setiap tahunnya.
Dia mengingatkan bahwa reli saham pekan lalu bisa saja bukan pertanda apapun dan menunjukkan bahwa pasar masih tertekan (bearish). “Ada beberapa kejadian seperti tahun 1973/1974, 2001/2002, dan juga 2008/2009, di mana ada reli sebesar lebih dari 20% sebelum akhirnya melemah lebih lanjut.”
Stovall yakin masih akan ada koreksi lanjutan. “Satu-satunya hal yang membuat saya berkata kita mungkin tidak akan mengetes ulang posisi terbawah adalah karena semuanya bilang kita perlu mengetes ulang posisi terbawah sekarang,” tuturnya. Artinya, posisi terbawah masih akan terus terulang dan dites.
India menjadi negara yang terbaru melakukan
lockdown, sebelumnya mengikuti Italia, China, dan beberapa lainnya. Indonesia pun tengah bersiap menuju ke sana. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) RI Mahfud MD mengatakan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang karantina wilayah sedang disiapkan.
Pelaku pasar pun mencermati benar apakah
lockdown yang dijalankan ini bakal menjanjikan hasil yang positif untuk menekan penyebaran virus ganas COVID-19, ataukah bakal percuma dan malah membangkitkan virus lainnya, yakni virus resesi.
Per hari ini, sebanyak 30 provinsi dari total 34 provinsi di Indonesia telah melaporkan adanya kasus positif COVID-19. Artinya,
lockdown jelas terlambat jika tujuannya untuk mencegah penyebaran virus ke daerah.
Namun sebagai upaya pencegahan lanjutan agar arus penyebaran virus tak semakin besar, langkah ini perlu diapresiasi. Hanya saja, pelaku pasar bakal mencermati
lockdown seperti apa yang diberlakukan di Indonesia?
Sebagaimana kita ketahui, ada dua jenis
lockdown yang dipraktikkan di dunia internasional:
partial lockdown (di Italia) dan
total/full lockdown (China).
Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, karantina wilayah diposisikan terpisah dari Pembatasan Sosial Skala Besar (
social restriction). Indonesia sejauh ini belum menerapkan satu di antaranya, dan memilih imbauan
social distancing yang tak memiilki konsekuensi pidana bagi pelanggar.
Jika pemerintah memutuskan
full lockdown, maka protokol karantina wilayah dijalankan disertai dengan restriksi sosial skala besar. Namun jika
partial lockdown yang diambil, maka pemerintah hanya menutup perbatasan Jakarta (karantina wilayah) tetapi masyarakat yang dikarantina masih bisa beraktivitas secara terbatas seperti yang berlangsung saat ini.
Opsi lockdown berujung pada kebutuhan alokasi anggaran untuk memberikan santunan atau jaminan sosial kepada masyarakat yang dikarantina. Namun,
partial lockdown masih memungkinkan sektor formal dan informal beroperasi terbatas.
Partial lockdown berdampak relatif lebih kecil terhadap perekonomian dibandingkan
full lockdown.
Di samping itu, pasar menunggu paket stimulus yang kemungkinan disiapkan berbarengan dengan lockdown. Pada Jumat pekan lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani undang-undang melandasi stimulus senilai US$ 2 triliun guna memerangi COVID-19.
Nilai stimulus tersebut sangat besar, karena nyaris dua kali dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dalam setahun. Sebanyak US$ 117 miliar dialokasikan untuk rumah sakit dan US$ 16 untuk persediaan farmasi dan kelengkapan alat kesehatan nasional.
Selain itu, bantuan langsung tunai (BLT) juga dikucurkan sebesar US$ 1.200 per orang atau US$ 2.400 jika berpasangan dan tambahan US$ 500 untuk setiap anak. Bantuan ini hanya diperuntukkan untuk penduduk dengan pendapatan kurang dari US$ 75.000/tahun.
Kemudian memberikan hibah untuk industri maskapai penerbangan maupun pengangkutan masing-masing senilai US$ 25 miliar dan US$ 4 miliar yang dialokasikan untuk membayar upah, gaji, dan tunjangan karyawan. Tidak lupa juga menyisihkan US$ 25 miliar dan US$ 4 miliar yang digunakan sebagai pinjaman maupun jaminan pinjaman.
Indonesia sejauh ini sudah menyiapkan stimulus untuk pelaku usaha berupa penundaan pembayaran pajak penghasilan, tetapi rencana BLT belum dielaborasikan karena opsi
lockdown belum diambil sampai saat ini.
Terkait dengan itu, pemerintah berencana penerbitan obligasi pemulihan (Recovery Bond/R-Bond) untuk membiayai ekonomi yang terpukul akibat virus corona. Kabarnya, rencana tersebut bakal dielaborasi pada Senin hari ini. Mari kita cermati.. Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Penjualan motor dan mobil Indonesia per Februari (tentatif)
- RUPST PT Bukit Asam Tbk (09:00 WIB)
- RUPST PT Indo Tambangraya Megah Tbk (13:00 WIB)
- RUPST PT Bank Maybank Indonesia Tbk (14:00 WIB)
- Indeks Manufaktur Fed Dallas (21:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY) | 5,02% |
Inflasi (Februari 2020 YoY) | 2,68% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2020) | 4,5% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -1,76% PDB |
Transaksi berjalan (2019) | -2,72% PDB |
Cadangan devisa (Februari 2020) | US$ 130,44 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA