Newsletter

How Low Can You Go? Apa Pasar Sudah Capai Titik Nadir?

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
02 March 2020 06:59
How Low Can You Go? Apa Pasar Sudah Capai Titik Nadir?
Bursa Efek Indonesia Terkoreksi

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu tentu menjadi salah satu lembaran hitam bagi pasar saham dan pasar keuangan di hampir seluruh belahan dunia. Terang saja, pasar saham dunia yang menjadi cerminan harapan pelaku pasar ambles terpapar sentimen negatif dari penyebaran virus corona Wuhan (Covid-19) ke penjuru dunia. 

Cemas dan panik adalah dua kata yang menggambarkan psikologis pelaku pasar pada pekan ini. Bursa saham global anjlok signifikan setelah di awal pekan terjadi lonjakan kasus baru virus corona yang terjadi di luar China.


Korea Selatan, Italia dan Iran menjadi tiga negara yang melaporkan pertambahan jumlah kasus infeksi COVID-19 secara signifikan dan untuk pertama kalinya mengungguli jumlah kasus baru yang dilaporkan di China.

Bertambahnya jumlah kasus baru secara signifikan di luar China serta merembetnya infeksi ke lebih dari 50 negara menjadi ancaman serius bagi perekonomian global. Angka kematian akibat virus itu pun sudah menembus level psikologis 3.000 orang hari ini, tepatnya menjadi 3.001 orang berdasarkan data Worldometer dan Johns Hopkins CSSE.


Indeks saham di Wall Street, Amerika Serikat (AS), yaitu Dow Jones Industrial Avg dan S&P 500 turun masing-masing 12,36% dan 11,48% sepanjang pekan lalu hingga kembali ke posisi Juni 2019 dan Oktober 2019.

Di dalam negeri, indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjerembab lebih tipis yaitu hanya 7,31% tetapi angka penurunan yang lebih kecil itu sudah membuat indeks kembali ke 5.452, posisi terendah sejak Maret 2017.



Pada periode sepekan itu, hanya ada 80 saham yang berhasil menguat, 438 turun, dan 64 saham tidak berubah dari posisi akhir pekan sebelumnya.

Adanya risiko tersebut membuat investor memilih risk averse mode dan beralih ke aset-aset safe haven seperti emas, obligasi pemerintah, dan mata uang yang dianggap kuat yaitu yen.

Menyikapi kekhawatiran virus corona, diburunya emas tercermin dari penguatan harga logam mulia itu hingga ditutup pada US$ 1.660,42/troy ounce pada Senin pekan lalu, rekor baru selama 7 tahun terakhir.

Namun, ternyata penguatan di harga emas itu tidak berhasil bertahan lama karena investor emas kali ini kurang sabar menyikapi kenaikan harga dan berusaha menjadikannya penutup kerugian dari portofolio di instrumen lain.

Karena itu, harga emas terkoreksi duluan dibandingkan instrumen yang dianggap aman (safe haven) lainnya karena investornya lebih dulu mengambil untung dan melakukan aksi jual yang cukup deras sehingga harganya kembali ke US$ 1.584,74 di akhir pekan lalu.



[Gambas:Video CNBC]





Berbeda dengan pasar obligasi pemerintah Amerika Serikat, di mana harganya masih mencetak rekor tertinggi secara beruntun atau 'naik-naik ke puncak gunung' selama sepekan terakhir dan menekan tingkat imbal hasilnya (yield) ke posisi terendah sepanjang masa. Yield US Treasury seri acuan 10 tahun turun hingga 1,12% pada akhir pekan lalu dari 1,47% pada pekan sebelumnya.

Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. Yield yang menjadi acuan keuntungan yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Karena turunnya yield tersebut, selisih yield US Treasury dengan yield surat utang negara (SUN) tenor sama yaitu 10 tahun melebar hingga 565, jauh di atas rerata spread 538 bps pada 2019 dan 452 bps pada 2018. Besaran 100 bps setara 1%.

Sepekan lalu, pasar obligasi pemerintah Indonesia terkoreksi seiring dengan pelemahan pasar saham karena risikonya masih dianggap beriringan. Koreksi terjadi dan menekan yield seri 10 tahun sebesar 29 bps menjadi 6,83% dari posisi pekan sebelumnya 6,54%.

Di sisi instrumen safe haven lain yaitu yen Jepang, penguatan terhadap dolar AS terlihat signifikan seiring dengan posisi dolar AS sendiri, yang biasa disebut greenback, keok di hadapan enam mata uang utama dunia. Dollar Index adalah posisi dolar AS di depan mata uang utama lain yakni euro, poundsterling, yen, dolar Kanada, franc Swiss, dan krona Swedia.

Yen menguat dari 0,89/dolar AS pada akhir pekan sebelumnya (21/2/20) menjadi 0,92/dolar AS pada akhir pekan lalu, yang diiringi oleh turunnya Indeks Dolar AS dari 99,26 menjadi 98,13.

Pekan ini, pelaku pasar kemungkinan besar akan mencari-cari dan menerka-nerka titik terbawah (bottom) setelah pasar amblas pekan lalu. Secara historis, CNBC.dom mencatat bahwa sejak Perang Dunia II indeks S&P 500 mengalami 26 kali koreksi pasar (selain yang terjadi sepekan terakhir).

Pada periode tersebut, S&P 500 membukukan rerata penurunan 13,7% dan memerlukan waktu selama 4 bulan untuk membaik lagi, jika tidak masuk ke tren koreksi lagi (bearish).

Koreksi Historis S&P 500Foto: cnbc.com
Koreksi Historis S&P 500

Sentimen pertama yang masih bakal mewarnai psikologi investor tentu saja adalah data Covid-19. Pemodal bakal menanti apakah pekan ini akan menjadi drama lanjutan virus yang bermula dari Wuhan (China) itu dengan kenaikan jumlah negara pengidap Covid-19.

Sejauh ini, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menilai kepanikan pasar cenderung berlebihan. "Pasar global... seharusnya tenang dan coba melihat realitas yang ada," ujar Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus kepada CNBC International dalam sebuah diskusi panel di Riyadh, Arab Saudi.

Jika penyebaran meluas, maka WHO akan mengangkat status wabah corona dari epidemi menjadi pandemi. Pasar global pun bakal terkoreksi lagi. Sebaliknya, jika muncul sinyal bahwa penyebaran kian terhadang dan muncul titik terang seputar terapi virus tersebut, maka pasar akan mengalami pembalikan (rebound).

Sentimen kedua muncul dari aktivitas manufaktur Februari (yang terkena dampak langsung dari wabah corona), mengingat China yang menjadi sumber wabah ini menjadi salah satu pusat penting produksi manufaktur dunia.

Bagi pemodal Indonesia, Senin ini akan menjadi momen penting karena Markit akan merilis Purchasing Manager's Index/PMI pada pagi pukul 07:30. Konsensus Tradingeconomics memperkirakan manufaktur Tanah Air masih terkontraksi, dengan angka 49,1 atau lebih rendah dari posisi Januari (49,3).

Pada hari yang sama, Caixin akan merilis data serupa pada pagi. Para pekerja korporasi yang menangani pemesanan barang di China terlihat memilih menunda pemesanannya, dengan angka indeks 45,7. Pada bulan sebelumnya, posisi para manajer di China masih ekspansif dengan angka indeks 51,1.

Angka indeks PMI di atas 50 mengindikasikan ekspansi, sedangkan di bawah itu menunjukkan kontraksi. Pada malam hari, giliran angka PMI manufaktur Amerika Serikat (AS) yang dirilis (versi ISM). Konsensus Tradingeconomics memperkirakan korporasi AS masih ekspansif, dengan angka indeks PMI di level 50,8 (dari posisi bulan sebelumnya pada 51,9).

Sentimen terpenting ketiga bakal berasal dari AS, yakni ajang ‘Selasa Super’ yang berlangsung Rabu malam waktu Indonesia. Pelaku pasar juga mencermati siapa yang akan menjadi kandidat dari Partai Demokrat untuk menantang Presiden AS Donald Trump dalam pemilih presiden November nanti.

‘Selasa Super’ adalah ajang terpenting kedua setelah hari pencoblosan di AS, di mana para bakal calon presiden baik dari kubu Demokrat maupun Republik bakal mengantongi suara untuk melaju ke putaran selanjutnya, bertarung di pemilihan presiden (pilpers) langsung.

Karena kubu Republik telah memiliki calon, yakni Trump, maka pandangan pelaku pasar akan tertuju ke kubu Demokrat. Bernie Sanders sejauh ini dianggap menjadi kandidat terkuat dari kubu tersebut, mengalahkan tujuh kandidat lainnya termasuk Michael Bloomberg.

Jika dia terpilih, maka AS akan memiliki calon presiden pertama yang merupakan seorang sosialis. Sanders juga akan menjadi presiden tertua yang menjabat, yakni pada umur 79 tahun, menggeser Trump yang sebelumnya memegang rekor tersebut pada usia 73 tahun.

Sentimen terpenting keempat adalah data PMI untuk sektor jasa. Caixin merilis indeks PMI untuk sektor jasa di China, yang diperkirakan juga memasuki zona kontraksi pada level 47,7 atau berbalik dari angka bulan sebelumnya yang masih ekspansif di angka 51,8.

Berturut-turut pada hari yang sama, pelaku pasar global akan melihat rilis indeks PMI sektor jasa di India, Rusia, Prancis, Denmark, Brazil, Uni Eropa dan AS. Jika mayoritas menunjukkan angka ekspansif, maka kepanikan bursa global berpeluang kian mereda.

Namun, Tradingeconomics sejauh ini memprediksi angka PMI sektor jasa di AS (versi Markit) bakal terkontraksi di angka 49,4 (dibandingkan angka sebelumnya pada 52,7). Hal ini patut diwaspadai. Di Negeri Sam, sektor jasa menyumbang penyerapan pekerja terbesar ketiga setelah sektor perdagangan dan layanan publik (kesehatan dan pendidikan).

Angka klaim asuransi pengangguran AS yang akan dirilis pada Kamis sejauh ini mengindikasikan bahwa klaim pengangguran baru dan lama diprediksi bertambah dengan laju menurun, masing-masing sebanyak 215.000 dan 1.722.000 orang (dari sebelumnya 219.000 dan 1.724.000).

Sentimen terakhir berasal dari dalam negeri yakni angka inflasi Indonesia (Februari) yang juga akan diumumkan pada Senin. Polling Refinitiv memperkirakan inflasi Februari sebesar 2,86% secara tahunan (dari angka Januari 2,68%), dan 0,18% secara bulanan (dari 0,39%). Angka inflasi inti berada di level 2,85% (dari bulan sebelumnya 2,88%).

Sejauh ini, pasar sudah mengantisipasi inflasi di Indonesia masih terjaga. Karena pengusaha biasanya telah menaikkan pesanan bahan baku dari China jelang libur Imlek, maka efek imported inflation (inflasi dari luar negeri) akibat problem pasokan di Negeri Panda tersebut belum terlihat pada Februari.

Senin, 2 Maret 2020
Inflasi, Indonesia. 09.00 WIB
Data penjualan motor, Indonesia. 13.30 WIB.

Caixin Manufacturing PMI, China. 08.45 WIB.
Pertumbuhan ekonomi, Italia. 17.00 WIB.


Selasa, 3 Maret 2020
PT Arwana Citra Mulia Tbk (ARNA) RUPS 10.00 WIB
ARNA public expose.

Penetapan suku bunga acuan Bank Sentral Australia (RBA), Australia. 10.30 WIB.
Indeks Keyakinan Konsumen, Jepang. 12.00 WIB.
Angka pengangguran, inflasi, Uni Eropa. 17.00 WIB.
Pemilihan kandidat presiden dari Partai Demokrat, Amerika Serikat.



Rabu, 4 Maret 2020
DIRE Ciptadana Properti Ritel Indonesia (XCID) dividen kas cum date
DIRE Ciptadana Properti Perhotelan Padjajaran (XCIS) dividen kas cum date

Pertumbuhan Ekonomi, Australia. 07.30 WIB.
Pertumbuhan ekonomi, Italia. 16.00 WIB.
EIA Stock minyak mentah, Amerika Serikat. 10.30 WIB.
Angka pesanan pabrik, Amerika Serikat. 22.00 WIB.



Kamis, 5 Maret 2020
PT Estika Tata Tiara Tbk (BEEF) RUPS 10.00 WIB.
PT Cahaysakti Investindo Sukses Tbk (CSIS) RUPS 09.00 WIB.
PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS) RUPS 14.00 WIB.



Jumat, 6 Maret 2020
PT Bank Mega Tbk (MEGA) RUPS 14.00 WIB
Cadangan devisa, Indonesia, 10.00 WIB.

Neraca perdagangan, tingkat tenaga kerja non-pertanian, Amerika Serikat. 20.30 WIB.



Sabtu, 7 Maret 2020
Neraca perdagangan, China. 10.00 WIB.
Cadangan devisa, China, 14.00 WIB.



Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Februari 2020 YoY)

2,68%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2020)

4,75%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Cadangan devisa (Januari 2020)

US$ 131,7 miliar

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular