Newsletter

The Fed dengan Bazooka-nya vs COVID-19, Siapa Menang ?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
16 March 2020 06:09
The Fed dengan Bazooka-nya vs COVID-19, Siapa Menang ?
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan kemarin pasar keuangan domestik mengalami tekanan seiring dengan naik kelasnya wabah COVID-19 menjadi pandemi. Pekan ini pasar keuangan tanah air masih berpotensi bergerak dengan volatilitas tinggi.



Minggu lalu tepatnya pada Rabu (11/03/2020) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan COVID-19 sebagai pandemi. Bisa dibilang pandemi merupakan status paling tinggi yang disematkan untuk kasus wabah yang sudah terjadi secara luas di seluruh dunia.



WHO bukan tanpa alasan menyematkan status tersebut pada COVID-19, pasalnya jumlah orang yang terinfeksi virus yang masih satu jenis dengan SARS ini mencapai lebih dari 100 ribu orang di lebih dari separuh negara di dunia.

Awalnya wabah terjadi di China, tepatnya di Wuhan Provinsi Hubei. Namun korban berjatuhan di China semakin banyak dan meluas ke berbagai negara di penjuru dunia.

"Dalam dua pekan terakhir jumlah kasus yang dilaporkan di luar China bertambah 13 kali lipat dan jumlah negara yang terjangkit bertambah tiga kali lipat" kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus seperti diwartakan CNBC Internasional.

Perubahan status COVID-19 menjadi pandemi membuat orang-orang yang diliputi kecemasan menjadi panik. Hawa kepanikan luar biasa juga dirasakan pasar keuangan tanah air.

Dalam sepekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 10,7% (week on week/wow). Sebenarnya IHSG sudah jatuh dalam sejak awal tahun (-22,1% year to date/ytd). Namun makin tersungkur dengan kabar tersebut.





Berbagai upaya untuk menahan indeks bursa saham domestik agar tidak tergerus sudah dilakukan oleh berbagai pihak. Mulai dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang membolehkan emiten untuk melakukan buyback saham tanpa perlu RUPS hingga berbagai protokol yang disiapkan oleh otoritas bursa (penghentian transaksi short selling, pemberlakuan trading halt jika IHSG anjlok 5% sampai autoreject asimetris untuk saham yang harganya jatuh 10%).

Namun upaya tersebut seolah tak mampu menahan IHSG dari koreksi yang terus berlanjut dengan aksi jual besar-besaran. Data Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat asing telah kabur Rp 7,78 triliun sejak awal tahun. Maklum bursa saham global juga mengalami nasib yang sama.

Tak hanya pasar saham saja yang tertekan, obligasi pemerintah juga ikut terkena dampaknya. Sepekan lalu imbal hasil (yield) surat utang pemerintah RI bertenor 10 tahun mengalami kenaikan sebesar 64 bps (wow). Seperti diketahui bersama yield berbanding terbalik dengan harga, ketika harga naik maka yield turun begitu pun sebaliknya.

Tekanan pada pasar saham dan obligasi pemerintah RI ini juga turut membebani kinerja rupiah. Pada penutupan perdagangan spot pekan lalu tepatnya pada Jumat (13/3/2020) nilai tukar rupiah dibanderol Rp 14.740 per dolar AS. Hanya dalam waktu satu minggu mata uang rupiah harus terdepresiasi sebesar 3,7% (wow) di hadapan dolar AS.



Tak bisa dipungkiri, COVID-19 yang sudah naik kasta jadi pandemi merupakan ancaman terbesar perekonomian global saat ini, termasuk di Indonesia. Apalagi Indonesia kini sudah kebobolan virus ganas tersebut. Alhasil hawa panik di pasar semakin menjadi-jadi.

[Gambas:Video CNBC]



Pasar saham Paman Sam minggu lalu juga bergerak dengan volatilitas tinggi. Setelah nyaris terkoreksi 10% pada perdagangan Kamis (12/03/2020), tiga indeks utama bursa New York langsung melompat lebih dari 9% pada hari perdagangan terakhir Jumat pekan lalu (13/3/2020) waktu setempat.

Walaupun ditutup melesat signifikan pada akhir perdagangan, tiga indeks saham utama Amerika Serikat (AS) masih membukukan koreksi untuk periode mingguan. Pada periode 06-13 Maret, indeks S&P 500 masih mencatatkan koreksi sebesar 8,79% (wow), Dow Jones Industrial Average (DJIA) ambles 10,4% (wow) dan Nasdaq Compsote tersungkur 8,17% (wow).



