
Sentimen Penggerak Pasar Pekan Depan: Corona, Corona, Corona!

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pekan ini longsor ke bawah level 5.000, terpangkas 10,75% dalam lima hari perdagangan ke 4.907,57, dan menjadi kinerja mingguan terburuk sejak Oktober 2008.
Untuk pekan depan, berikut ini beberapa sentimen penggerak pasar yang layak diantisipasi, menurut kompilasi data dan analisis Tim Riset CNBC Indonesia. Wabah Covid-19 tentu saja menjadi perhatian utama di atas sentimen penggerak lainnya.
Pertama yang harus digaris-bawahi, semua mata kini tertuju di tim ekonomi, setelah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi akhir pekan ini dinyatakan positif terkena virus corona. Ini tentu saja bukan akhir dunia, karena sang menteri langsung mendapat perawatan intensif.
Selain itu, fatality rate virus ini adalah 3,4% masih lebih kecil dari Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS (9,6%) dan Middle East Respiratory Syndrome/MERS (34%). Namun, yang jadi perhatian pasar adalah: bagaimana kinerja tim ekonomi di Kabinet Indonesia Maju?
Sejauh ini semua menteri yang melakukan kontak dengan menteri perhubungan sudah melakukan tes. Hasilnya? Itulah yang dinanti pasar. Jika semua tim ekonomi harus dirawat maka pasar butuh kepastian bahwa kinerja tim ekonomi tidak akan terganggu.
Selain itu, masuknya virus corona ke lingkaran istana ini menuntut pembuktian ekstra dari pemerintah mengenai transparansi data serta sinergisitas penanganan penyebaran virus corona.
Betul, bahwa stimulus fiskal dan moneter telah digelontorkan. Namun jangan lupa, itu adalah semacam 'multivitamin' dan bukan 'obat' bagi investor pasar modal untuk bisa kembali beraktivitas seperti biasa.
Ini menjelaskan kenapa Strait Times Singapura dan Kospi Korea ambles lebih dari 16%, sedangkan Nikkei longsor 25% sejak Februari meski China, Singapura, hingga Indonesia telah mengumumkan paket stimulus.
Multivitamin memang diperlukan agar pasar yakin pemerintah menjalankan fungsinya. Namun jika ingin mereka masuk kembali ke pasar, maka pusat rasa sakitnya harus diatasi, dalam hal ini penyebaran virus corona. Pangkal kecemasan investor inilah yang harus disasar: hentikan penyebaran virus agar dampak negatifnya terhadap perekonomian kian terkendali.
Artinya, perlu ada langkah-langkah penanganan jitu dan juga perlu temuan mengenai obat atau vaksin anti-corona. Dua hal inilah yang masih ditunggu pelaku pasar di Indonesia saat ini, termasuk pada pekan ini.
Sentimen Lain Masih Terkait dengan Dampak Corona
Sentimen kedua yang perlu diperhatikan adalah rilis neraca perdagangan Indonesia pada Senin. Menurut polling Reuters, Indonesia pada Februari masih membukukan surplus perdagangan sebesar US$ 90 juta, atau berbalik dari posisi sebelumnya yang defisit US$ 87 juta.
Kabar buruknya, ekspor diprediksi masih tertekan alias -6%, sedangkan impor -3,08%. Kontraksi aktivitas perdagangan ini melanjutkan capaian pada Januari yang juga tertekan masing-masing sebesar 3,71% dan 4,78%.
Senada, konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi -7,2% year-on-year (YoY), sedangkan impor terkontraksi -4,8% YoY, dan neraca perdagangan surplus tipis US$ 91 juta.
Kontraksi ini terjadi di tengah wabah corona yang mengganggu aktivitas manufaktur di China, sebagai mitra dagang utama Indonesia. Hal ini mengonfirmasi bahwa dampak buruk Covid-19 terhadap perekonomian nasional memang nyata adanya.
Sentimen ketiga berasal dari bank sentral Amerika Serikat (AS) dan Bank Indonesia (BI) yang bakal mengumumkan tingkat suku bunga acuan mereka. BI menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) Rabu depan, dan mengumumkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI repo rate) pada Kamis setelah The Fed mengumumkan tingkat Fed Funds Rate dini hari (WIB).
Pelaku pasar secara umum berpandangan bahwa suku bunga acuan akan dipangkas mengikuti tren global, mengingat bank sentral AS, Hong Kong, hingga Inggris telah kompak memangkas suku bunga acuan hingga 50 basis poin (bps) beberapa waktu lalu. Kebijakan ini diambil sebagai upaya untuk mendongkrak perekonomian yang berpeluang melambat akibat wabah corona.
Namun di Indonesia, pemangkasan suku bunga seagresif itu berpeluang memicu capital outflow karena membuat imbal hasil aset investasi di Indonesia menjadi kurang kompetitif, yang pada gilirannya bakal menekan nilai tukar rupiah.
Sentimen keempat adalah data-data ekonomi yang akan bermunculan mengindikasikan kelesuan atau keaktifan perekonomian sebuah negara di tengah wabah Covid-19. Utamanya adalah data ritel yang akan dirilis China pada Senin pekan depan, dan dirilis AS pada Selasa.
Konsensus analis dan ekonom yang dihimpun Tradingeconomics memperkirakan penjualan ritel Februari di China akan tumbuh melambat, yakni hanya 0,8%, jauh jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 8%. Hal ini wajar terjadi karena lockdown di China membuat aktivitas jual-beli produk ritel di masyarakat tertekan karena belanja lebih difokuskan pada kebutuhan konsumsi harian.
Di sisi lain, penjualan ritel AS juga diprediksi tumbuh melambat, meski dengan laju yang jauh lebih lumayan ketimbang China, yakni melambat menjadi 0,2% dari bulan sebelumnya sebesar 0,3%. Perlambatan yang terjadi hanya 100 basis poin, karena AS bulan lalu memang belum melaporkan lonjakan wabah Covid-19.
TIM RISET CNBC INDONESIA(ags/ags) Next Article Ramai Sentimen Pekan Depan, Dari PDB Q3 RI Hingga Pilpres AS
