
Newsletter
Hawa Positif dari Berbagai Benua, IHSG-Rupiah Bisa Berjaya?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 January 2020 06:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial dalam negeri mengakhiri perdagangan pertama tahun 2020, Kamis (2/1/2019), dengan bervariasi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah kompak melemah, sementara obligasi atau Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun membukukan penguatan.
Pelemahan IHSG dan rupiah terjadi saat sentimen pelaku pasar sedang bagus-bagusnya setelah ada kejelasan kapan kesepakatan dagang fase I antara Amerika Serikat (AS) dengan China akan diteken.
Tepat sebelum pergantian tahun pada Selasa (31/12/2019) waktu setempat, Presiden AS Donald Trump melalui akun Twitter-nya mengatakan kesepakatan dagang fase I akan diteken pada 15 Januari 2020.
"Saya akan menandatangani perjanjian Fase I yang sangat besar dan komprehensif dengan China pada 15 Januari. Seremoni akan dilakukan di Gedung Putih. Delegasi tingkat tinggi dari China akan datang. Selepas itu, saya akan datang ke Beijing dan memulai pembicaraan Fase II," cuit Trump di Twitter.
Meski demikian, pasar finansial dalam negeri gagal memanfaatkan momentum tersebut untuk menguat.
Di awal perdagangan, IHSG, rupiah, dan SUN kompak menguat. Tetapi dalam perjalannya, IHSG dan rupiah berbalik melemah sementara SUN terus menguat.
Dibuka oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) IHSG langsung menguat 0,22% ke level 6.313,13. Tetapi sayangnya bursa kebanggaan Indonesia tidak lama berada di sana, di akhir sesi I justru berbalik melemah 0,45% ke level 6.271,11. Di sesi II, IHSG berhasil menipiskan pelemahan dan mengakhiri perdagangan di level 6.283,58, melemah 0,25%.
Saat membuka perdagangan hari ini, Jokowi mengingatkan jangan sampai banyak aktivitas menggoreng saham dan lebih mengedepankan perlindungan investor.
"Jangan sampai (harga saham) Rp 100 digoreng Rp 1000, digoreng-goreng jadi 4 ribu. Ini menyangkut kepercayaan yang dibangun. Kerugian gak boleh ada lagi. Berikan perlindungan. Transaksi keuangan ditindak tegas. Udah," tegas Jokowi di gedung Bursa Efek Indonesia, Kamis (2/1/2020).
Sementara itu rupiah membuka perdagangan hari ini dengan menguat 0,11% tetapi tidak lama langsung berbalik melemah hingga 0,14% ke Rp 13.900/US$.
Titik tersebut sekaligus menjadi yang terlemah bagi rupiah pada hari Kamis. Menuju akhir perdagangan rupiah berhasil memangkas pelemahan hingga tersisa 0,03% di level Rp 13.884/US$. Setelah enam hari tanpa melemah, dan membukukan penguatan 3,4% sepanjang 2019, rupiah akhirnya terkoreksi akibat aksi profit taking.
Dari pasar obligasi, yield SUN tenor 10 tahun dibuka turun 0,4 basis poin (bps), dalam perjalanannya terus mengalami penguatan dan mengakhiri perdagangan di level 7,074%, menguat 2,4 bps dari penutupan 2019 di level 7,098%.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Selain kesepakatan dagang AS-China, data inflasi dari dalam negeri juga mempengaruhi pergerakan pasar finansial.
Biro Pusat Statistik (BPS) pada pukul 11:00 WIB melaporkan inflasi di bulan Desember tumbuh sebesar 0,34% month-on-month (MoM), dan secara year-on-year (YoY) sebesar 2,72%. Inflasi YoY tersebut sekaligus menggambarkan kenaikan harga-harga sepanjang 2019, dan menjadi yang terendah dalam 20 tahun terakhir.
Rendahnya inflasi bisa dilihat dari dua sudut pandang, yang pertama adalah keberhasilan pemerintah dalam menjaga stabilitas harga-harga. Ketika inflasi bisa dikendalikan, maka daya beli masyarakat akan meningkat.
Pandangan kedua melihat rendahnya inflasi justru sebagai dampak daya beli masyarakat yang lemah. Ketika daya beli lemah, maka konsumsi akan menurun, dengan turunnya tingkat konsumsi berarti permintaan berkurang sehingga harga-harga barang tidak mampu meningkat.
Bursa saham AS (Wall Street) mengawali tahun 2020 dengan rekor tertinggi sepanjang masa. Ketiga indeks utama menguat, melanjutkan kenaikan di akhir tahun 2019. Santa Claus Rally sekali lagi terbukti mengangkat kinerja Wall Street.
Santa Claus rally merupakan sebuah reli di pasar saham AS yang terjadi pada lima perdagangan terakhir di bulan Desember hingga dua perdagangan pertama di bulan Januari.
Ada beberapa penjelasan di balik fenomena Santa Claus rally, seperti optimisme menyambut tahun baru dan investasi dari bonus musim liburan misalnya. Selain itu, ada juga teori yang mengatakan bahwa beberapa investor institusi besar yang cenderung lebih pesimistis terhadap pasar saham sedang berlibur pada periode ini, sehingga pasar didominasi oleh investor ritel yang cenderung lebih optimistis.
Indeks S&P 500 tercatat menguat 0,8% ke level 3,257,85, menjadi kenaikan terbesar sejak 12 Desember lalu. Dow Jones menguat 1,16% ke 28.868,80, kenaikan harian terbersar sejak 6 Desember. Nasdaq memimpin penguatan di awal tahun sebesar 1,33% ke 9.092,19, menjadi hari terbaiknya sejak 11 Oktober.
Kenaikan pada perdagangan Kamis tersebut sekaligus melanjutkan performa impresif sepanjang 2019. Indeks S&P 500 melesat 28,9%, Dow Jones 22,3%, dan Nasdaq lebih tinggi lagi 35,2%.
Selain kepastian penandatanganan kesepakatan dagang fase I pada 15 Januari nanti, sentiment pelaku pasar juga terangkat akibat pelonggaran moneter dari bank sentral China (People's Bank of China/PBoC).
PBoC memberikan "kado" awal tahun dengan menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM), kebijakan tersebut membanjiri ekonomi China dengan likuiditas senilai 800 miliar yuan.
Selain itu pasar tenaga kerja AS juga menunjukkan kekuatannya yang membuat bursa saham semakin ceria. Data yang dirilis Departemen Tenaga Kerja menunjukkan klaim awal tunjangan pengangguran turun menjadi 222.000 klaim sepanjang pekan lalu, dari pekan sebelumnya 224.000 klaim. Mayoritas bursa saham Asia sebenarnya membukukan penguatan pada Kamis kemarin. Menyeberang ke Eropa, semua bursa utama juga menghijau. Wall Street kembali melanjutkan Santa Claus Rally. Itu membuktikan sentiment pelaku pasar sedang bagus-bagusnya di berbagai benua, dan IHSG seharusnya bisa mengekor bursa-bursa utama tersebut.
Pada perdagangan pertama 2020, nilai transaksi di Bursa Efek Indonesia memang cukup rendah. Hal tersebut sepertinya menjadi salah satu penyebab gagalnya IHSG bertahan di zona hijau. Total nilai transaksi pada Kamis kemarin sebesar Rp 4,1 triliun, jauh di bawah rata-rata 2019 sebesar 9,1 triliun.
Seperti diketahui bersama, Jakarta dan di sekitarnya dilanda banjir pada 1 Januari 2020, dan dampaknya masih terasa esok harinya, yang mengakibatkan terganggunya aktivitas ekonomi. Ada kemungkinan hal tersebut berpengaruh terhadap rendahnya nilai transaksi.
Dengan kondisi Jakarta yang berangsur pulih, serta sentiment pelaku pasar yang sedang bagus-bagusnya ada peluang IHSG akan menguat pada hari ini.
Begitu juga dengan Sang Garuda, rupiah yang memiliki peluang berbalik menguat pada hari ini. Apalagi pelemahan rupiah didorong oleh aksi ambil untung setelah mencapai level terkuat dalam satu setengah tahun terakhir.
Aksi profit taking juga dipicu oleh indeks dolar yang bangkit dari level enam bulan. Maklum saja, saat kesepakatan dagang fase I AS-China memberikan euforia di pasar, dolar justru tidak menikmatinya.
Padahal kesepakatan dagang AS-China justru bisa berdampak bagus bagi perekonomian Paman Sam yang bisa memberikan pondasi bagi mata uangnya untuk menguat.
Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, kesepakatan dagang kedua negara justru membuat pelaku pasar masuk ke aset-aset di luar dolar AS yang selama ini mengalami tekanan.
Untuk diketahui, ketika perang dagang AS-China tereskalasi di tahun ini, indeks dolar terus mengalami penguatan hingga di awal Oktober 2019 menyentuh level terkuat dalam lebih dari dua tahun terakhir atau tepatnya sejak Mei 2017.
Namun, ketika perundingan dagang kedua negara mulai menemukan titik terang, bahkan akan ditandatangani dalam dua pekan ke depan, risiko eskalasi perang dagang semakin mengecil dan pertumbuhan ekonomi global diharapkan bisa bangkit. Dolar yang menyandang status safe haven menjadi kurang menarik, mata uang yang sebelumnya dibuat melemah akhirnya bisa "balas dendam".
Selepas Natal dan sebelum tahun baru, atau dalam empat hari perdagangan indeks yang mengukur kekuatan dolar ini merosot 1,3%. Sementara Kamis kemarin berhasil menguat 0,42%, dengan rebound indeks dolar yang cukup besar itu, rupiah hanya melemah 0,03%. Hal tersebut bisa jadi tanda rupiah masih perkasa, dengan sentimen pelaku pasar yang sedang bagus di berbagai benua, Sang Garuda siap kembali berjaya pada hari ini.
Berikut adalah peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:
• Penjualan ritel Hong Kong (15:30 WIB)
(pap) Next Article Pasar Optimis The Fed Dovish, IHSG Bakal Melaju Kencang?
Pelemahan IHSG dan rupiah terjadi saat sentimen pelaku pasar sedang bagus-bagusnya setelah ada kejelasan kapan kesepakatan dagang fase I antara Amerika Serikat (AS) dengan China akan diteken.
Tepat sebelum pergantian tahun pada Selasa (31/12/2019) waktu setempat, Presiden AS Donald Trump melalui akun Twitter-nya mengatakan kesepakatan dagang fase I akan diteken pada 15 Januari 2020.
"Saya akan menandatangani perjanjian Fase I yang sangat besar dan komprehensif dengan China pada 15 Januari. Seremoni akan dilakukan di Gedung Putih. Delegasi tingkat tinggi dari China akan datang. Selepas itu, saya akan datang ke Beijing dan memulai pembicaraan Fase II," cuit Trump di Twitter.
Meski demikian, pasar finansial dalam negeri gagal memanfaatkan momentum tersebut untuk menguat.
Di awal perdagangan, IHSG, rupiah, dan SUN kompak menguat. Tetapi dalam perjalannya, IHSG dan rupiah berbalik melemah sementara SUN terus menguat.
Dibuka oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) IHSG langsung menguat 0,22% ke level 6.313,13. Tetapi sayangnya bursa kebanggaan Indonesia tidak lama berada di sana, di akhir sesi I justru berbalik melemah 0,45% ke level 6.271,11. Di sesi II, IHSG berhasil menipiskan pelemahan dan mengakhiri perdagangan di level 6.283,58, melemah 0,25%.
Saat membuka perdagangan hari ini, Jokowi mengingatkan jangan sampai banyak aktivitas menggoreng saham dan lebih mengedepankan perlindungan investor.
"Jangan sampai (harga saham) Rp 100 digoreng Rp 1000, digoreng-goreng jadi 4 ribu. Ini menyangkut kepercayaan yang dibangun. Kerugian gak boleh ada lagi. Berikan perlindungan. Transaksi keuangan ditindak tegas. Udah," tegas Jokowi di gedung Bursa Efek Indonesia, Kamis (2/1/2020).
Sementara itu rupiah membuka perdagangan hari ini dengan menguat 0,11% tetapi tidak lama langsung berbalik melemah hingga 0,14% ke Rp 13.900/US$.
Titik tersebut sekaligus menjadi yang terlemah bagi rupiah pada hari Kamis. Menuju akhir perdagangan rupiah berhasil memangkas pelemahan hingga tersisa 0,03% di level Rp 13.884/US$. Setelah enam hari tanpa melemah, dan membukukan penguatan 3,4% sepanjang 2019, rupiah akhirnya terkoreksi akibat aksi profit taking.
Dari pasar obligasi, yield SUN tenor 10 tahun dibuka turun 0,4 basis poin (bps), dalam perjalanannya terus mengalami penguatan dan mengakhiri perdagangan di level 7,074%, menguat 2,4 bps dari penutupan 2019 di level 7,098%.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Selain kesepakatan dagang AS-China, data inflasi dari dalam negeri juga mempengaruhi pergerakan pasar finansial.
Biro Pusat Statistik (BPS) pada pukul 11:00 WIB melaporkan inflasi di bulan Desember tumbuh sebesar 0,34% month-on-month (MoM), dan secara year-on-year (YoY) sebesar 2,72%. Inflasi YoY tersebut sekaligus menggambarkan kenaikan harga-harga sepanjang 2019, dan menjadi yang terendah dalam 20 tahun terakhir.
Rendahnya inflasi bisa dilihat dari dua sudut pandang, yang pertama adalah keberhasilan pemerintah dalam menjaga stabilitas harga-harga. Ketika inflasi bisa dikendalikan, maka daya beli masyarakat akan meningkat.
Pandangan kedua melihat rendahnya inflasi justru sebagai dampak daya beli masyarakat yang lemah. Ketika daya beli lemah, maka konsumsi akan menurun, dengan turunnya tingkat konsumsi berarti permintaan berkurang sehingga harga-harga barang tidak mampu meningkat.
Bursa saham AS (Wall Street) mengawali tahun 2020 dengan rekor tertinggi sepanjang masa. Ketiga indeks utama menguat, melanjutkan kenaikan di akhir tahun 2019. Santa Claus Rally sekali lagi terbukti mengangkat kinerja Wall Street.
Santa Claus rally merupakan sebuah reli di pasar saham AS yang terjadi pada lima perdagangan terakhir di bulan Desember hingga dua perdagangan pertama di bulan Januari.
Ada beberapa penjelasan di balik fenomena Santa Claus rally, seperti optimisme menyambut tahun baru dan investasi dari bonus musim liburan misalnya. Selain itu, ada juga teori yang mengatakan bahwa beberapa investor institusi besar yang cenderung lebih pesimistis terhadap pasar saham sedang berlibur pada periode ini, sehingga pasar didominasi oleh investor ritel yang cenderung lebih optimistis.
Indeks S&P 500 tercatat menguat 0,8% ke level 3,257,85, menjadi kenaikan terbesar sejak 12 Desember lalu. Dow Jones menguat 1,16% ke 28.868,80, kenaikan harian terbersar sejak 6 Desember. Nasdaq memimpin penguatan di awal tahun sebesar 1,33% ke 9.092,19, menjadi hari terbaiknya sejak 11 Oktober.
Kenaikan pada perdagangan Kamis tersebut sekaligus melanjutkan performa impresif sepanjang 2019. Indeks S&P 500 melesat 28,9%, Dow Jones 22,3%, dan Nasdaq lebih tinggi lagi 35,2%.
Selain kepastian penandatanganan kesepakatan dagang fase I pada 15 Januari nanti, sentiment pelaku pasar juga terangkat akibat pelonggaran moneter dari bank sentral China (People's Bank of China/PBoC).
PBoC memberikan "kado" awal tahun dengan menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM), kebijakan tersebut membanjiri ekonomi China dengan likuiditas senilai 800 miliar yuan.
Selain itu pasar tenaga kerja AS juga menunjukkan kekuatannya yang membuat bursa saham semakin ceria. Data yang dirilis Departemen Tenaga Kerja menunjukkan klaim awal tunjangan pengangguran turun menjadi 222.000 klaim sepanjang pekan lalu, dari pekan sebelumnya 224.000 klaim. Mayoritas bursa saham Asia sebenarnya membukukan penguatan pada Kamis kemarin. Menyeberang ke Eropa, semua bursa utama juga menghijau. Wall Street kembali melanjutkan Santa Claus Rally. Itu membuktikan sentiment pelaku pasar sedang bagus-bagusnya di berbagai benua, dan IHSG seharusnya bisa mengekor bursa-bursa utama tersebut.
Pada perdagangan pertama 2020, nilai transaksi di Bursa Efek Indonesia memang cukup rendah. Hal tersebut sepertinya menjadi salah satu penyebab gagalnya IHSG bertahan di zona hijau. Total nilai transaksi pada Kamis kemarin sebesar Rp 4,1 triliun, jauh di bawah rata-rata 2019 sebesar 9,1 triliun.
Seperti diketahui bersama, Jakarta dan di sekitarnya dilanda banjir pada 1 Januari 2020, dan dampaknya masih terasa esok harinya, yang mengakibatkan terganggunya aktivitas ekonomi. Ada kemungkinan hal tersebut berpengaruh terhadap rendahnya nilai transaksi.
Dengan kondisi Jakarta yang berangsur pulih, serta sentiment pelaku pasar yang sedang bagus-bagusnya ada peluang IHSG akan menguat pada hari ini.
Begitu juga dengan Sang Garuda, rupiah yang memiliki peluang berbalik menguat pada hari ini. Apalagi pelemahan rupiah didorong oleh aksi ambil untung setelah mencapai level terkuat dalam satu setengah tahun terakhir.
Aksi profit taking juga dipicu oleh indeks dolar yang bangkit dari level enam bulan. Maklum saja, saat kesepakatan dagang fase I AS-China memberikan euforia di pasar, dolar justru tidak menikmatinya.
Padahal kesepakatan dagang AS-China justru bisa berdampak bagus bagi perekonomian Paman Sam yang bisa memberikan pondasi bagi mata uangnya untuk menguat.
Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, kesepakatan dagang kedua negara justru membuat pelaku pasar masuk ke aset-aset di luar dolar AS yang selama ini mengalami tekanan.
Untuk diketahui, ketika perang dagang AS-China tereskalasi di tahun ini, indeks dolar terus mengalami penguatan hingga di awal Oktober 2019 menyentuh level terkuat dalam lebih dari dua tahun terakhir atau tepatnya sejak Mei 2017.
Namun, ketika perundingan dagang kedua negara mulai menemukan titik terang, bahkan akan ditandatangani dalam dua pekan ke depan, risiko eskalasi perang dagang semakin mengecil dan pertumbuhan ekonomi global diharapkan bisa bangkit. Dolar yang menyandang status safe haven menjadi kurang menarik, mata uang yang sebelumnya dibuat melemah akhirnya bisa "balas dendam".
Selepas Natal dan sebelum tahun baru, atau dalam empat hari perdagangan indeks yang mengukur kekuatan dolar ini merosot 1,3%. Sementara Kamis kemarin berhasil menguat 0,42%, dengan rebound indeks dolar yang cukup besar itu, rupiah hanya melemah 0,03%. Hal tersebut bisa jadi tanda rupiah masih perkasa, dengan sentimen pelaku pasar yang sedang bagus di berbagai benua, Sang Garuda siap kembali berjaya pada hari ini.
Berikut adalah peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:
• Penjualan ritel Hong Kong (15:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal III-2019) | 5,02% YoY |
Inflasi (November 2019) | 2,72% YoY |
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Desember 2019) | 5% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Kuartal III-2019) | -2,66% PDB |
Neraca pembayaran (Kuartal III-2019) | -US$ 46 juta |
Cadangan devisa (November 2019) | US$ 126,6 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap) Next Article Pasar Optimis The Fed Dovish, IHSG Bakal Melaju Kencang?
Most Popular