Jumlah kasus infeksi COVID-19 di AS terus bertambah setiap harinya hingga melampaui angka 1.000. Jelas ini membuat panik pasar saham AS. Ketakutan yang dirasakan di pasar saham AS ini tercermin dari indeks volatilitas yang berada di level tertingginya.

CBOE Equity Volatility Index atau fear index mencerminkan kekhawatiran di pasar. Saat ini indeks volatilitas berada di level tertingginya. Bahkan hampir menyamai rekor levelnya saat krisis keuangan terjadi pada 2008-2009. Hal yang ditakutkan adalah ekonomi terbesar di dunia ini akan jatuh ke dalam jurang resesi.



Hal ini diperdebatkan oleh banyak ekonom AS. Data-data pemodelan ekonomi yang digunakan untuk memprediksi perekonomian di masa mendatang sering kali gagal memprediksi adanya kejadian yang tak terlihat seperti wabah COVID-19 ini.

Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin ikut memberikan komentar saat pasar saham AS mengalami kejatuhan akibat wabah COVID-19 yang menjangkiti dunia dan negaranya. Mnuchin meyakini bahwa COVID-19 ini tak akan membawa perekonomian AS ke dalam resesi.

“Aktivitas ekonomi akan membaik setelah kita berhasil melawan virus ini” kata Mnuchin seperti yang diwartakan ABC News. “Masalahnya bukan terletak pada perekonomian saat ini. Namun lebih kepada alat apa yang akan kita gunakan untuk melewati ini” tambahnya.

Namun pandangan berbeda justru malah diutarakan oleh ekonom kelas kakap AS yang juga eks wakil gubernur bank sentral AS, Alan Blinder. Blinder justru melihat ekonomi AS bisa saja sudah mengalami resesi.

“Saya tidak akan terkejut sedikit pun jika kita melihat pada data, bahwa resesi dimulai di bulan Maret” kata Blinder pada Rabu pekan lalu, melansir CNBC International. “Butuh berbulan-bulan untuk memperoleh data yang relevan untuk bisa menyimpulkan hal itu. Namun hal itu tak akan mengejutkan saya sedikit pun” ungkapnya.

Senada dengan Blinder, Gary Cohn selaku mantan Kepala Dewan Ekonomi Nasional AS juga mengatakan ada kemungkinan AS sudah memasuki periode resesi. “Ini benar-benar menjadi krisis kesehatan masyarakat yang besar yang pada akhirnya akan menurunkan permintaan konsumen” kata Cohn kepada CNN pada Jumat (13/3/2020)

“Kemungkinan besar saya katakan, kita sudah berada dalam resesi. Kita mengalami pertumbuhan negatif sekarang dan pasar mulai menunjukkan hal itu” tambah Cohn, mengutip CNBC International.

Para analis sebenarnya juga sudah memperingatkan faktor lain yang juga jadi indikator pelemahan ekonomi AS mulai dari laba perusahaan yang cenderung flat, aktivitas pada sektor manufaktur yang masih lemah hingga tingginya utang korporasi.

Selain COVID-19, analis juga sudah mewanti-wanti akan adanya ancaman lain bagi perekonomian Paman Sam seperti kemungkinan terjadinya perang dagang kembali dengan China, ketegangan AS-Iran hingga pemilu AS yang memecah belah.

Kata ‘resesi’ memang jadi momok bagi siapa pun. Bagaimanapun juga resesi tidak akan diumumkan secara resmi hingga ekonomi jatuh ke dalamnya atau bahkan sudah melaluinya. Namun yang kita lihat di pasar setiap hari adalah kekhawatiran akan hal itu yang makin tereskalasi.


Terlepas dari apakah ekonomi AS sudah masuk resesi atau belum, yang pasti ekonomi AS dan global sedang menderita akibat COVID-19 dan hari ini jadi hari pertama perdagangan pekan ini. Untuk itu investor perlu mencermati berbagai sentimen yang tentunya masih terkait dengan wabah COVID-19 dan tetek bengeknya.

Sentimen pertama yang perlu dicermati untuk perdagangan hari ini adalah, kinerja pasar saham global pekan lalu. Setelah resmi dinyatakan sebagai pandemi, wabah COVID-19 sukses membuat bursa saham global dari ujung barat hingga ujung timur kompak kebakaran.



Beberapa bursa saham terutama di kawasan Eropa memang terkoreksi parah. Ada yang lebih dari 20% dalam seminggu. Sementara itu, performa bursa saham Benua Kuning minggu lalu juga anjlok tetapi tak separah bursa saham kawasan Benua Biru



Rebound setelah koreksi yang dalam bisa saja terjadi. Namun kemungkinan hal ini terjadi secara temporer saja mengingat COVID-19 masih belum benar-benar bisa dijinakkan di banyak negara.

Untuk itu investor juga perlu terus memantau perkembangan kasus COVID-19 baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Sebenarnya kasus infeksi COVID-19 di China sudah mulai menurun.

Namun lonjakan kasus COVID-19 justru terjadi di luar China dengan Italia (>21.000 kasus) dan Iran (>13.000 kasus) memimpin dengan jumlah kasus terbanyak. Italia bahkan sudah memberlakukan lockdown satu negara sejak pekan lalu. Kini jumlah kasus di luar China hampir menyamai jumlah kasus di China.



Beralih ke dalam negeri, Indonesia juga sudah kebobolan COVID-19. Sejak kasus pertama diumumkan awal Maret, hingga kemarin jumlah infeksi COVID-19 di tanah air sudah mencapai 117 orang. Lima orang dinyatakan meninggal dan delapan orang sembuh.



COVID-19 memang tak pandang bulu dalam menyerang. Salah satu anggota kabinet yakni Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dikabarkan positif terinfeksi COVID-19. Hal ini disampaikan langsung oleh pemerintah pada Sabtu (14/3/2020).

Merespons hal ini Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan waspada bukannya malah panik. Jokowi juga menyampaikan bahwa ini saatnya untuk bekerja, belajar dan beribadah dari rumah.

Dengan semakin banyaknya kasus yang terjadi di Indonesia. Mulai banyak pemerintah daerah yang meliburkan kegiatan belajar mengajar seperti DKI Jakarta dan Surakarta. Beberapa perusahaan juga mengambil kebijakan dengan memberlakukan kerja remote (work from home) untuk mencegah terjadinya transmisi yang tentunya tak diinginkan.

Dalam dua minggu jumlah kasus sudah melebihi angka 100. Artinya per hari setidaknya ada 8 kasus baru dilaporkan. Jumlah kasus infeksi masih berpeluang untuk bertambah. Jika setiap hari jumlah kasus bertambah secara drastis, tentu ini bukan kabar baik untuk kesehatan kita, pasar dan perekonomian dalam negeri. Siapa sangka, prospek perekonomian global yang diramal mulai bangkit pada 2020 akibat hubungan AS-China yang mulai akur kini harus kembali suram akibat agen infeksi yang ukurannya sangat kecil (nanometer : atau setara dengan 10 pangkat minus 12 meter).

Prospek perekonomian kembali 'gloomy' pada 2020 ini. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) merevisi turun pertumbuhan ekonomi global. Jika pada November tahun lalu perekonomian global diperkirakan tumbuh 2,9% pada 2020, maka akibat COVID-19 pertumbuhan ekonomi global direvisi turun jadi 2,4% tahun ini.

OECD merevisi turun perekonomian China yang dari sebelumnya 5,7% pada 2020 menjadi 4,9%. Ekonomi Indonesia juga diperkirakan tumbuh melambat di bawah 5% pada 2020 karena terdampak COVID-19.



Namun setiap negara tidak tinggal diam. Mulai dari AS hingga Indonesia semua bersiap menghadapi COVID-19 dengan amunisi berupa stimulus fiskal maupun moneter. Stimulus fiskal yang diberikan beragam mulai dari relaksasi pajak, bantuan kepada masyarakat langsung untuk menjaga daya beli hingga subsidi untuk perusahaan pada sektor yang terdampak.

Dari sisi moneter, bank sentral di berbagai negara sudah melonggarkan kebijakan moneternya dengan memangkas suku bunga acuan. Tak sampai di situ beberapa bank sentral juga mulai menyuntikkan likuiditas di pasar dengan melakukan pembelian aset-aset finansial seperti surat utang pemerintah.

Bahkan pagi tadi, secara mengejutkan The Fed mengumumkan pemangkasan Federal Fund Rates (FFR) sebesar 100 bps ke level 0-0,25% dan menjadi yang terendah sejak 2015. Tak hanya itu, The Fed juga memulai program Quantitative Easing yang pernah dilakukan saat krisis keuangan global 2008 lalu. The Fed bersiap melawan COVID-19 dengan amunisi US$ 700 miliar untuk membeli aset-aset keuangan seperti surat utang pemerintah maupun efek beragun aset.

“Wabah corona telah membahayakan komunitas dan mengganggu aktivitas ekonomi di berbagai negara” kata The Fed, mengutip CNBC Internasional.

NegaraFiskalMoneter
AustraliaRencana paket stimulus ekonomi senilai US$ 17,6 miliar (bantuan tunai US$ 750 untuk ~6 juta warga Australia berpenghasilan rendah, US$ 6,7 miliar untuk gaji pegawai, US$ 4 miliar untuk insentif investasi, US$ 1,2 miliar untuk program magang & US$ 1 miliar untuk sektor pariwisataReserves Bank of Australia (RBA) memangkas suku bunga acuan 25 bps ke level terendah 0,5%
JepangJepang sedang mempersiapkan paket stimulus ekonomi sebesar US$189 miliar untuk diberikan pada rumah tangga serta memberikan subsidi untuk perusahaan di sektor pariwisata yang terdampak COVID-19Bank of Japan (BoJ) bersiap untuk membeli US$ 1,88 miliar surat utang pemerintah bertenor 10 tahun dan akan menyuntikkan likuiditas ke pasar senilai JPY 1,5 triliun
InggrisSedang mempersiapkan paket stimulus ekonomi senilai GBP 30 miliar (US$ 39 miliar) dengan alokasi sebesar GBP 7 miliar untuk warga dan sektor bisnis, GBP 5 miliar untuk sektor kesehatan publik dan sisanya dialokasikan untuk pengeluaran pemerintah tahun iniBank of England (BoE) memangkas suku bunga acuan sebesar 50 bps ke level 0,25%
Amerika SerikatTrump mengusulkan untuk membebaskan Pajak Penghasilan (PPh) atau mengenakan PPh sebesar nol persenThe Federal Reserves memangkas Federal Fund Rates (FFR) 150 bps ke rentang 0-0,25% dan memulai program QE dengan US$ 700 miliar
IndonesiaPemerintah menggelontorkan stimulus fiskal sebesar Rp 10 triliun (US$ 718 juta) untuk sektor-setor yang terdampak wabah COVID-19. Selain itu pemerintah juga melakukan relaksasi pada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25 dan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) 25 bps ke level 4,75% dan menurunkan GWM rupiah sebesar 50 bps dan GWM valas menjadi 4% dari DPK untuk bank yang beriorientasi kegiatan ekspor impor
Sumber : Brown County Democrat, Financial Times, Guardian, Straits Times, CNBC Indonesia Research

Walaupun tak sedikit yang menyangsikan efektivitas dari stimulus yang diberikan, ini merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk meredam dampak COVID-19 agar tidak terlalu signifikan di samping intervensi yang dilakukan pada sektor kesehatan masyarakat.

Stimulus ini memang berpotensi bisa menenangkan pasar. Namun juga harus diingat bahwa jumlah kasus infeksi global maupun dalam negeri masih berpotensi terus bertambah dan menjadi ancaman bagi perekonomian. Pasar masih mungkin merespons hal ini dengan kepanikan seperti sebelum-sebelumnya. Bagaimanapun juga pasar masih berpotensi bergerak dengan volatilitas tinggi pekan ini.

Hari ini investor juga akan menyaksikan rilis data neraca perdagangan RI untuk bulan Februari 2020. Berdasarkan poling yang dihimpun CNBC Indonesia, konsensus pasar meramal neraca dagang RI bulan lalu surplus tipis US$ 90 juta.

Namun jangan senang dulu karena surplus, mengingat ini lebih dikarenakan kegiatan impor dan ekspor yang tertekan. Konsensus pasar memperkirakan ekspor Februari 2020 turun sebesar 7,2% (yoy) dan impor terkontraksi sebesar 4,85% (yoy). Jika kontraksi yang terjadi lebih dalam, bukan tidak mungkin pasar akan mengganjarnya.



Well, sampai saat ini tidak ada yang bisa memastikan kapan wabah ini akan berakhir. Satu hal yang perlu diingat adalah musuh utama di babak ini ya si virus itu sendiri. Selagi patogen tersebut belum bisa dijinakkan, maka tekanan masih akan membayangi pasar keuangan global maupun tanah air.

Intervensi di bidang kesehatan publik harus terus ditingkatkan di samping memberikan stimulus. Awareness yang harus ditingkatkan bukan kepanikan. Bagaimanapun juga kita harus bersiap dengan berbagai skenario. Bahkan skenario terburuk pun. Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:


1. Pengumuman suku bunga acuan AS oleh The Fed (04.00 WIB)
2. Rilis data produksi industri China Januari-Februari (09.00 WIB)
3. Rilis data penjualan ritel China Januari –Februari (09.00 WIB)
4. Rilis data neraca dagang Indonesia bulan Februari (09.00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Februari 2020 YoY)

2,68%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2020)

4,75%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Cadangan devisa (Februari 2020)

US$ 130,44 miliar


Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

 

 

 

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular