Newsletter

Virus Corona Hingga Inflasi Menghantui, IHSG Apa Kabar?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 February 2020 06:19
Virus Corona Buat Wall Street ‘Kebakaran’
Foto: Pasar Finansial Wall Street (AP Photo/Richard Drew)
Beralih ke AS, Wall Street ‘kebakaran’ pada pekan kemarin: indeks Dow Jones anjlok 2,55%, indeks S&P 500 ambruk 2,16%, dan indeks Nasdaq Composite terkoreksi 1,76%.

Pada perdagangan terakhir di pekan kemarin, Jumat (31/1/2020), indeks Dow Jones jatuh 2,09%, indeks S&P 500 melemah 1,77%, dan indeks Nasdaq Composite terkoreksi 1,59%. Indeks Dow Jones mencatatkan kinerja harian terburuk sejak Agustus 2019, sementara indeks S&P 500 menorehkan kinerja harian terburuk sejak Oktober 2019.

Meluasnya infeksi virus corona menjadi faktor utama yang menekan kinerja bursa saham AS pada pekan kemarin. Melansir CNBC International, pada hari Jumat kemarin China mengonfirmasi bahwa sebanyak 213 orang di wilayahnya telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 9.692. Padahal hingga hari Minggu (26/1/2020), jumlah korban meninggal baru mencapai 56 orang.

Badan Kesehatan Dunia PBB, WHO, pada akhirnya mendeklarasikan kondisi darurat internasional terkait infeksi virus corona.

"Kekhawatiran terbesar kami adalah potensi penyebaran virus ke negara-negara dengan sistem kesehatan yang lemah," kata Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Kamis (30/1/2020), sebagaimana dikutip dari AFP.

Ia menegaskan peningkatan status ini menjadikan penyebaran virus corona sebagai hal darurat yang perlu diperhatikan masyarakat internasional. Meski begitu, ini bukan berarti WHO tidak percaya kepada kemampuan China dalam menangani penyebaran virus tersebut.

Tetap saja, penyebarannya yang masif menjadi fokus badan dunia ini, apalagi jika masuk ke wilayah yang penanganan kesehatannya jauh di bawah China.

"Kita semua harus bertindak bersama sekarang untuk membatasi penyebaran lebih lanjut ... Kita hanya bisa menghentikannya bersama," tegasnya lagi.

Sebagai catatan, kondisi darurat internasional sudah lima kali dideklarasikan oleh WHO sejak aturannya berlaku pada tahun 2007 silam, yakni untuk flu babi, polio, Zika, Ebola, dan kini virus Corona.

Lebih lanjut, tekanan bagi bursa saham AS datang dari rilis angka pertumbuhan ekonomi. Pada hari Kamis (30/1/2020), pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal IV-2019 diumumkan di level 2,1% (QoQ annualized), sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh Dow Jones.

Untuk keseluruhan tahun 2019, perekonomian AS hanya tumbuh 2,3%, menandai laju pertumbuhan terlemah dalam tiga tahun. Untuk diketahui, pada tahun 2017 perekonomian AS tumbuh sebesar 2,4%, disusul pertumbuhan sebesar 2,9% pada tahun 2018.

Laju pertumbuhan tersebut juga berada di bawah target yang dipatok oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Pasca resmi memangkas tingkat pajak korporasi dan individu pada tahun 2017, Gedung Putih memproyeksikan pertumbuhan ekonomi untuk setidaknya berada di level 3%.

Kedepannya, laju perekonomian AS bisa semakin tertekan. Pasalnya, The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS pada pekan kemarin memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di rentang 1,5%-1,75%.

Di sepanjang tahun 2019, The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak tiga kali, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli, September, dan Oktober. Jika ditotal, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 75 bps oleh Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan koleganya di bank sentral.

Perang dagang AS-China, perlambatan ekonomi global, dan inflasi yang rendah menjadi faktor yang membuat The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps tersebut.

Kini, absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh The Fed lantas berpotensi untuk semakin menekan laju perekonomian AS. (ank/ank)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular