Newsletter

Virus Corona Hingga Inflasi Menghantui, IHSG Apa Kabar?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 February 2020 06:19
Virus Corona Hingga Inflasi Menghantui, IHSG Apa Kabar?
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditransaksikan melemah di sepanjang pekan kemarin.

Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk 4,87%, imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor 10 tahun naik 2,9 basis poin (bps), sementara rupiah terdepresiasi 0,63% di pasar spot melawan dolar AS.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Lantas, bulan Januari di tahun 2020 menjadi bulan Januari terburuk bagi pasar saham Tanah Air dalam sembilan tahun. Di sepanjang Januari 2020, IHSG ambruk hingga 5,71%.

Jika berkaca kepada sejarah, sejatinya bulan Januari bisa dikatakan sebagai bulan yang bersahabat bagi pelaku pasar saham Tanah Air. Dalam 10 tahun terakhir (2010-2019), IHSG hanya dua kali membukukan imbal hasil negatif secara bulanan pada bulan Januari, yakni pada tahun 2011 dan 2017.

Apresiasi terbaik IHSG pada bulan Januari terjadi pada tahun 2019 atau tahun lalu. Per akhir Januari 2019, IHSG melejit hingga 5,46% jika dibandingkan dengan posisi per akhir Desember 2018.

Jika dirata-rata, IHSG membukukan imbal hasil sebesar 1,58% secara bulanan pada bulan Januari.

Ada beberapa faktor yang menekan kinerja IHSG pada bulan pertama di tahun 2020, di mana salah satunya adalah potensi meletusnya perang dunia ketiga.

Pada awal tahun 2020, AS menembak mati petinggi pasukan militer Iran Jenderal Qasim Soleimani yang merupakan pemimpin dari Quds Force selaku satuan pasukan khusus yang dimiliki Revolutionary Guards (salah satu bagian dari pasukan bersenjata Iran). Soleimani tewas dalam serangan udara yang diluncurkan oleh AS di Baghdad.

Selain itu, Abu Mahdi al-Muhandis yang merupakan wakil komandan dari Popular Mobilization Forces selaku kelompok milisi Irak yang dibekingi oleh Iran, juga meninggal dunia.

Masih dari sisi eksternal, meluasnya infeksi virus corona menjadi faktor yang menekan kinerja IHSG. Virus corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.

Berpusat di China, kasus infeksi virus corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Hingga hari Jumat (31/1/2020), setidaknya sebanyak 25 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus corona di wilayah mereka.

China, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Inggris, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona.

Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi pasar saham Tanah Air datang dari pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI). Hasil RDG diumumkan oleh BI pada hari Kamis pekan sebelumnya (23/1/2020).

Sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, tingkat suku bunga acuan ditahan di level 5% oleh bank sentral. Lantas, empat bulan sudah BI tak memangkas 7-day reverse repo rate.

Untuk diketahui, kali terakhir BI memangkas 7-day reverse repo rate adalah pada September 2019. Di sepanjang tahun lalu, secara total BI memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 100 bps.

Jika tingkat suku bunga acuan kembali dipangkas, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan semakin terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Kala perekonomian sedang lesu seperti saat ini, wajar jika pelaku pasar saham Tanah Air berharap bahwa BI akan menyuntikkan stimulus moneter. Absennya stimulus moneter dari lantas membuat IHSG kian tertekan.
Beralih ke AS, Wall Street ‘kebakaran’ pada pekan kemarin: indeks Dow Jones anjlok 2,55%, indeks S&P 500 ambruk 2,16%, dan indeks Nasdaq Composite terkoreksi 1,76%.

Pada perdagangan terakhir di pekan kemarin, Jumat (31/1/2020), indeks Dow Jones jatuh 2,09%, indeks S&P 500 melemah 1,77%, dan indeks Nasdaq Composite terkoreksi 1,59%. Indeks Dow Jones mencatatkan kinerja harian terburuk sejak Agustus 2019, sementara indeks S&P 500 menorehkan kinerja harian terburuk sejak Oktober 2019.

Meluasnya infeksi virus corona menjadi faktor utama yang menekan kinerja bursa saham AS pada pekan kemarin. Melansir CNBC International, pada hari Jumat kemarin China mengonfirmasi bahwa sebanyak 213 orang di wilayahnya telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 9.692. Padahal hingga hari Minggu (26/1/2020), jumlah korban meninggal baru mencapai 56 orang.

Badan Kesehatan Dunia PBB, WHO, pada akhirnya mendeklarasikan kondisi darurat internasional terkait infeksi virus corona.

"Kekhawatiran terbesar kami adalah potensi penyebaran virus ke negara-negara dengan sistem kesehatan yang lemah," kata Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Kamis (30/1/2020), sebagaimana dikutip dari AFP.

Ia menegaskan peningkatan status ini menjadikan penyebaran virus corona sebagai hal darurat yang perlu diperhatikan masyarakat internasional. Meski begitu, ini bukan berarti WHO tidak percaya kepada kemampuan China dalam menangani penyebaran virus tersebut.

Tetap saja, penyebarannya yang masif menjadi fokus badan dunia ini, apalagi jika masuk ke wilayah yang penanganan kesehatannya jauh di bawah China.

"Kita semua harus bertindak bersama sekarang untuk membatasi penyebaran lebih lanjut ... Kita hanya bisa menghentikannya bersama," tegasnya lagi.

Sebagai catatan, kondisi darurat internasional sudah lima kali dideklarasikan oleh WHO sejak aturannya berlaku pada tahun 2007 silam, yakni untuk flu babi, polio, Zika, Ebola, dan kini virus Corona.

Lebih lanjut, tekanan bagi bursa saham AS datang dari rilis angka pertumbuhan ekonomi. Pada hari Kamis (30/1/2020), pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal IV-2019 diumumkan di level 2,1% (QoQ annualized), sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh Dow Jones.

Untuk keseluruhan tahun 2019, perekonomian AS hanya tumbuh 2,3%, menandai laju pertumbuhan terlemah dalam tiga tahun. Untuk diketahui, pada tahun 2017 perekonomian AS tumbuh sebesar 2,4%, disusul pertumbuhan sebesar 2,9% pada tahun 2018.

Laju pertumbuhan tersebut juga berada di bawah target yang dipatok oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Pasca resmi memangkas tingkat pajak korporasi dan individu pada tahun 2017, Gedung Putih memproyeksikan pertumbuhan ekonomi untuk setidaknya berada di level 3%.

Kedepannya, laju perekonomian AS bisa semakin tertekan. Pasalnya, The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS pada pekan kemarin memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di rentang 1,5%-1,75%.

Di sepanjang tahun 2019, The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak tiga kali, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli, September, dan Oktober. Jika ditotal, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 75 bps oleh Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan koleganya di bank sentral.

Perang dagang AS-China, perlambatan ekonomi global, dan inflasi yang rendah menjadi faktor yang membuat The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps tersebut.

Kini, absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh The Fed lantas berpotensi untuk semakin menekan laju perekonomian AS. Pada perdagangan pertama di pekan ini, Senin (3/2/2020), pelaku pasar patut mencermati beberapa sentimen. Pertama, kinerja Wall Street yang jauh dari kata menggembirakan di sepanjang pekan lalu, terutama di hari Jumat.

Sebagai kiblat dari pasar keuangan dunia, terkoreksinya Wall Street pada perdagangan hari Jumat tentu berpotensi memantik aksi jual di pasar keuangan Asia pada hari ini.

Sentimen kedua yang perlu dicermati pelaku pasar adalah perkembangan terkait dengan infeksi virus Corona. Pada hari Jumat kemarin, AS mendeklarasikan kondisi darurat nasional di bidang kesehatan sebagai respons dari terus meluasnya infeksi virus Corona.

Merespons deklarasi darurat nasional oleh pemerintahan Presiden Trump, maskapai-maskapai besar di AS yakni Delta, American, dan United menghentikan seluruh penerbangan yang menghubungkan AS dan China.

Pada penutupan perdagangan hari Jumat, harga saham Delta jatuh 2,4%, sementara harga saham American dan United masing-masing melemah lebih dari 3%.

“Ada ketakutan memasuki akhir pekan,” kata Ilya Feygin, senior strategist di WallachBeth Capital, Jumat (31/1/2020), seperti dilansir dari CNBC International.

“Tema memasuki tahun ini adalah the Fed dan Trump akan menyelamatkan kita dari segala masalah, tetap virus Corona merupakan sesuatu yang tak bisa diatasi oleh keduanya. Itu adalah alasan untuk menjadi lebih takut.”

Meluasnya infeksi virus corona datang di saat yang sangat tidak tepat, yakni kala masyarakat China tengah merayakan hari raya Tahun Baru China atau yang dikenal dengan istilah Imlek di Indonesia. Di China, perdagangan di bursa sahamnya diliburkan mulai dari tanggal 24 Januari hingga 30 Januari guna memperingati Tahun Baru China.

Selama libur Tahun Baru China, masyarakat China biasanya kembali ke kampung halamannya, sama seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia pada hari raya Idul Fitri. Dalam periode tersebut, konsumsi masyarakat China biasanya akan meningkat drastis.

Pemerintah China sendiri memperkirakan akan ada sebanyak tiga miliar perjalanan pada Tahun Baru China kali ini, naik dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan tersebut, 2,43 miliar diperkirakan ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.

Pada akhir 2002 hingga tahun 2003 kala wabah SARS merebak di China, laju pertumbuhan ekonominya jelas tertekan. Pada kuartal III-2002, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 9,6% secara tahunan, mengutip data dari Refinitiv. Pada kuartal IV-2002 kala wabah SARS mulai merebak, pertumbuhannya melemah menjadi 9,1% saja.

Pada kuartal I-2003, pertumbuhan ekonomi China berhasil naik hingga 11,1% secara tahunan, namun diikuti oleh penurunan yang tajam pada kuartal berikutnya. Pada kuartal II-2003, perekonomian China hanya mampu tumbuh 9,1% secara tahunan. Pada dua kuartal terakhir di tahun 2003, perekonomian China tumbuh masing-masing sebesar 10% secara tahunan.

Melansir CNBC International, pasca tumbuh 12% pada tahun 2002, industri pariwisata China langsung terkontraksi pada tahun 2003 merespons merebaknya wabah SARS, menandai kontraksi pertama dalam satu dekade. Pemberitaan CNBC International tersebut mengutip publikasi riset dari Eric Lin selaku kepala riset di UBS Securities.

“Valuasi dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pariwisata terpangkas 20%-50% dari puncaknya dalam periode Januari-Juni 2003,” tulis Lin dalam risetnya, seperti dilansir dari CNBC International.

Berbicara mengenai virus corona, jika ternyata infeksinya merebak menjadi wabah seperti SARS, dampaknya ke perekonomian China bisa lebih besar. Pasalnya, kini perekonomian China sudah semakin tergantung kepada sektor jasa.

Melansir CNBC International, sektor jasa menyumbang sebesar 59,4% dari total produk domestik bruto (PDB) China pada tahun 2019, sementara pada tahun 2003 kala wabah SARS merambah China kontribusi dari sektor jasa hanyalah sebesar 39%.

Sejauh ini, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, sementara pada tahun 2003 China bahkan tak menempati posisi lima besar. Lantas, dampak dari tekanan terhadap perekonomian China kini akan semakin terasa bagi perekonomian global. Sentimen ketiga yang perlu dicermati pelaku pasar adalah perkembangan proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa atau yang dikenal dengan istilah Brexit.

Sekedar mengingatkan, pada tanggal 12 Desember kemarin Inggris mengadakan pemilihan umum. Melansir BBC, Partai Konservatif memenangi 365 kursi di parlemen atau 47 kursi lebih banyak dari yang berhasil mereka raih pada gelaran pemilihan umum tahun 2017.

Sebagai informasi, sebuah partai biasanya memerlukan lebih dari 320 kursi di Parlemen guna meloloskan rancangan undang-undang.

Dengan kemenangan tersebut, Boris Johnson yang juga merupakan pemimpin Partai Konservatif otomatis mempertahankan posisinya sebagai perdana menteri Inggris.

Kemenangan besar Johnson dan Partai Konservatif kemudian membuahkan hasil. Beberapa waktu yang lalu, Parlemen Inggris menyetujui kesepakatan Brexit yang diajukan oleh Johnson.

Melansir CNBC International, para anggota parlemen di Inggris menyetujui inti dari kesepakatan Brexit yang diajukan oleh Johnson. Kesepakatan Brexit yang diajukan oleh Johnson lolos dengan suara 358 berbanding 234.

Kesepakatan Brexit tersebut lalu dirundingkan oleh kedua kamar yang membentuk Parlemen Inggris, yakni House of Commons dan House of Lords.

Memang, dengan dikuasainya mayoritas kursi Parlemen oleh Partai Konservatif, proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) diharapkan bisa berjalan dengan mulus. Seperti diketahui, sebelumnya proposal Brexit selalu kandas di Parlemen.

Pada hari Jumat kemarin, Inggris pada akhirnya resmi meninggalkan Uni Eropa pasca menjadi bagian dari blok ekonomi terbesar di dunia tersebut selama 47 tahun.

Kepergian Inggris dari Uni Eropa pada hari Jumat kemarin sekaligus menandai dimulainya periode transisi yang akan berakhir pada akhir tahun 2020. Selama periode transisi berlangsung, Inggris akan tetap menjadi bagian dari pasar tunggal (single market) dan wilayah kepabeanan (customs union) yang akan membuatnya menikmati perdagangan tanpa tarif dengan negara-negara Uni Eropa lainnya.

Selama periode transisi tersebut, Inggris akan menggelar negosiasi dengan Uni Eropa terkait dengan kesepakatan dagang kedua belah pihak. Jika sampai kedua belah pihak tak bisa mencapai kata sepakat, maka yang namanya ‘no-deal Brexit’ akan tetap terjadi.

Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa no-deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi. Melansir Investopedia, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Mengingat Inggris merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar keenam di dunia, tentu potensi jatuhnya Inggris ke jurang resesi akan menjadi sentimen negatif yang secara signifikan menekan laju perekonomian dunia, termasuk Indonesia.

Sentimen keempat yang perlu dicermati pelaku pasar adalah rilis angka inflasi periode Januari 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan bahwa pada bulan lalu terjadi inflasi sebesar 0,46% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,85%.

Sebagai catatan, dalam beberapa waktu terakhir inflasi Indonesia selalu berada di bawah ekspektasi. Pada bulan Desember 2019 misalnya, BPS mengumumkan terjadi inflasi sebesar 0,34% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan yang juga merupakan inflasi untuk keseluruhan tahun 2019 berada di level 2,72%.

"Dengan inflasi Desember 2019 0,34% maka inflasi 2019 secara keseluruhan 2,72%," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS pada awal tahun ini.

Capaian tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi secara bulanan berada di level 0,51%, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,93%.

Sebelumnya lagi pada awal Desember 2019, BPS mengumumkan bahwa sepanjang November 2019 terjadi inflasi sebesar 0,14% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan tercatat di level 3%.

Inflasi pada November 2019 berada di bawah konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia. Median dari 12 ekonom yang ikut berpartisipasi dalam pembentukan konsensus kala itu memproyeksikan tingkat inflasi secara bulanan di level 0,2%, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan berada di angka 3,065%.

Rilis angka inflasi yang terus-menerus berada di bawah ekspektasi praktis menguatkan pandangan bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di level yang rendah.

Jika angka inflasi periode Januari 2020 kembali berada di bawah ekspektasi, lagi-lagi hal tersebut akan menguatkan pandangan bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di level yang rendah. Implikasinya, saham-saham konsumer bisa diterpa tekanan jual dengan intensitas yang besar.

Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:

  • Rilis pembacaan akhir atas data Manufacturing PMI Jepang periode Januari 2020 (07:30 WIB)
  • Rilis Manufacturing PMI Korea Selatan periode Januari 2020 versi Markit (07:30 WIB)
  • Rilis Manufacturing PMI China periode Januari 2020 versi Caixin (08:45 WIB)
  • Rilis data inflasi Indonesia periode Januari 2020 (09:00 WIB)
  • Rilis pembacaan awal atas data pertumbuhan ekonomi Hong Kong periode kuartal-IV 2019 (15:30 WIB)
  • Rilis Manufacturing PMI Singapura periode Januari 2020 (20:00 WIB)
  • Rilis Manufacturing PMI AS periode Januari 2020 versi ISM (22:00 WIB)


Berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Kuartal III-2019)

5,02% YoY

Inflasi (Desember 2019)

2,72% YoY

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2020)

5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Kuartal III-2019)

-2,66% PDB

Neraca pembayaran (Kuartal III-2019)

-US$ 46 juta

Cadangan devisa (Desember 2019)

US$ 129,18 miliar

 TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular