
Newsletter
Virus Corona Hingga Inflasi Menghantui, IHSG Apa Kabar?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 February 2020 06:19

Pada perdagangan pertama di pekan ini, Senin (3/2/2020), pelaku pasar patut mencermati beberapa sentimen. Pertama, kinerja Wall Street yang jauh dari kata menggembirakan di sepanjang pekan lalu, terutama di hari Jumat.
Sebagai kiblat dari pasar keuangan dunia, terkoreksinya Wall Street pada perdagangan hari Jumat tentu berpotensi memantik aksi jual di pasar keuangan Asia pada hari ini.
Sentimen kedua yang perlu dicermati pelaku pasar adalah perkembangan terkait dengan infeksi virus Corona. Pada hari Jumat kemarin, AS mendeklarasikan kondisi darurat nasional di bidang kesehatan sebagai respons dari terus meluasnya infeksi virus Corona.
Merespons deklarasi darurat nasional oleh pemerintahan Presiden Trump, maskapai-maskapai besar di AS yakni Delta, American, dan United menghentikan seluruh penerbangan yang menghubungkan AS dan China.
Pada penutupan perdagangan hari Jumat, harga saham Delta jatuh 2,4%, sementara harga saham American dan United masing-masing melemah lebih dari 3%.
“Ada ketakutan memasuki akhir pekan,” kata Ilya Feygin, senior strategist di WallachBeth Capital, Jumat (31/1/2020), seperti dilansir dari CNBC International.
“Tema memasuki tahun ini adalah the Fed dan Trump akan menyelamatkan kita dari segala masalah, tetap virus Corona merupakan sesuatu yang tak bisa diatasi oleh keduanya. Itu adalah alasan untuk menjadi lebih takut.”
Meluasnya infeksi virus corona datang di saat yang sangat tidak tepat, yakni kala masyarakat China tengah merayakan hari raya Tahun Baru China atau yang dikenal dengan istilah Imlek di Indonesia. Di China, perdagangan di bursa sahamnya diliburkan mulai dari tanggal 24 Januari hingga 30 Januari guna memperingati Tahun Baru China.
Selama libur Tahun Baru China, masyarakat China biasanya kembali ke kampung halamannya, sama seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia pada hari raya Idul Fitri. Dalam periode tersebut, konsumsi masyarakat China biasanya akan meningkat drastis.
Pemerintah China sendiri memperkirakan akan ada sebanyak tiga miliar perjalanan pada Tahun Baru China kali ini, naik dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan tersebut, 2,43 miliar diperkirakan ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.
Pada akhir 2002 hingga tahun 2003 kala wabah SARS merebak di China, laju pertumbuhan ekonominya jelas tertekan. Pada kuartal III-2002, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 9,6% secara tahunan, mengutip data dari Refinitiv. Pada kuartal IV-2002 kala wabah SARS mulai merebak, pertumbuhannya melemah menjadi 9,1% saja.
Pada kuartal I-2003, pertumbuhan ekonomi China berhasil naik hingga 11,1% secara tahunan, namun diikuti oleh penurunan yang tajam pada kuartal berikutnya. Pada kuartal II-2003, perekonomian China hanya mampu tumbuh 9,1% secara tahunan. Pada dua kuartal terakhir di tahun 2003, perekonomian China tumbuh masing-masing sebesar 10% secara tahunan.
Melansir CNBC International, pasca tumbuh 12% pada tahun 2002, industri pariwisata China langsung terkontraksi pada tahun 2003 merespons merebaknya wabah SARS, menandai kontraksi pertama dalam satu dekade. Pemberitaan CNBC International tersebut mengutip publikasi riset dari Eric Lin selaku kepala riset di UBS Securities.
“Valuasi dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pariwisata terpangkas 20%-50% dari puncaknya dalam periode Januari-Juni 2003,” tulis Lin dalam risetnya, seperti dilansir dari CNBC International.
Berbicara mengenai virus corona, jika ternyata infeksinya merebak menjadi wabah seperti SARS, dampaknya ke perekonomian China bisa lebih besar. Pasalnya, kini perekonomian China sudah semakin tergantung kepada sektor jasa.
Melansir CNBC International, sektor jasa menyumbang sebesar 59,4% dari total produk domestik bruto (PDB) China pada tahun 2019, sementara pada tahun 2003 kala wabah SARS merambah China kontribusi dari sektor jasa hanyalah sebesar 39%.
Sejauh ini, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, sementara pada tahun 2003 China bahkan tak menempati posisi lima besar. Lantas, dampak dari tekanan terhadap perekonomian China kini akan semakin terasa bagi perekonomian global. (ank/ank)
Sebagai kiblat dari pasar keuangan dunia, terkoreksinya Wall Street pada perdagangan hari Jumat tentu berpotensi memantik aksi jual di pasar keuangan Asia pada hari ini.
Sentimen kedua yang perlu dicermati pelaku pasar adalah perkembangan terkait dengan infeksi virus Corona. Pada hari Jumat kemarin, AS mendeklarasikan kondisi darurat nasional di bidang kesehatan sebagai respons dari terus meluasnya infeksi virus Corona.
Merespons deklarasi darurat nasional oleh pemerintahan Presiden Trump, maskapai-maskapai besar di AS yakni Delta, American, dan United menghentikan seluruh penerbangan yang menghubungkan AS dan China.
Pada penutupan perdagangan hari Jumat, harga saham Delta jatuh 2,4%, sementara harga saham American dan United masing-masing melemah lebih dari 3%.
“Ada ketakutan memasuki akhir pekan,” kata Ilya Feygin, senior strategist di WallachBeth Capital, Jumat (31/1/2020), seperti dilansir dari CNBC International.
“Tema memasuki tahun ini adalah the Fed dan Trump akan menyelamatkan kita dari segala masalah, tetap virus Corona merupakan sesuatu yang tak bisa diatasi oleh keduanya. Itu adalah alasan untuk menjadi lebih takut.”
Meluasnya infeksi virus corona datang di saat yang sangat tidak tepat, yakni kala masyarakat China tengah merayakan hari raya Tahun Baru China atau yang dikenal dengan istilah Imlek di Indonesia. Di China, perdagangan di bursa sahamnya diliburkan mulai dari tanggal 24 Januari hingga 30 Januari guna memperingati Tahun Baru China.
Selama libur Tahun Baru China, masyarakat China biasanya kembali ke kampung halamannya, sama seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia pada hari raya Idul Fitri. Dalam periode tersebut, konsumsi masyarakat China biasanya akan meningkat drastis.
Pemerintah China sendiri memperkirakan akan ada sebanyak tiga miliar perjalanan pada Tahun Baru China kali ini, naik dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan tersebut, 2,43 miliar diperkirakan ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.
Pada akhir 2002 hingga tahun 2003 kala wabah SARS merebak di China, laju pertumbuhan ekonominya jelas tertekan. Pada kuartal III-2002, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 9,6% secara tahunan, mengutip data dari Refinitiv. Pada kuartal IV-2002 kala wabah SARS mulai merebak, pertumbuhannya melemah menjadi 9,1% saja.
Pada kuartal I-2003, pertumbuhan ekonomi China berhasil naik hingga 11,1% secara tahunan, namun diikuti oleh penurunan yang tajam pada kuartal berikutnya. Pada kuartal II-2003, perekonomian China hanya mampu tumbuh 9,1% secara tahunan. Pada dua kuartal terakhir di tahun 2003, perekonomian China tumbuh masing-masing sebesar 10% secara tahunan.
Melansir CNBC International, pasca tumbuh 12% pada tahun 2002, industri pariwisata China langsung terkontraksi pada tahun 2003 merespons merebaknya wabah SARS, menandai kontraksi pertama dalam satu dekade. Pemberitaan CNBC International tersebut mengutip publikasi riset dari Eric Lin selaku kepala riset di UBS Securities.
“Valuasi dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pariwisata terpangkas 20%-50% dari puncaknya dalam periode Januari-Juni 2003,” tulis Lin dalam risetnya, seperti dilansir dari CNBC International.
Berbicara mengenai virus corona, jika ternyata infeksinya merebak menjadi wabah seperti SARS, dampaknya ke perekonomian China bisa lebih besar. Pasalnya, kini perekonomian China sudah semakin tergantung kepada sektor jasa.
Melansir CNBC International, sektor jasa menyumbang sebesar 59,4% dari total produk domestik bruto (PDB) China pada tahun 2019, sementara pada tahun 2003 kala wabah SARS merambah China kontribusi dari sektor jasa hanyalah sebesar 39%.
Sejauh ini, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, sementara pada tahun 2003 China bahkan tak menempati posisi lima besar. Lantas, dampak dari tekanan terhadap perekonomian China kini akan semakin terasa bagi perekonomian global. (ank/ank)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular