Newsletter

Ketika Aksi Koboi Mengemuka, Jangan Mau Jadi Sandera

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
04 December 2019 06:30
Ketika Aksi Koboi Mengemuka, Jangan Mau Jadi Sandera
Foto: Trump rayakan thanksgiving dengan pasukan AS di Afganistan (AP Photo/Alex Brandon)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan di zona merah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemarin membuat kejutan dengan menguat di menit-menit akhir perdagangan dengan naik tipis 0,06% ke level 6.133,9. Kejutan masih belum akan berakhir?

Performa pada Selasa (3/12/2019) itu menjadikan IHSG terlihat istimewa di antara bursa saham utama kawasan Asia yang melemah. Indeks Nikkei anjlok 0,64%, indeks Strait Times turun 0,51%, indeks Kospi turun 0,38%, indeks Hang Seng melemah 0,2%. Hanya indeks Shanghai yang mencatatkan penguatan 0,31%.

Awan kelabu menyapu bursa kawasan karena ekspektasi kesepakatan dagang Amerika Serikat (AS) dan China fase pertama yang sudah 90% pasti berakhir di tempat sampah. China membalas AS melarang kapal dan pesawat militer milik Negeri Sam mengunjungi Hong Kong dan memberikan sanksi kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) asal AS.

Sanksi yang berlaku Senin kemarin menjadi pesan penolakan China atas intervensi AS dalam urusan dalam negerinya. "Sebagai respons dari kelakuan yang tidak berdasar AS, pemerintah China telah memutuskan tidak memberi izin kapal perang AS berlabuh di Hong Kong," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hau Chunying, dikutip dari AFP.

Investor asing kemarin tercatat masih membukukan penjualan bersih (net sell) di bursa saham, tetapi nilainya tipis yakni hanya Rp 75,46 miliar. Secara teknikal, ini membuka peluang bahwa tekanan jual sedikit mereda, asalkan tidak ada kabar buruk yang menerpa pasar domestik.


Di sisi lain, peluang asing kembali masuk ke pasar Indonesia mulai terbuka setelah rupiah menguat, juga di menit-menit terakhir perdagangan, sebesar 0,14% ke Rp 14.100 per dolar AS. Ini tentu saja dengan mengasumsikan bahwa Bank Indonesia (BI) tidak melakukan intervensi di menit terakhir perdagangan tersebut.

Jika penguatan rupiah terjadi karena mekanisme pasar, maka ada pertaruhan bahwa pasar keuangan Indonesia masih menarik dalam jangka pendek bagi investor asing sehingga mereka memilih menggenggam Mata Uang Garuda pada perdagangan kemarin.

Namun, peluang itu belum direalisasikan pada perdagangan kemarin karena asing masih berposisi net sell di pasar reguler saham dan pasar obligasi masih tertekan. Apakah bakal terealisasi hari ini? Kita lihat saja. Yang pasti, asing kemarin sudah masuk di pasar nego dan tunai dengan nilai pembelian Rp 92,88 miliar.

Kemarin, Surat Utang Negara (SUN) seri FR0078 bertenor 10 tahun mengalami pelemahan terburuk di pasar surat berharga pemerintah, menyusul kenaikan imbal hasil (yield) 3,5 basis poin (bps) ke 7,17%. Yield bergerak berlawanan arah dengan harga, dan besaran 100 bps setara dengan 1%. 

Ini menunjukkan bahwa arah sentimen di pasar masih di persimpangan jalan. Di tengah aksi koboi Presiden AS Donald Trump yang menembakkan tarif ke mitra dagang utamanya (China), dan juga kubu aliansinya (Eropa, atau tepatnya Prancis), serta mitra lainnya (Argentina dan Brasil), pasar harus menentukan sikap.

Setelah sentimen negatif ditembakkan oleh mantan taipan properti tersebut, maka pendulum berisi ekspektasi positif pun berayun ke pihak yang diserangnya. Apakah mereka memilih perang bubat, menyerah mengikuti kemauan Trump, atau mencari jalan tengah sembari menunjukkan bahwa kondisinya masih fit dan menolak tersandera oleh tarif Trump.

Secara politis China telah membalas Trump. Terbaru mereka merilis daftar negatif entitas AS merespons dukungan Trump pada aksi demo di Hong Kong, yang kian membuyarkan ekspektasi damai dagang bakal tercapai bulan ini.

Namun dalam konteks investasi, kita perlu melihat rilis data ekonomi China terbaru untuk tahu apakah masih ada sentimen positif di balik situasi buruk ini. Menolak tersandera oleh ketidakpastian akibat aksi koboi Trump.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) terbanting pada perdagangan Selasa (3/12/2019) setelah Presiden AS Donald Trump menyatakan bisa menunda kesepakatan dagang dengan China hingga setelah pemilihan presiden 2020 usai.

"Dalam beberapa hal, aku suka ide menunggu pemilu usai untuk meneken kesepakatan dengan China, tetapi mereka ingin kesepakatan sekarang dan kita akan lihat perjanjiannya bagus atau tidak," tutur Trump, sebagaimana dikutip CNBC International pada Selasa.

Indeks Dow Jones Industrial Average ditutup anjlok 280,23 poin (-1%) ke 27.502,81 setelah sempat merosot hingga 457,91 poin (-1,7%). Indeks Nasdaq merosot 0,55% (setelah sempat minus 1,6%) ke 8.520,64 sementara indeks S&P 500 longsor 0,66% (sempat turun hingga 1,7%) ke 3.093,2. Total dalam dua hari ini, Dow Jones kehilangan 2%.

Ian Lyngen, Kepala Rate Strategy BMO Capital Markets, menilai pernyataan tersebut bisa ditafsirkan menjadi dua. Pertama, perang dagang akan berlangsung semi-permanen hingga tahun depan. Kedua, Trump sedang memainkan taktik negosiasi.

"Akan menjadi kejutan besar jika tak ada kesepakatan. Pasar sudah bertaruh bahwa ini pasti akan terjadi. Jika tidak ada kesepakatan kecil tapi yang ada adalah gencatan senjata yang riuh, dunia belum akan berakhir," ujar Ethan Harris, Kepala Riset Ekonomi Global Bank of America Merrill Lynch, sebagaimana dikutip CNBC International.

Trump juga membuat pernyataan kontroversial dengan mengancam akan membalas Presiden Prancis Emmanuel Macron yang berencana mengenakan pajak penghasilan sebesar 3% bagi perusahaan digital yang beroperasi di Prancis, termasuk Facebook dan Google.

"Begini, aku tidak sedang jatuh cinta dengan perusahaan-perusahaan ini - Facebook dan Google dan semuanya, Twitter. Namun mereka adalah perusahaan AS. Aku ingin memajaki mereka. Mereka tak boleh dipajaki Prancis," ujar Trump di London.

Gedung Putih pada Senin mengancam penerapan bea masuk hingga 100% terhadap produk sampanye, keju dan produk mewah lainnya asal Prancis senilai total US$ 2,4 miliar, jika Prancis tetap memberlakukan pajak kepada raksasa digital AS.

Trump juga mengobarkan perang dagang melawan Brasil dan Argentina dengan dalih bahwa keduanya mendevaluasi mata uangnya secara masif.

Pada hari ini, perhatian pasar masih berkutat pada perkembangan panas-dingin perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Di tengah kondisi yang kian berlarut, mau-tidak mau kita harus menumpukan ekspektasi pada realitas. Sekalipun tak ada kesepakatan dagang bulan ini, maka perhatikan sebesar apa implikasinya ke perekonomian.

Pandangan pelaku bursa bakal tertuju ke China. Lupakan Wall Street yang melemah 2% dalam dua hari pertama trading pekan ini. Ada baiknya kita move on memantau sinyal-sinyal harapan bahwa ekonomi di Kawasan Asia Pasifik masih resilien di tengah eskalasi perang dagang.

Untuk mengetahui jawaban itu, maka arah mata harus tertuju ke pihak yang jadi sasaran serangan AS, yakni China yang juga menjadi motor penggerak ekonomi Kawasan dan bahkan juga ekonomi global. Kemarin, PMI manufaktur versi Caixin mengonfirmasi bahwa aktivitas industri di China masih bugar, dan kini giliran sektor non-manufaktur (jasa). 

Negeri Tirai Bambu ini bakal mengumumkan Caixin Purchasing Managers' Index (Indeks Manajer Pembelian), yang mengindikasikan gairah aktivitas usaha, untuk sektor non-manufaktur. Polling Trading Economics memperkirakan angka PMI non-manufaktur China masih di zona ekspansif (di atas level 50), yakni pada 52,7, menguat dibanding posisi bulan lalu sebesar 51,1.

Jika terkonfirmasi, maka kita sedikit bisa bernafas lega dan memiliki alasan untuk mengoleksi saham-saham unggulan di bursa domestik. Namun sebaliknya jika datanya justru lebih buruk dari perkiraan, ada baiknya kantongi dulu dana investasi anda.

Menyusul China, India juga akan merilis PMI sektor jasa, demikian juga dengan negara-negara utama di zona Euro, yakni Jerman, Inggris, dan Prancis. Selepas itu, maka kita perlu melihat lagi Negeri Sam, yang juga bakal merilis data serupa yakni ISM PMI non-manufacturing.

Trading Economics memperkirakan sektor jasa Negara Adidaya tersebut masih kuat, yakni 54,5, alias masih ekspansif. Namun, dengan kekuatan yang melemah karena terhitung turun dibandingkan posisi bulan Oktober pada 54,7.

Jika hal ini terkonfirmasi, maka lagi-lagi dunia bakal melihat bahwa Sang Koboi Trump yang berusaha menyandera lawannya dengan tarif tinggi, dan berlagak siap perang berlama-lama, justru membuat ekonominya sendiri tercekik oleh aksinya itu. Wall Street pun pasti bakal menghukumnya.

Berikut adalah beberapa data ekonomi dari berbagai negara yang akan dirilis hari ini: 

  • Cadangan devisa Korea Selatan/ Korsel (04:00 WIB)
  • Pertumbuhan ekonomi Australia (07:00 WIB)
  • Caixin PMI Sektor Jasa November China (09:00 WIB)
  • Markit Services PMI November India (12:00 WIB)
  • Markit Services PMI November Prancis (15:00 WIB)
  • Markit Services PMI November Jerman (16:00 WIB)
  • Markit Services PMI November Uni Eropa (16:00 WIB)
  • Markit Services PMI November Inggris (16:00 WIB)
  • ISM Non-Manufacturing PMI November AS (22:00 WIB)

Adapun agenda korporasi yang bakal terjadi hari ini meliputi. 

  • Pembagian dividen PT Puradelta Lestari Tbk (tentatif)
  • Pembagian dividen PT Jasa Armada Indonesia Tbk (tentatif)

Sementara itu, indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (3Q-2019 YoY)

5,02%

Inflasi (November 2019 YoY)

3%

BI 7-Day Reverse Repo Rate (Oktober 2019)

5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (2Q-2019)

-3,04% PDB

Neraca pembayaran (2Q-2019)

-US$ 1,98 miliar

Cadangan devisa (Oktober 2019)

US$ 126,7 miliar


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular