
Newsletter
The Fed dengan Bazooka-nya vs COVID-19, Siapa Menang ?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
16 March 2020 06:09

Siapa sangka, prospek perekonomian global yang diramal mulai bangkit pada 2020 akibat hubungan AS-China yang mulai akur kini harus kembali suram akibat agen infeksi yang ukurannya sangat kecil (nanometer : atau setara dengan 10 pangkat minus 12 meter).
Prospek perekonomian kembali 'gloomy' pada 2020 ini. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) merevisi turun pertumbuhan ekonomi global. Jika pada November tahun lalu perekonomian global diperkirakan tumbuh 2,9% pada 2020, maka akibat COVID-19 pertumbuhan ekonomi global direvisi turun jadi 2,4% tahun ini.
OECD merevisi turun perekonomian China yang dari sebelumnya 5,7% pada 2020 menjadi 4,9%. Ekonomi Indonesia juga diperkirakan tumbuh melambat di bawah 5% pada 2020 karena terdampak COVID-19.
Namun setiap negara tidak tinggal diam. Mulai dari AS hingga Indonesia semua bersiap menghadapi COVID-19 dengan amunisi berupa stimulus fiskal maupun moneter. Stimulus fiskal yang diberikan beragam mulai dari relaksasi pajak, bantuan kepada masyarakat langsung untuk menjaga daya beli hingga subsidi untuk perusahaan pada sektor yang terdampak.
Dari sisi moneter, bank sentral di berbagai negara sudah melonggarkan kebijakan moneternya dengan memangkas suku bunga acuan. Tak sampai di situ beberapa bank sentral juga mulai menyuntikkan likuiditas di pasar dengan melakukan pembelian aset-aset finansial seperti surat utang pemerintah.
Bahkan pagi tadi, secara mengejutkan The Fed mengumumkan pemangkasan Federal Fund Rates (FFR) sebesar 100 bps ke level 0-0,25% dan menjadi yang terendah sejak 2015. Tak hanya itu, The Fed juga memulai program Quantitative Easing yang pernah dilakukan saat krisis keuangan global 2008 lalu. The Fed bersiap melawan COVID-19 dengan amunisi US$ 700 miliar untuk membeli aset-aset keuangan seperti surat utang pemerintah maupun efek beragun aset.
“Wabah corona telah membahayakan komunitas dan mengganggu aktivitas ekonomi di berbagai negara” kata The Fed, mengutip CNBC Internasional.
Sumber : Brown County Democrat, Financial Times, Guardian, Straits Times, CNBC Indonesia Research
Walaupun tak sedikit yang menyangsikan efektivitas dari stimulus yang diberikan, ini merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk meredam dampak COVID-19 agar tidak terlalu signifikan di samping intervensi yang dilakukan pada sektor kesehatan masyarakat.
Stimulus ini memang berpotensi bisa menenangkan pasar. Namun juga harus diingat bahwa jumlah kasus infeksi global maupun dalam negeri masih berpotensi terus bertambah dan menjadi ancaman bagi perekonomian. Pasar masih mungkin merespons hal ini dengan kepanikan seperti sebelum-sebelumnya. Bagaimanapun juga pasar masih berpotensi bergerak dengan volatilitas tinggi pekan ini.
Hari ini investor juga akan menyaksikan rilis data neraca perdagangan RI untuk bulan Februari 2020. Berdasarkan poling yang dihimpun CNBC Indonesia, konsensus pasar meramal neraca dagang RI bulan lalu surplus tipis US$ 90 juta.
Namun jangan senang dulu karena surplus, mengingat ini lebih dikarenakan kegiatan impor dan ekspor yang tertekan. Konsensus pasar memperkirakan ekspor Februari 2020 turun sebesar 7,2% (yoy) dan impor terkontraksi sebesar 4,85% (yoy). Jika kontraksi yang terjadi lebih dalam, bukan tidak mungkin pasar akan mengganjarnya.
Well, sampai saat ini tidak ada yang bisa memastikan kapan wabah ini akan berakhir. Satu hal yang perlu diingat adalah musuh utama di babak ini ya si virus itu sendiri. Selagi patogen tersebut belum bisa dijinakkan, maka tekanan masih akan membayangi pasar keuangan global maupun tanah air.
Intervensi di bidang kesehatan publik harus terus ditingkatkan di samping memberikan stimulus. Awareness yang harus ditingkatkan bukan kepanikan. Bagaimanapun juga kita harus bersiap dengan berbagai skenario. Bahkan skenario terburuk pun. (twg/twg)
Prospek perekonomian kembali 'gloomy' pada 2020 ini. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) merevisi turun pertumbuhan ekonomi global. Jika pada November tahun lalu perekonomian global diperkirakan tumbuh 2,9% pada 2020, maka akibat COVID-19 pertumbuhan ekonomi global direvisi turun jadi 2,4% tahun ini.
OECD merevisi turun perekonomian China yang dari sebelumnya 5,7% pada 2020 menjadi 4,9%. Ekonomi Indonesia juga diperkirakan tumbuh melambat di bawah 5% pada 2020 karena terdampak COVID-19.
Namun setiap negara tidak tinggal diam. Mulai dari AS hingga Indonesia semua bersiap menghadapi COVID-19 dengan amunisi berupa stimulus fiskal maupun moneter. Stimulus fiskal yang diberikan beragam mulai dari relaksasi pajak, bantuan kepada masyarakat langsung untuk menjaga daya beli hingga subsidi untuk perusahaan pada sektor yang terdampak.
Dari sisi moneter, bank sentral di berbagai negara sudah melonggarkan kebijakan moneternya dengan memangkas suku bunga acuan. Tak sampai di situ beberapa bank sentral juga mulai menyuntikkan likuiditas di pasar dengan melakukan pembelian aset-aset finansial seperti surat utang pemerintah.
Bahkan pagi tadi, secara mengejutkan The Fed mengumumkan pemangkasan Federal Fund Rates (FFR) sebesar 100 bps ke level 0-0,25% dan menjadi yang terendah sejak 2015. Tak hanya itu, The Fed juga memulai program Quantitative Easing yang pernah dilakukan saat krisis keuangan global 2008 lalu. The Fed bersiap melawan COVID-19 dengan amunisi US$ 700 miliar untuk membeli aset-aset keuangan seperti surat utang pemerintah maupun efek beragun aset.
“Wabah corona telah membahayakan komunitas dan mengganggu aktivitas ekonomi di berbagai negara” kata The Fed, mengutip CNBC Internasional.
Negara | Fiskal | Moneter |
Australia | Rencana paket stimulus ekonomi senilai US$ 17,6 miliar (bantuan tunai US$ 750 untuk ~6 juta warga Australia berpenghasilan rendah, US$ 6,7 miliar untuk gaji pegawai, US$ 4 miliar untuk insentif investasi, US$ 1,2 miliar untuk program magang & US$ 1 miliar untuk sektor pariwisata | Reserves Bank of Australia (RBA) memangkas suku bunga acuan 25 bps ke level terendah 0,5% |
Jepang | Jepang sedang mempersiapkan paket stimulus ekonomi sebesar US$189 miliar untuk diberikan pada rumah tangga serta memberikan subsidi untuk perusahaan di sektor pariwisata yang terdampak COVID-19 | Bank of Japan (BoJ) bersiap untuk membeli US$ 1,88 miliar surat utang pemerintah bertenor 10 tahun dan akan menyuntikkan likuiditas ke pasar senilai JPY 1,5 triliun |
Inggris | Sedang mempersiapkan paket stimulus ekonomi senilai GBP 30 miliar (US$ 39 miliar) dengan alokasi sebesar GBP 7 miliar untuk warga dan sektor bisnis, GBP 5 miliar untuk sektor kesehatan publik dan sisanya dialokasikan untuk pengeluaran pemerintah tahun ini | Bank of England (BoE) memangkas suku bunga acuan sebesar 50 bps ke level 0,25% |
Amerika Serikat | Trump mengusulkan untuk membebaskan Pajak Penghasilan (PPh) atau mengenakan PPh sebesar nol persen | The Federal Reserves memangkas Federal Fund Rates (FFR) 150 bps ke rentang 0-0,25% dan memulai program QE dengan US$ 700 miliar |
Indonesia | Pemerintah menggelontorkan stimulus fiskal sebesar Rp 10 triliun (US$ 718 juta) untuk sektor-setor yang terdampak wabah COVID-19. Selain itu pemerintah juga melakukan relaksasi pada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25 dan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). | Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) 25 bps ke level 4,75% dan menurunkan GWM rupiah sebesar 50 bps dan GWM valas menjadi 4% dari DPK untuk bank yang beriorientasi kegiatan ekspor impor |
Walaupun tak sedikit yang menyangsikan efektivitas dari stimulus yang diberikan, ini merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk meredam dampak COVID-19 agar tidak terlalu signifikan di samping intervensi yang dilakukan pada sektor kesehatan masyarakat.
Stimulus ini memang berpotensi bisa menenangkan pasar. Namun juga harus diingat bahwa jumlah kasus infeksi global maupun dalam negeri masih berpotensi terus bertambah dan menjadi ancaman bagi perekonomian. Pasar masih mungkin merespons hal ini dengan kepanikan seperti sebelum-sebelumnya. Bagaimanapun juga pasar masih berpotensi bergerak dengan volatilitas tinggi pekan ini.
Hari ini investor juga akan menyaksikan rilis data neraca perdagangan RI untuk bulan Februari 2020. Berdasarkan poling yang dihimpun CNBC Indonesia, konsensus pasar meramal neraca dagang RI bulan lalu surplus tipis US$ 90 juta.
Namun jangan senang dulu karena surplus, mengingat ini lebih dikarenakan kegiatan impor dan ekspor yang tertekan. Konsensus pasar memperkirakan ekspor Februari 2020 turun sebesar 7,2% (yoy) dan impor terkontraksi sebesar 4,85% (yoy). Jika kontraksi yang terjadi lebih dalam, bukan tidak mungkin pasar akan mengganjarnya.
Well, sampai saat ini tidak ada yang bisa memastikan kapan wabah ini akan berakhir. Satu hal yang perlu diingat adalah musuh utama di babak ini ya si virus itu sendiri. Selagi patogen tersebut belum bisa dijinakkan, maka tekanan masih akan membayangi pasar keuangan global maupun tanah air.
Intervensi di bidang kesehatan publik harus terus ditingkatkan di samping memberikan stimulus. Awareness yang harus ditingkatkan bukan kepanikan. Bagaimanapun juga kita harus bersiap dengan berbagai skenario. Bahkan skenario terburuk pun. (twg/twg)
Next Page
Simak Data dan Agenda Berikut
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular