Newsletter

Trump Keluarkan 'Amunisi' Lawan COVID-19, IHSG Bisa Rebound?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
18 March 2020 06:09
Trump Keluarkan 'Amunisi' Lawan COVID-19, IHSG Bisa Rebound?
Foto: Ilustrasi Bursa, Pergerakan Layar IHSG di Gedung BEI Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan tanah air masih mengalami tekanan dan ditinggalkan investor. Kemarin pasar finansial RI kompak ditutup melemah, akibat wabah COVID-19 yang makin merebak di luar maupun di dalam negeri.

Mulai dari pasar saham terlebih dahulu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lagi-lagi tekor. Ditutup melemah 4,99%, IHSG menjadi yang paling buruk di Asia kemarin (17/3/2020). Asing kabur dari bursa saham bumi pertiwi sebesar Rp 1 triliun.



Pukul 15.02 WIB Selasa kemarin, IHSG masuk di zona pesakitan dan harus disetop sementara selama 30 menit karena anjlok 5% (trading halt). Usai dibuka kembali hingga akhir perdagangan, IHSG tak menunjukkan pergerakan yang berarti.

Koreksi yang terjadi kemarin sah membuat kapitalisasi pasar IHSG melorot nyaris 30% sejak awal tahun (year to date/ytd). Pasar ekuitas Indonesia resmi menjadi 'the laggard' jika dibandingkan dengan kawan-kawannya bursa saham Benua Kuning.



Wabah COVID-19 yang sudah sampai ke Indonesia dan semakin merebak, membuat pasar saham dilanda kepanikan. Alhasil investor asing jadi kabur dari bursa saham domestik. Sejak awal tahun asing membukukan aksi jual bersih mencapai Rp 8,55 triliun sejak awal tahun (ytd).

Bukan hanya pasar saham saja yang ditinggalkan investor. Pasar obligasi juga bernasib sama. Kemarin surat utang pemerintah seri acuan yang bertenor 10 tahun mencatatkan kenaikan imbal hasil (yield) yang signifikan hingga 310 basis poin (bps) dalam sehari.

Kenaikan yield menunjukkan penurunan harga obligasi karena harga dan yield pada instrumen surat utang memiliki hubungan yang berbanding terbalik. Penurunan harga mengindikasikan adanya aksi jual di pasar surat utang.



Dampak COVID-19 ke pasar keuangan RI memang tak bisa diremehkan. COVID-19 telah memicu aliran dana keluar (capital outflow) yang besar baik di pasar saham maupun obligasi. Sebagai gambaran, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menerangkan, hingga 10 Maret 2020 outflow dana asing mencapai Rp 40,16 triliun.

Perry juga menjelaskan bahwa sebelumnya outflow dana asing pada Februari tidak begitu besar, hanya Rp 16 triliun yang terdiri dari SBN Rp 11 triliun dan sisanya dari pasar saham. Namun karena COVID-19 makin mengganas, investor jadi menarik dananya.

Penarikan besar-besaran itu terjadi di pertengahan Februari. Awalnya outflow yang hanya sebesar Rp 16 triliun saja menjadi Rp 28,9 triliun. Capital outflow yang terjadi turut membebani kinerja mata uang Garuda.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus mencatatkan pelemahan dan kini sudah melampaui level psikologis Rp 15.000/US$. Pada penutupan perdagangan pasar spot kemarin Rupiah dibanderol dengan harga Rp 15.160 per US$ 1 dan menandai level terlemah sejak November 2018.



Kini komplit sudah, COVID-19 sukses membuat pasar keuangan tanah air jadi babak belur. Bahkan di tengah pemangkasan suku bunga acuan oleh bank sentral AS yang agresif tak mampu membuat pasar tenang.

Awal pekan ini, secara mengejutkan The Fed kembali memangkas suku bunga acuan dan mengumumkannya lebih awal dari yang dijadwalkan. Tak tanggung-tanggung Federal Open Market Committee (FOMC) memutuskan untuk memangkas Federal Fund Rates (FFR) sebesar 100 bps ke level terendahnya sejak 2015, yakni di rentang 0-0,25%.

The Fed juga mengumumkan akan memulai lagi program pembelian aset-aset keuangan di pasar seperti obligasi pemerintah dan efek beragun aset (EBA) properti senilai US$ 700 miliar.

Pemangkasan suku bunga yang agresif ini malah direspons negatif oleh pasar. Lihat saja Wall Street di awal pekan ini yang anjlok lebih dari 12%. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ambrol nyaris 13% dan menjadi koreksi harian terdalam sejak 19 Oktober 1987. Tragedi 'Black Monday' seolah pun terjadi lagi.

[Gambas:Video CNBC]



Setelah mencatatkan koreksi yang parah (pakai banget), Wall Street akhirnya berhasil melenggang ke zona hijau pagi tadi. Dow Jones naik 5,2%, S&P 500 melompat 6% dan yang terakhir Nasdaq Composite terangkat 6,2%.

Apresiasi yang terjadi pagi tadi di bursa saham Paman Sam diakibatkan oleh kabar bahwa Presiden AS Donald Trump akan memberikan stimulus sebesar US$ 1 triliun untuk melawan wabah.

Menteri Keuangan Steven Mnuchin mengatakan pemerintah mempertimbangkan untuk mengirim uang tunai secara langsung untuk warga Amerika dalam dua minggu ke depan. “Warga Amerika butuh uang tunai saat ini” katanya melansir CNBC International.

Namun terangkatnya Wall Street kali ini tak mampu mengimbangi koreksi yang terjadi kemarin mengingat kasus infeksi COVID-19 di Amerika Serikat (AS) jumlahnya terus bertambah. Data kompilasi John Hopkins University CSSE menunjukkan jumlah kasus COVID-19 di AS bertambah 557 kasus dalam sehari dan menjadi 5.218 secara total.

Beberapa waktu lalu Presiden Donald Trump mengatakan, kemungkinan virus ini dapat dijinakkan di AS baru bulan Juli atau Agustus. Itu pun paling cepat. Wabah COVID-19 tidak hanya membawa ancaman bagi kesehatan manusia saja, tapi juga membuat ekonomi kena pukulan telak.

Banyak yang takut negeri adidaya itu akan terseret ke dalam jurang resesi. Bahkan Presiden Donald Trump terbuka pada opsi itu saat ditanya apakah ekonomi AS bisa nyungsep dan masuk resesi.

“Bisa jadi” kata Trump. Namun Trump juga menambahkan bahwa pemerintahannya akan lebih fokus pada bagaimana cara menghentikan wabah akibat virus yang masih satu jenis dengan penyebab SARS ini. Trump berpendapat bahwa jika virus ini dapat dikontrol maka pasar saham dan ekonomi bisa rebound.

Wabah COVID-19 yang saat ini telah menewaskan 92 orang AS itu memang membuat pasar saham New York kocar-kacir. Bagaimana tidak, koreksi harian yang terjadi dalam perdagangan sepekan terakhir masih lebih dalam dari apresiasi temporernya. Walau sudah anjlok signifikan, tetapi dasar/bottom dari periode koreksi yang terjadi saat ini masih belum terlihat jelas.

Banyak yang berpendapat bahwa kejutan The Fed justru membuat investor jadi semakin panik dan melihat risiko yang besar akibat wabah ini. Mislav Matejka, kepala Global Equity Strategy di JP Morgan mengatakan ada beberapa syarat untuk pasar bisa reli berkelanjutan.

“Kita akan melihat reli berkelanjutan jika 1) ada stimulus fiskal yang agresif dan 2) masalah utamanya yakni wabah virus secara jelas menunjukkan tanda-tanda mencapai puncaknya” kata Matejka, melansir CNBC International.

Soal poin yang pertama, stimulus fiskal berupa pembebasan Pajak Penghasilan yang diusulkan Trump di awal dinilai tidak efektif. Alasannya stimulus ini tak akan dirasakan bagi mereka yang tak lagi menerima gaji. Bisa jadi yang tidak terima gaji ini justru yang lebih membutuhkan uluran tangan pemerintah.

Pendapat tersebut diungkapkan oleh US Chief of Equity Strategist Citi, Tobias Levkovich. Levkovich juga menyoroti kebijakan Trump yang menggelontorkan dana bantuan senilai US$ 50 miliar saat mendeklarasikan kondisi darurat pekan lalu. Levkovich menilai jumlah tersebut terlalu sedikit untuk negara yang size ekonominya sebesar US$ 22 triliun.

“Sebagian besar ekonom sepakat bahwa sekarang bukan saatnya untuk memperdebatkan seberapa besar defisit yang didapat. Namun berbagai ideologi dan rencana harus dipertemukan untuk membuat program yang cukup signifikan dan cepat tersedia” kata Levkovich.

Kini Trump sudah mengikuti keinginan pasar dengan rencananya untuk mengguyur perekonomian Paman Sam dengan stimulus senilai US$ 1 triliun. Sekarang tinggal bagaimana kelanjutan perkembangan dari wabah itu sendiri.

Terkait poin kedua tentang tanda-tanda wabah akan segera berada di puncaknya (peak), Global Equity Strategy Credit Suisse Andrew Garthwrite mencatat bahwa saat SARS, pasar mengalami koreksi satu minggu setelah wabah mencapai puncaknya.

Walau COVID-19 masih satu golongan dengan virus penyebab SARS dan bahkan fatalitasnya lebih rendah, virus ini menyebar dengan lebih cepat. Lagi pula COVID-19 skalanya sudah mengglobal alias sudah jadi pandemi, sehingga dampak ekonominya lebih luas dan memicu pasar saham bergerak lebih liar.

Tiap hari kabar terkait perkembangan COVID-19 membanjiri headlines di berbagai surat kabar di dunia baik yang sifatnya cetak maupun daring. Pada kondisi seperti ini, pasar menjadi sensitif. Untuk itu, investor perlu mencermati beberapa sentimen utama yang berpotensi menjadi penggerak pasar saat ini.

Sentimen pertama tentu datang dari Wall Street. Walau ditutup menguat, bukan berarti drama trading halt dan market crash yang terjadi akhir-akhir ini akan segera berakhir. Pasar saham masih berpotensi bergerak dengan fluktuasi yang tinggi.

Ada hawa ketakutan yang juga dirasakan di pasar. Hal ini tercermin dari angka CBOE Volatility Index yang berada di rentang tertingginya dan melampaui level saat krisis ekonomi 2008 lalu. Indeks ini sering juga dikenal dengan fear index. Ketika indeks bergerak naik maka pasar sedang diliputi dengan kecemasan atau bahkan kepanikan seperti sekarang ini.



Melihat realitanya demikian, pasar masih berpotensi besar akan bergerak ‘liar’. Hal ini didukung dengan perkenbangan kasus COVID-19 yang terbaru. Sudah 78 hari berlalu sejak pertama kali dilaporkan di China, COVID-19 belum benar-benar bisa dijinakkan.

Setelah menjangkiti China, kini virus ini bermigrasi ke negara lain. Jumlah kasus di luar China sudah melampaui jumlah kasus di China. Bahkan pertambahan jumlah kasus di luar China mencapai angka 20.000 kasus dalam sehari.



Pemerintah di berbagai negara kini menjajaki opsi karantina (lockdown) baik yang sifatnya parsial seperti di beberapa wilayah saja hingga total lockdown yang bersifat satu negara seperti yang dilakukan di Italia.

Dengan adanya lockdown dan berbagai pembatasan lain yang menghambat mobilitas orang, diharapkan transmisi dari COVID-19 bisa lebih diminimalkan. COVID-19 juga sudah masuk ke Indonesia. Secara resmi RI telah kemasukan COVID-19 pada awal Maret lalu.

Per kemarin (17/3/2020) jumlah kasus infeksi COVID-19 di tanah air sudah mencapai 172 orang. Tujuh orang dinyatakan meninggal dunia. Memang Indonesia belum mengumumkan lockdown seperti Malaysia yang akan mulai hari ini dan Italia yang sudah pekan lalu. Namun pemerintah telah mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk mengurangi aktivitas yang berpotensi meningkatkan penularan.



Di beberapa daerah seperti di Jakarta, sekolah diliburkan, beberapa tempat pariwisata ditutup sementara, pengecekan suhu tubuh di setiap kantor hingga kebijakan bekerja dari rumah pagi PNS maupun swasta sudah mulai dilakukan.

Namun jika berkaca dari China, maka setidaknya butuh waktu dua bulan untuk wabah bisa sampai puncaknya. Terkait sebentar atau lamanya mencapai fase itu tergantung pada banyak faktor termasuk bagaimana intervensi pemerintah terhadap sektor kesehatan publik juga akan sangat menentukan.

Badan Inteligen Negara (BIN) memperkirakan puncak dari wabah ini baru akan terjadi nanti pada Mei saat bulan Ramadhan. Memang untuk saat ini Indonesia masih berada di fase awal wabah. Bukan maksud hati untuk menakuti, tetapi memang RI sedang bergerak menuju ke periode puncak dari wabah.

Artinya dari segi perkembangan kasus infeksi COVID-19 sendiri saat ini peluang untuk pertambahan jumlah kasus masih terbuka lebar. Baik itu secara global maupun dalam negeri saja. Sentimen ketiga yang patut dipantau oleh investor adalah respons pemerintah global terhadap wabah yang dikenal tak pandang bulu ini. Respons yang dimaksud tentu respons yang berkaitan dengan sistem kesehatan, fiskal maupun moneter.

Dari sistem kesehatan, berbagai upaya sudah mulai dilakukan mulai dari yang sederhana seperti social distancing hingga lockdown.

Sementara dari segi moneter, bank-bank sentral di dunia sudah melakukan pemangkasan suku bunga acuannya (The Fed, Bank of England, Reserves Bank of Australia hingga Bank Indonesia). Tak hanya itu The Fed dan Bank of Japan (BoJ) juga memulai kembali program pembelian aset-aset keuangan guna memompa likuiditas.

Sementara dari segi fiskal sendiri AS sudah berencana meggelontorkan stimulus fiskal hingga lebih dari US$ 1 triliun untuk meredam dampak COVID-19 terhadap ekonomi AS. stimulus fiskal juga sudah dipersiapkan berbagai negara di dunia. Paket stimulus jumbo yang diberikan Trump memang menjadi faktor yang turut menenangkan pasar.

NegaraFiskalMoneter
AustraliaRencana paket stimulus ekonomi senilai US$ 17,6 miliar (bantuan tunai US$ 750 untuk ~6 juta warga Australia berpenghasilan rendah, US$ 6,7 miliar untuk gaji pegawai, US$ 4 miliar untuk insentif investasi, US$ 1,2 miliar untuk program magang & US$ 1 miliar untuk sektor pariwisataReserves Bank of Australia (RBA) memangkas suku bunga acuan 25 bps ke level terendah 0,5%
JepangJepang sedang mempersiapkan paket stimulus ekonomi sebesar US$189 miliar untuk diberikan pada rumah tangga serta memberikan subsidi untuk perusahaan di sektor pariwisata yang terdampak COVID-19Bank of Japan (BoJ) bersiap untuk membeli US$ 1,88 miliar surat utang pemerintah bertenor 10 tahun dan akan menyuntikkan likuiditas ke pasar senilai JPY 1,5 triliun
InggrisSedang mempersiapkan paket stimulus ekonomi senilai GBP 30 miliar (US$ 39 miliar) dengan alokasi sebesar GBP 7 miliar untuk warga dan sektor bisnis, GBP 5 miliar untuk sektor kesehatan publik dan sisanya dialokasikan untuk pengeluaran pemerintah tahun iniBank of England (BoE) memangkas suku bunga acuan sebesar 50 bps ke level 0,25%
Amerika SerikatRencana paket stimulus US$ 1 triliun termasuk untuk bantuan tunai bagi warga AS demi menjaga daya beli dan meredam dampak COVID-19 pada ekonomi ASThe Federal Reserves memangkas Federal Fund Rates (FFR) 50 bps ke rentang 1-1,25%
IndonesiaPemerintah menggelontorkan stimulus fiskal sebesar Rp 10 triliun (US$ 718 juta) untuk sektor-setor yang terdampak wabah COVID-19. Selain itu pemerintah juga melakukan relaksasi pada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25 dan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) 25 bps ke level 4,75% dan menurunkan GWM rupiah sebesar 50 bps dan GWM valas menjadi 4% dari DPK untuk bank yang beriorientasi kegiatan ekspor impor
Sumber : Brown County Democrat, Financial Times, Guardian, Straits Times, CNBC Indonesia Research

Sentimen keempat datang dari pengembangan vaksin untuk melawan COVID-19. Kemarin, empat orang sukarelawan dites untuk uji coba vaksin COVID-19 yang dikembangkan oleh National Institute of Health dan Moderna Therapeutics.

Sejak wabah ini merebak, penelitian dan pengembangan vaksin dilakukan di berbagai negara. Semua berpacu dengan waktu dan berlomba-lomba untuk menemukan ramuan mujarab yang bakal memusnahkan si virus.

Untuk vaksin bisa dikembangkan, waktu yang dibutuhkan tidaklah singkat mengingat persiapan serta uji coba yang dilakukan membutuhkan waktu bulanan bahkan sampai hitungan tahun.

Seorang ahli kesehatan mengatakan, butuh waktu berbulan-bulan untuk mengetahui apakah vaksin ini dapat bekerja atau tidak. Menurut WHO, untuk bisa mengembangkan vaksin COVID-19, butuh waktu setidaknya paling cepat 18 bulan dan itu pun jauh lebih cepat dari rata-rata pengembangan vaksin umum yang butuh waktu 2-5 tahun.

Pengembangan virus anti-COVID-19 memang terus digenjot dan dipercepat, tetapi pada akhirnya belum tentu bisa mengimbangi laju infeksi COVID-19 yang sangat cepat. Bagaimanapun juga pengembangan vaksin yang terbilang berprogress dengan cepat ini menjadi sentimen positif untuk pasar. 

Sentimen memang lagi mixed sekarang. Namun jika melihat bursa saham Asia yang sudah lama terkapar, maka kejutan dari Trump berpotensi membawa naik indeks harga saham di bursa kawasan Benua Kuning, termasuk IHSG. Namun jika jumlah kasus infeksi COVID-19 di luar China dan terutama di Indonesia terus bertambah dengan signifikan, maka ruang koreksi menjadi terbuka lebar lagi.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:


1. Rilis data neraca dagang Jepang bulan Februari (06.50 WIB)
2. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Februari 2020 YoY)

2,68%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2020)

4,75%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Cadangan devisa (Februari 2020)

US$ 130,44 miliar



Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.







TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular