Newsletter

Ironi Propaganda Trump dan Doktrin Perang Dagangnya

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
03 December 2019 06:06
Ironi Propaganda Trump dan Doktrin Perang Dagangnya

Jakarta, CNBC Indonesia -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup meroket pada perdagangan Senin (2/12/2019) kemarin, dan menjadi raja pasar saham Asia di hari perdana bulan ke-12 ini. Peluang penguatan diyakini masih terbuka, meski Wall Street terpelanting kemarin.

Indeks utama bursa domestik tersebut naik 1,97% menjadi 6.130 dari posisi kemarin 6.011, terlebih setelah adanya penguatan pada momentum akhir perdagangan. Ini senada dengan mayoritas bursa utama Asia yang di zona hijau: indeks Nikkei terapresiasi 1,01%, indeks Shanghai menguat 0,13%, Hang Seng naik 0,37%, dan Kospi bertambah 0,19%.

Kabar bagus muncul dari Indeks Pemesanan Manajer (PMI) Manufaktur China versi Caixin/Markit berada di level 51,8 pada November, melampaui estimasi Reuters pada 51,4. Ini mengindikasikan bahwa perekonomian Negeri Panda tersebut masih tahan menghadapi gempuran aksi perundungan oleh Amerika Serikat (AS) lewat perang dagang.

Positifnya data manufaktur tersebut membuat saham-saham unggulan di bursa Indonesia dikoleksi karena China merupakan mitra dagang utama Indonesia, yang membeli produk-produk andalan kita mulai dari sawit hingga batu bara. Ketika ekonomi mereka baik-baik saja, kita pun bakal mendapatkan berkahnya.

Ini menjelaskan mengapa IHSG menguat, terutama demi melihat data serupa di Indonesia, yakni indeks PMI manufaktur per November yang di angka 48,2 atau lebih tinggi dari posisi bulan sebelumnya 47,7. Meski masih masuk zona kontraksi, setidaknya ada indikasi pembaikan di sana setelah selama 5 bulan beruntun masuk di zona kontraksi.

Jika diperbandingkan dengan PMI AS, level PMI manufaktur kita (48,2) masih lebih mendingan! Lihat saja catatan Institute for Supply Management (ISM), yang menyebutkan indeks PMI manufaktur AS turun menjadi 48,1 pada November. atau lebih buruk dari estimasi pasar yang hanya memperkirakan level 49,4.

Indikasi lesunya aktivitas manufaktur Negeri Sam tersebut menunjukkan bahwa perang dagang sejauh ini malah menjadi bumerang bagi negara dengan perekonomian terbesar dunia tersebut. Target mereka yang beberapa kali dirundung dengan kenaikan tarif, yakni China, justru aktivitas manufakturnya masih ekspansif.

Ini menciptakan ironi bagi Trump. Klaimnya di Twitter bahwa perang dagang membuat Wall Street menguat hingga 21% seolah dibungkam telak dengan koreksi bursa Wall Street kemarin nyaris sebesar 1% di hari perdana transaksi Desember.

Namun bukan Trump namanya jika dia tak ngotot mendapatkan apa yang diinginkannya. Kemarin mantan taipan properti ini mencuitkan deklarasi perang dagang terhadap Brazil dan Argentina, menuduh keduanya mendevaluasi mata uangnya sehingga merugikan petani AS.

Buktinya? Tidak ada. Lebih mirip propaganda. Tak berlebihan kiranya jika kita menyebut kondisi ini sebagai sebuah doktrin: kebijakan yang dibuat dengan dasar seperangkat keyakinan (set of belief). Kebijakan ini benar atau keliru? Lebih banyak manfaatnya atau malah mudharatnya? Buat Trump, itu persoalan belakangan.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) anjlok pada Senin (02/12/2019), setelah investor dipaksa menerima kenyataan bahwa data manufaktur AS terbukti mengecewakan, mengindikasikan bahwa doktrin perang dagang Trump ternyata memukul ekonomi AS lebih parah dari China.

Indeks Dow Jones Industrial Average anjlok 268,37 poin di hari pertama perdagangan Desember, atau -0,9% ke 27.783,04. Indeks S&P 500 terseret turun 0,9% menjadi 3.113,87 — yang merupakan koreksi harian terparahnya sejak 8 Oktober. Sementara itu, indeks Nasdaq drop 1% ke 8.567,99.

Beberapa saham raksasa yang tumbang di antaranya adalah Facebook, Amazon dan Alphabet yang semuanya terpangkas lebih dari 1%. Saham Netflix bahkan terjerembab 1,5%. Roku, satu dari sedikit saham paling moncer pada tahun ini didera aksi jual hingga terkulai lebih dari 15%.

Aktivitas manufaktur di Negara Adidaya tersebut (per November) terus berkontraksi. Menurut catatan Institute for Supply Management (ISM), indeks pemesanan manajer (PMI) manufaktur AS turun menjadi 48,1 pada November. atau lebih buruk dari estimasi pasar yang hanya memperkirakan level 49,4.

Indeks Cboe Volatility, yang dikenal sebagai indeks untuk mengukur tingkat kengerian berinvestasi saham di AS, seketika naik menjadi 14,3 dari posisi sebelumnya pada 12,6. “Jika anda mencari alasan melepas saham, data ISM tentu menjadi jawabannya,” tutur Art Hogan, Chief Market Strategist National Securities sebagaimana dikutip CNBC International.

Presiden AS Donald Trump saat ini dikabarkan menyiapkan tarif tambahan bagi produk impor asal China pada bulan ini untuk menekan China meneken perjanjian sebelum akhir tahun. Kabar ini mengemuka setelah Trump membuat Beijing murka dengan meneken UU pro-demo Hong Kong.

The Global Times, media yang terafiliasi dengan politbiro China, memberitakan bahwa Beijing akan membalas langkah gegabah Trump mendukung aksi demo Hong Kong dengan “daftar entitas yang tak bisa dipercaya” dalam waktu dekat. Daftar ini berisi lembaga dan perusahaan AS yang bakal dikenakan sanksi karena merugikan kepentingan nasional China.

Terkait dengan negosiasi dagang, media yang terafiliasi pemerintah China tersebut sebelumnya melaporkan bahwa Beijing ingin tarif yang sudah diberlakukan dicabut, sebagai syarat kesepakatan fase pertama. Tidak ada indikasi jelas kapan kedua negara akan meneken perjanjian dagang.

Seolah tidak puas mengganggu ketenangan dunia, Trump pada Senin mengatakan bahwa Gedung Putih bakal memberlakukan kembali tarif terhadap produk logam impor asal Brazil dan Argentina. Dalam cuitannya, mantan taipan properti ini menuduh Brazil dan Argentina diuntungkan dari devaluasi kurs mereka.

"Oleh karena itu, aku akan memberlakukan lagi tarif atas produk baja dan aluminum yang diekspor ke AS dari negara-negara tersebut yang berlaku efektif secepatnya," ujar Trump.

Pada hari ini, tidak banyak yang bisa diharapkan dari data ekonomi di dalam negeri. Sentimen penggerak kebanyakan akan berasal dari luar negeri seperti misalnya pertumbuhan ekonomi Korea Selatan, yang menurut Trading Economics bakal melambat secara kuartalan menjadi 0,4% pada kuartal III-2019.

Namun secara tahunan, pertumbuhan ekonomi Negeri K-Pop tersebut diprediksi bertumbuh 2% atau tidak berubah dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu. Sebagai salah satu pendorong ekonomi Kawasan, PDB Korsel ini menjadi indikator bahwa ekonomi di kawasan Asia masih bakal menantang.

Setelah saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) kemarin meroket menyentuh level tertinggi barunya jelang pembagian dividen, patut diperhatikan saham-saham dengan latar-belakang serupa terutama PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) yang bakal membagikan dividen Rp 430 per saham, atau setara Rp 3,28 triliun secara total.

Kemarin, saham blue chip sektor konsumer tersebut menguat 2,51% atau Rp 1.050 per unit, ke Rp 42.850 per saham. Artinya, jika anda memegang saham UNVR sebanyak 1.000 unit, maka dalam sehari anda meraup keuntungan Rp 1 juta. Cash keras.

Demi melihat gelagat window dressing yang biasa terjadi pada bulan ke-12, aksi beli saham UNVR tersebut kemungkinan masih terbuka pada hari ini meski dengan besaran kenaikan yang lebih terbatas karena pelaku pasar cenderung bermain jangka pendek akhir-akhir ini.

Saham sektor konsumer mestinya diuntungkan oleh catatan inflasi November yang lebih baik dari ekspektasi. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) naik 0,14% (bulanan) dan 3% (tahunan). Inflasi inti (core inflation) mencapai 3,08% (year on year).

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi November adalah 0,2% (bulanan) dan 3,065% (tahunan). Sementara, inflasi inti diramal 3,16% (YoY). Dengan kata lain, laju inflasi tidak setinggi yang diperkirakan. 

Ini menjadi kabar baik bagi perekonomian, karena mengindikasikan bahwa laju kenaikan harga-harga barang terkendali, sehingga membantu menjaga daya beli masyarakat. Pada akhirnya, konsumsi berpeluang terbantu. Ingat, kita belum seperti negara maju yang saat ini menghadapi problem inflasi letoy dan berharap-harap akan ada pertumbuhan inflasi.

Jujur, inflasi di Indonesia saat ini lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara kawasan Asia Tenggara. Sebagai perbandingan, inflasi Malaysia di kisaran 1%, Vietnam dan Kamboja kisaran 2%, Thailand dan Filipina di bawah 1%. 

Kita sederajat dengan Laos yang tingkat inflasinya adalah kepala tiga. Bangga? Jangan dong. Inflasi tinggi membuat imbal hasil (yield) investasi menjadi kurang menarik, sehingga investor meminta tingkat pengembalian (return) lebih tinggi. 

Contoh saja di pasar obligasi, di mana yield acuannya (obligasi negara bertenor 10 tahun) berada di kisaran 7%, lebih tinggi dari Malaysia yang hanya kisaran 3%. Artinya, ongkos yang harus dipikul pengusaha Indonesia ketika menggali dana dengan menerbitkan surat utang baru jauh lebih besar ketimbang yang dihadapi pengusaha Malaysia.

Dengan inflasi yang terjaga lebih rendah, tekanan ekonomi pun berkurang. Ini semestinya memberikan alasan untuk mengoleksi saham-saham konsumer, ritel, properti, dan juga perbankan yang sensitif dengan suku bunga dan daya beli masyarakat. Berikut adalah beberapa data ekonomi dari berbagai negara yang akan dirilis hari ini: 
  • Pertumbuhan ekonomi Korea Selatan/ Korsel (06:00 WIB)
  • Penetapan suku bunga acuan Bank of Australia (10:00 WIB)
  • Indeks Harga Produsen (PPI) Uni Eropa (17:00 WIB)

Adapun agenda korporasi yang bakal terjadi hari ini meliputi. 

  • Pembagian dividen PT Sepatu Bata Tbk (tentatif)
  • Pembagian dividen PT Unilever Indonesia Tbk (tentatif)
  • Stock split PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (tentatif)
  • RUPSLB PT Indonesia Tobacco Tbk (10:00 WIB)

Sementara itu, indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (3Q-2019 YoY)5,02%
Inflasi (Oktober 2019 YoY)3%
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Oktober 2019)5%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2Q-2019)-3,04% PDB
Neraca pembayaran (2Q-2019)-US$ 1,98 miliar
Cadangan devisa (Oktober 2019)US$ 126,7 miliar


TIM RISET CNBC INDONESIA 
(ags/ags) Next Article Wall Street Merana, Akankah September Menjadi Bulan Terburuk?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular