
Newsletter
Dunia Waspada Corona, Walau WHO Bilang Belum Darurat
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 January 2020 05:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup menguat pada perdagangan kemarin. Hebatnya lagi, ini terjadi kala bursa saham dan pasar valas negara-negara Asia mayoritas terkoreksi.
Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,25%. Tidak banyak bursa saham Asia yang ditutup hijau, bahkan di China dan Hong Kong terjadi pelemahan yang signifikan.
Berikut perkembangan indeks saham Asia pada perdagangan kemarin:
Sementara rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan apresiasi 0,11% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Selain rupiah, mata uang utama Asia yang menguat hanya yen Jepang.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang Asia pada perdagangan kemarin:
Sepertinya keyakinan investor terhadap perbaikan fundamental ekonomi Indonesia menjadi penyebab penguatan IHSG dan rupiah. Bank Indonesia (BI) memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh sedikit di bawah 5,1% pada 2019, tetapi pada 2020 ada harapan untuk membaik.
"Perkiraan kami (pertumbuhan ekonomi) memang sedikit di bawah 5,1% tapi masih di atas 5%. Namun pada 2020, kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5,1-5,5%, dan berada di titik tengah kira-kira 5,3%," para Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Januari 2020, kemarin.
Tidak hanya pertumbuhan ekonomi, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pun diperkirakan surplus pada 2019. Membaik dibandingkan 2018 yang defisit US$ 7,1 miliar.
Berbagai proyeksi tersebut menambah kepercayaan diri investor untuk menempatkan dana di pasar keuangan Indonesia. Akibatnya, IHSG dan rupiah mampu menguat kala pasar keuangan Asia 'kebakaran'.
Penguatan S&P 500 dan Nasdaq ditopang oleh sentimen domestik. Saham Netflix meroket 7,24% setelah terkoreksi awal pekan ini akibat proyeksi kinerja yang kurang oke, Saham Boeing juga melonjak 2,84%, bangkit setelah mengalami koreksi tajam.
Akan tetapi, penguatan Wall Street yang terbatas (bahkan DJIA masih merah) adalah gambaran bahwa investor masih hati-hati. Penyebabnya adalah kekhawatiran soal penyebaran virus Corona.
Di China, virus ini telah merenggut nyawa 18 orang. Penyebaran pun sudah meluas ke berbagai negara seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan. Thailand, sampai AS.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sampai saat ini belum menjadikan penyebaran virus Corona sebagai darurat internasional. Organisasi di bawah naungan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) itu menilai masih terlalu awal untuk melakukan itu.
"Agak terlalu dini untuk menganggap ini sebagai darurat internasional. Jangan salah, ini adalah kondisi darurat di China tetapi belum di level internasional," kata Didier Houssin, Ketua Panel Komite Darurat WHO, sebagaimana diberitakan Reuters.
Akan tetapi, pelaku pasar tetap khawatir karena wabah virus Corona terjadi saat musim liburan Tahun Baru Imlek. Di China, Imlek adalah puncak aktivitas masyarakat. Orang-orang bepergian ke berbagai kota di dalam negeri, bahkan plesiran ke luar negeri. Ini membuat risiko penularan menjadi semakin besar karena virus Corona sudah bisa menular melalui kontak antar-manusia.
Dibayangi oleh kekhawatiran penyebaran virus SARS pada 2002-2003, yang memakan korban ratusan orang, pelaku pasar pun bersikap hati-hati. Hasilnya, gerak Wall Street masih terbatas.
Sentimen kedua, investor perlu memonitor perkembangan penyebaran virus Corona. Walau WHO belum memasukkannya sebagai darurat internasional, tetapi risiko penyebaran masih cukup tinggi seiring musim libur Imlek di Negeri Tirai Bambu.
Bahkan Peter Piot, Profesor di London School od Hygiene and Tropical Medicine, menilai penyebaran virus Corona sudah memasuki fase kritis. "Walau belum ada ketentuan dari WHO, tetapi dunia harus menekan bahkan menghentikan penyebaran virus ini. pemerintah dan WHO perlu terus memantau perkembangannya dengan seksama," tegasnya, seperti diwartakan Reuters.
Apalagi sampai saat ini belum ada vaksin untuk membunuh virus Corona. Lebih berbahaya lagi, virus bisa menular melalui saluran pernapasan. Oleh karena itu, kewaspadaan belum bisa dikendurkan.
Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS. Pada pukul 05:02 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,13%.
Penguatan dolar AS terjadi setelah Bank Sentral Uni Eropa (ECB) mempertahankan suku bunga acuan overnight deposit di -0,5%. Namun bank sentral pimpinan Christine Lagarde ini membuka peluang untuk stimulus moneter lebih lanjut.
Lagarde masih khawatir dengan inflasi Uni Eropa yang tidak kunjung mencapai target sedikit di bawah 2%. Pada 2019, inflasi Uni Eropa tercatat 1,3% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan 2018 yang sebesar 1,6% YoY. "Inflasi adalah sesuatu yang perlu diperhatikan," kata Lagarde dalam konferensi pers, seperti dikutip dari Reuters.
Artinya, pemulihan ekonomi di Benua Biru masih berjalan lambat. Minimnya tekanan inflasi di negara maju menunjukkan permintaan yang lemah."Arah kebijakan ECB sepertinya menunjukkan bahwa risiko masih mengarah ke dowside," kata Natascha Gewaltig, ekonom Action Economics, dalam risetnya.
Perkembangan di Eropa yang masih gloomy membuat investor berpaling ke dolar AS. Investor perlu waspada, karena bisa saja dolar AS berbalik perkasa di hadapan rupiah.
Apalagi penguatan rupiah sudah sangat tajam. Secara year-to-date, rupiah menguat 1,84% terhadap dolar AS. Buka cuma di Asia, rupiah adalah mata uang terbaik dunia.
Sentimen keempat, yang juga bisa mempengaruhi rupiah, adalah harga minyak dunia. Pada pukul 05:16 WIB, harga minyak jenis brent amblas 1,85% dan light sweet ambrol 2,03%.
Harga si emas hitam anjlok akibat kecemasan investor terhadap penyebaran virus Corona. Ada kehawatiran penyebaran virus ini akan membuat permintaan energi turun, karena masyarakat takut bepergian.
"Masalah kesehatan membuat perjalanan menjadi terbatas, tidak normal. Jadi kemungkinan akan ada penurunan permintaan bahan bakar sebelum masalah penyebaran virus Corona benar-benar teratasi," kata Jim Ritterbusch, Presiden Riiterbusch and Associates, seperti dikutip dari Reuters.
"Kami memperkirakan harga minyak bisa turun US$ 5/barel jika krisis ini semakin pasar seperti kasus SARS," tambah riset JPMorgan.
Bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah berkah. Indonesia adalah negara net importir minyak sehingga kala harga komoditas ini turun maka biaya impornya akan lebih murah. Devisa yang 'terbakar' untuk impor minyak menjadi lebih sedikit sehingga rupiah punya pijakan untuk melanjutkan penguatan.
1. Rilis data inflasi Jepang periode Desember 2019 (06:30 WIB).
2. Rilis notula rapat Bank Sentral Jepang edisi Januari 2020 (06:50 WIB).
3. Rilis pembacaan awal Purchasing Managers' Index/PMI Jepang periode Januari 2020 (07:30 WIB).
4. Rilis laporan keuangan PT Bank Mandiri Tbk periode 2019 (10:00 WIB).
5. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Magna Investama Mandiri Tbk (10:00 WIB).
6. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Leo Investments Tbk.
7. Pengumuman suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan periode Januari 2020 (12:00 WIB).
8. Rilis pembacaan awal PMI Prancis periode Januari 2020 (15:15 WIB).
9. Rilis pembacaan awal PMI Jerman periode Januari 2020 (15:30 WIB).
10. Rilis pembacaan awal PMI Uni Eropa periode Januari 2020 (16:00 WIB).
11. Rilis pembacaan awal PMI Inggris periode Januari 2020 (16:30 WIB).
12. Rilis pembacaan awal PMI AS periode Januari 2020 (21:45 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
(aji/aji) Next Article Kalau IHSG dan Rupiah Melemah, Itu Gara-gara Jerome Powell
Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,25%. Tidak banyak bursa saham Asia yang ditutup hijau, bahkan di China dan Hong Kong terjadi pelemahan yang signifikan.
Berikut perkembangan indeks saham Asia pada perdagangan kemarin:
Sementara rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan apresiasi 0,11% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Selain rupiah, mata uang utama Asia yang menguat hanya yen Jepang.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang Asia pada perdagangan kemarin:
Sepertinya keyakinan investor terhadap perbaikan fundamental ekonomi Indonesia menjadi penyebab penguatan IHSG dan rupiah. Bank Indonesia (BI) memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh sedikit di bawah 5,1% pada 2019, tetapi pada 2020 ada harapan untuk membaik.
"Perkiraan kami (pertumbuhan ekonomi) memang sedikit di bawah 5,1% tapi masih di atas 5%. Namun pada 2020, kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5,1-5,5%, dan berada di titik tengah kira-kira 5,3%," para Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Januari 2020, kemarin.
Tidak hanya pertumbuhan ekonomi, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pun diperkirakan surplus pada 2019. Membaik dibandingkan 2018 yang defisit US$ 7,1 miliar.
Berbagai proyeksi tersebut menambah kepercayaan diri investor untuk menempatkan dana di pasar keuangan Indonesia. Akibatnya, IHSG dan rupiah mampu menguat kala pasar keuangan Asia 'kebakaran'.
Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup variatif cenderung menguat terbatas. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun tipis 0,09%, tetapi S&P 500 dan Nasdaq Composite berhasil naik masing-masing 0,11% dan 0,2%.
Penguatan S&P 500 dan Nasdaq ditopang oleh sentimen domestik. Saham Netflix meroket 7,24% setelah terkoreksi awal pekan ini akibat proyeksi kinerja yang kurang oke, Saham Boeing juga melonjak 2,84%, bangkit setelah mengalami koreksi tajam.
Akan tetapi, penguatan Wall Street yang terbatas (bahkan DJIA masih merah) adalah gambaran bahwa investor masih hati-hati. Penyebabnya adalah kekhawatiran soal penyebaran virus Corona.
Di China, virus ini telah merenggut nyawa 18 orang. Penyebaran pun sudah meluas ke berbagai negara seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan. Thailand, sampai AS.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sampai saat ini belum menjadikan penyebaran virus Corona sebagai darurat internasional. Organisasi di bawah naungan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) itu menilai masih terlalu awal untuk melakukan itu.
"Agak terlalu dini untuk menganggap ini sebagai darurat internasional. Jangan salah, ini adalah kondisi darurat di China tetapi belum di level internasional," kata Didier Houssin, Ketua Panel Komite Darurat WHO, sebagaimana diberitakan Reuters.
Akan tetapi, pelaku pasar tetap khawatir karena wabah virus Corona terjadi saat musim liburan Tahun Baru Imlek. Di China, Imlek adalah puncak aktivitas masyarakat. Orang-orang bepergian ke berbagai kota di dalam negeri, bahkan plesiran ke luar negeri. Ini membuat risiko penularan menjadi semakin besar karena virus Corona sudah bisa menular melalui kontak antar-manusia.
Dibayangi oleh kekhawatiran penyebaran virus SARS pada 2002-2003, yang memakan korban ratusan orang, pelaku pasar pun bersikap hati-hati. Hasilnya, gerak Wall Street masih terbatas.
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang agak mixed. Kebimbangan di bursa saham New York bisa menciptakan kondisi serupa di pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua, investor perlu memonitor perkembangan penyebaran virus Corona. Walau WHO belum memasukkannya sebagai darurat internasional, tetapi risiko penyebaran masih cukup tinggi seiring musim libur Imlek di Negeri Tirai Bambu.
Bahkan Peter Piot, Profesor di London School od Hygiene and Tropical Medicine, menilai penyebaran virus Corona sudah memasuki fase kritis. "Walau belum ada ketentuan dari WHO, tetapi dunia harus menekan bahkan menghentikan penyebaran virus ini. pemerintah dan WHO perlu terus memantau perkembangannya dengan seksama," tegasnya, seperti diwartakan Reuters.
Apalagi sampai saat ini belum ada vaksin untuk membunuh virus Corona. Lebih berbahaya lagi, virus bisa menular melalui saluran pernapasan. Oleh karena itu, kewaspadaan belum bisa dikendurkan.
Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS. Pada pukul 05:02 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,13%.
Penguatan dolar AS terjadi setelah Bank Sentral Uni Eropa (ECB) mempertahankan suku bunga acuan overnight deposit di -0,5%. Namun bank sentral pimpinan Christine Lagarde ini membuka peluang untuk stimulus moneter lebih lanjut.
Lagarde masih khawatir dengan inflasi Uni Eropa yang tidak kunjung mencapai target sedikit di bawah 2%. Pada 2019, inflasi Uni Eropa tercatat 1,3% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan 2018 yang sebesar 1,6% YoY. "Inflasi adalah sesuatu yang perlu diperhatikan," kata Lagarde dalam konferensi pers, seperti dikutip dari Reuters.
Artinya, pemulihan ekonomi di Benua Biru masih berjalan lambat. Minimnya tekanan inflasi di negara maju menunjukkan permintaan yang lemah."Arah kebijakan ECB sepertinya menunjukkan bahwa risiko masih mengarah ke dowside," kata Natascha Gewaltig, ekonom Action Economics, dalam risetnya.
Perkembangan di Eropa yang masih gloomy membuat investor berpaling ke dolar AS. Investor perlu waspada, karena bisa saja dolar AS berbalik perkasa di hadapan rupiah.
Apalagi penguatan rupiah sudah sangat tajam. Secara year-to-date, rupiah menguat 1,84% terhadap dolar AS. Buka cuma di Asia, rupiah adalah mata uang terbaik dunia.
![]() |
Sentimen keempat, yang juga bisa mempengaruhi rupiah, adalah harga minyak dunia. Pada pukul 05:16 WIB, harga minyak jenis brent amblas 1,85% dan light sweet ambrol 2,03%.
Harga si emas hitam anjlok akibat kecemasan investor terhadap penyebaran virus Corona. Ada kehawatiran penyebaran virus ini akan membuat permintaan energi turun, karena masyarakat takut bepergian.
"Masalah kesehatan membuat perjalanan menjadi terbatas, tidak normal. Jadi kemungkinan akan ada penurunan permintaan bahan bakar sebelum masalah penyebaran virus Corona benar-benar teratasi," kata Jim Ritterbusch, Presiden Riiterbusch and Associates, seperti dikutip dari Reuters.
"Kami memperkirakan harga minyak bisa turun US$ 5/barel jika krisis ini semakin pasar seperti kasus SARS," tambah riset JPMorgan.
Bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah berkah. Indonesia adalah negara net importir minyak sehingga kala harga komoditas ini turun maka biaya impornya akan lebih murah. Devisa yang 'terbakar' untuk impor minyak menjadi lebih sedikit sehingga rupiah punya pijakan untuk melanjutkan penguatan.
Berikut adalah sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rilis data inflasi Jepang periode Desember 2019 (06:30 WIB).
2. Rilis notula rapat Bank Sentral Jepang edisi Januari 2020 (06:50 WIB).
3. Rilis pembacaan awal Purchasing Managers' Index/PMI Jepang periode Januari 2020 (07:30 WIB).
4. Rilis laporan keuangan PT Bank Mandiri Tbk periode 2019 (10:00 WIB).
5. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Magna Investama Mandiri Tbk (10:00 WIB).
6. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Leo Investments Tbk.
7. Pengumuman suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan periode Januari 2020 (12:00 WIB).
8. Rilis pembacaan awal PMI Prancis periode Januari 2020 (15:15 WIB).
9. Rilis pembacaan awal PMI Jerman periode Januari 2020 (15:30 WIB).
10. Rilis pembacaan awal PMI Uni Eropa periode Januari 2020 (16:00 WIB).
11. Rilis pembacaan awal PMI Inggris periode Januari 2020 (16:30 WIB).
12. Rilis pembacaan awal PMI AS periode Januari 2020 (21:45 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2019 YoY) | 5,02% |
Inflasi (Desember 2019 YoY) | 2,72% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2020) | 5% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -1,76% PDB |
Transaksi berjalan (Q III-2019) | -2,66% PDB |
Neraca pembayaran (Q III-2019) | -US$ 46 juta |
Cadangan devisa (Desember 2019) | US$ 129,18 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kalau IHSG dan Rupiah Melemah, Itu Gara-gara Jerome Powell
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular