Newsletter

Bursa Global Reli 2 Hari Beruntun, IHSG Tolonglah di Follow

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 March 2020 06:45
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Foto: IHSG Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Di saat pasar keuangan dalam negeri libur Rabu kemarin, bursa saham Asia juga menguat tajam mengikuti rally Wall Street di hari Selasa. Indeks Nikkei Jepang memimpin penguatan bursa saham Asia setelah melesat lebih dari 8%. Disusul indeks Sensex India yang menguat nyaris 7%, kemudian Strait Times Singapura 6%.

Kospi Korea Selatan menguat nyaris 6%, sementara Hang Seng Hong Kong dan Shanghai Composite China naik 3,8% dan 2,17%, begitu juga dengan bursa saham negara lainnya juga mencatat penguatan.

Pada perdagangan Selasa lalu bursa Asia juga menghijau, hanya IHSG yang berakhir di zona merah. Maka sudah saatnya IHSG hari ini bangkit, apalagi Wall Street sebagai kiblat bursa saham dunia juga kembali menguat pada perdagangan Rabu.

Tidak hanya itu, bursa saham Eropa juga kompak membukukan penguatan dua hari beruntun. Bisa dikatakan bursa saham global sudah menghijau dua hari terakhir, dan saatnya bagi IHSG mengejar ketertinggalan.

Pendemi Covid-19 memang sudah memukul perekonomian global, yang membuat bursa saham global berguguran dalam beberapa pekan terakhir sebelum membukukan penguatan dua hari beruntun. Tetapi kini sudah muncul kabar baik. China, negara asal pandemi COVID-19 kini perlahan mulai bangkit setelah penyebaran virus corona berhasil dihentikan.

Komisi Kesehatan Nasional China memang masih melaporkan beberapa kasus COVID-19, tetapi kasus tersebut merupakan penularan dari luar negeri atau imported case. Penularan domestik dilaporkan tidak ada sama sekali.

Lockdown provinsi Hubei pun akhirnya dicabut pada Selasa tengah malam waktu setempat, dan aktivitas warga mulai terlihat sejak Rabu pagi kemarin. Meski demikian, episentrum COVID-19 yakni kota Wuhan masih dikarantina hingga 8 April nanti.



COVID-19 pertama kali muncul di Wuhan pada akhir Desember lalu, dan berhasil dihentikan penyebarannya di China dalam waktu tiga bulan. Kembalinya aktivitas ekonomi China tentunnya menjadi kabar bagus, beberapa tanda sudah menunjukkan roda perekonomian kembali berputar.

Hal tersebut bisa dilihat dari impor batu bara yang sampai di pelabuhan China pada periode 1-23 Maret tercatat sebanyak 24,79 juta ton, lebih tinggi dibandingkan sepanjang Februari yaitu 21,9 juta ton.

Peningkatan impor batu bara memberi gambaran bahwa permintaan energi di China meningkat. Peningkatan permintaan energi adalah pertanda ekonomi yang bergerak maju.

Hal tersebut menjadi bukti awal jika perekonomian akan segera bangkit begitu pandemi COVID-19 berakhir.

Di sisi lain, perekonomian AS juga diprediksi akan segera bangkit oleh mantan Ketua The Fed, Ben Bernanke, meski mengalami resesi yang cukup dalam akibat COVID-19.

"Jika tidak terlalu banyak gangguan yang terjadi pada tenaga kerja, pada dunia usaha selama periode shutdown (lockdown), betapapun lamanya, maka kita akan melihat rebound (perekonomian) yang cukup cepat" kata Bernanke dalam acara "Squawk Box" di CNBC International.

Ia juga mengatakan jika situasi saat ini lebih mirip dengan saat terjadi bencana badai salju yang besar ketimbang Depresi Besar (Great Depression).
"Ini sangat berbeda dengan Depresi Besar. Depresi Besar, sebagai satu hal, berlangsung selama 12 tahun, dan itu terjadi akibat kesalahan manusia: guncangan moneter dan finansial yang menghantam sistem" kata Bernanke.

"Yang terjadi saat ini lebih mirip dengan bencana badai salju besar atau bencana alam lainya daripada Depresi Besar tahun 1930an" tambahnya.

Bernanke merupakan Ketua The Fed periode 2006 hingga 2014, yang sukses membawa ekonomi AS bangkit dari krisis finansial tahun 2008.

Bernanke juga memberikan apresiasi kepada Ketua The Fed saat ini, Jerome 'Jay' Powell, yang bertindak cepat untuk meredam dampak COVID-19 ke perekonomian.

Seperti diketahui sebelumnya, The Fed di bawah Powell telah membabat habis suku bunganya hingga menjadi 0-0,25%, dan mengaktifkan program pembelian aset atau quantitative easing (QE) dengan nilai tak terbatas. Kebijakan tersebut sama dengan yang diterapkan oleh Bernanke saat menghadapi krisis finansial 2008. Bahkan saat ini lebih agresif lagi mengingat QE yang dilakukan nilainya tidak terbatas.

"Saya pikir The Fed bertindak sangat proaktif dan Jay Powell beserta tim telah berkerja sangat keras melakukan hal tersebut. Mereka telah menunjukkan mereka bisa mengatur sejumlah program yang dapat membantu kita menjaga fungsi ekonomi selama periode shutdown, sehingga ketika pandemi ini dikatakan sudah berakhir... kita akan melihat rebound perekonomian yang lebih bagus" kata Bernanke.

Meski demikian, Bernanke memperingatkan jika tindakan kesehatan tidak dilakukan dengan tepat, dalam artian pandemi COVID-19 gagal diatasi dalam waktu cepat, maka kebijakan The Fed maupun stimulus dari Pemerintah AS tidak akan bekerja dengan baik.

(pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular