
Newsletter
Neraca Dagang Diramal Tekor, Pasar Finansial Bisa Merah Lagi
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 November 2019 06:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial dalam negeri merah lagi pada hari Kamis (14/11/19, mendapat tekanan bertubi-tubi sejak awal perdagangan.
Hubungan Amerika Serikat (AS) dengan China yang terlihat merenggang, kemudian bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang menegaskan tidak akan memangkas suku bunga lagi, ditambah dengan serangkaian data ekonomi buruk dari Asia kompak memberikan tekanan bagi pasar RI.
Rupiah sempat menyentuh level Rp 14.100/US$ sebelum mengakhiri perdagangan di level Rp 14.080/US$, melemah tipis 0,02%. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lebih parah, melemah 0,71% ke level 6.098,95, itu pun sudah lebih baik setelah sebelumnya sempat anjlok 1,29% dan menyentuh level terendah satu bulan.
Mengiringi rupiah dan IHSG, obligasi Indonesia juga berada di zona merah, ini berarti sepanjang pekan ini tidak sekalipun mengalami penguatan. Yield surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun naik 1,2 basis poin menjadi 7,08%.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Hubungan antara AS-China terlihat semakin merenggang setelah CNBC International melaporkan AS sedang berusaha mendapatkan konsesi yang lebih kuat dari China untuk membuat regulasi kekayaan intelektual dan menghentikan praktik transfer paksa teknologi, sebagai gantinya AS akan membatalkan bea masuk yang seharusnya berlaku mulai 15 Desember nanti.
Di sisi lain, China kini dikabarkan ragu untuk membeli produk pertanian AS, padahal pada bulan lalu Presiden Trump mengklaim Negeri Tiongkok akan membeli produk pertanian Paman Sam senilai US$ 50 miliar sebagai bagian dari kesepakatan dagang fase satu.
Saat kabar renggangnya hubungan AS-China memberikan dampak negatif, ketua The Fed Jerome Powell memberikan tekanan tambahan.
Powell yang memberikan testimoni di hadapan Kongres AS mengatakan suku bunga saat ini sudah tepat, dan tidak akan dipangkas lagi kecuali perkeonomian AS memburuk.
Belum selesai sampai di sana, Kamis pagi Jepang melaporkan pelambatan pertumbuhan ekonomi, begitu juga serangkaian data dari China yang mengecewakan.
Pertumbuhan ekonomi Jepang pada kuartal III-2019 tercatat 0,2% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mampu tumbuh 1,8% dan menjadi laju pertumbuhan terlemah sejak kuartal III-2018.
Pertumbuhan tersebut juga jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan angka pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal III-2019 di 0,8%.
Sementara itu dari Negeri Tiongkok, produksi industri bulan Oktober hanya tumbuh 4,7% secara tahunan atau year-on-year (YoY), jauh merosot dibandingkan bulan sebelumnya 5,8%. Penjualan ritel juga bernasib sama, tumbuh 7,2% YoY, lebih rendah dari bulan September 7,8% YoY.
Sementara investasi aset tetap China pada periode Januari-Oktober 2019 tumbuh 5,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dari periode Januari-September sebesar 5,4%.
Data-data yang dirilis pagi tadi itu memperburuk sentimen investor terhadap aset-aset berisiko. Kabar bagus akhirnya datang selepas tengah hari yang membuat sentimen pelaku pasar membaik. Jerman memberikan kejutan pada hari ini, ramai-ramai diprediksi akan mengalami resesi teknikal, perekonomian Negeri Panser justru mencatat pertumbuhan.
Biro Statistik Jerman (Destatis) melaporkan produk domestik bruto (PBD) tumbuh 0,1% quarter-on-quarter (QoQ) di kuartal III-2019. Hasil survei yang dilakukan Reuters menunjukkan PDB Jerman diprediksi berkontraksi alias minus 0,1%.
Pada kuartal II-2019, PDB Jerman mengalami kontraksi 0,1%, sehingga pertumbuhan pada periode Juli-September menghindarkannya dari resesi.
Sayangnya, kabar bagus tersebut hanya membuat rupiah dan IHSG memangkas pelemahan, belum sanggup berbalik menguat.
Bursa saham AS (Wall Street) berakhir variatif pada perdagangan Kamis, dengan indeks S&P 500 kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Perundingan kesepakatan dagang AS-China yang terlihat buntu cukup membebani sentimen investor yang membuat indeks Dow Jones dan Nasdaq melemah.
Secara keseluruhan, Wall Street di pekan ini seakan menguat sendiri meninggalkan bursa saham di Asia dan Eropa. Ketiga indeks utama silih berganti mencetak rekor tertinggi.
Indeks S&P 500 mengakhiri perdagangan Kamis di level 3.096,63, menguat tipis 0,08% tetapi sudah cukup membawanya ke rekor tertinggi sepanjang masa. Sementara indeks Dow Jones dan Nasdaq masing-masing melemah tipis 0,01% dan 0,04% ke level 27.781,96 dan 8.479,02.
Selain perkembangan perang dagang, ketua The Fed, Jerome Powell, yang kembali memberikan testimoninya di hadapan Kongres AS juga menjadi penggerak Wall Street.
"Tidak ada yang benar-benar booming dan berisiko runtuh melihat kondisi saat ini. Dengan kata lain, ini adalah gambaran yang cukup berkelanjutan" kata Powell di hari kedua testimoni Kamis kemarin, sebagaimana dilansir CNBC International.
Melihat Wall Street yang terus mencetak rekor tertinggi sepanjang masa, pernyataan Powell tersebut dianggap positif, dan memberikan ruang ke depannya untuk terus menguat.
Penggerak lainnya, yakni data-data ekonomi AS yang dirilis Kamis kemarin juga bervariasi. Klaim awal tunjangan pengangguran naik menjadi 225.000 pada pekan lalu, dan menjadi yang tertinggi sejak bulan Juni.
Sementara indeks harga produsen naik 0,4% month-on-month (MoM) di bulan Oktober, dari bulan lalu yang turun alias minus 0,3%. Kenaikan di bulan Oktober tersebut sekaligus menjadi yang tertinggi dalam enam bulan terakhir.
Hubungan AS-China sepertinya benar-benar merenggang, pemerintah Tiongkok masih kukuh ingin agar sebagian bea masuk dicabut sebagai bagian dari kesepakatan dagang fase satu.
"Perang dagang dimulai dengan pengenaan bea masuk, dan harus diakhiri dengan pembatalan bea masuk. Ini kondisi yang penting bagi kedua negara untuk mencapai kesepatan" kata juru bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng dalam konferensi pers mingguan Kamis kemarin, sebagaimana dilansir CNBC International.
Hal ini tentunya memberikan tekanan bagi pasar finansial global, terlihat adanya perbedaan pendapat yang substansial dari kedua belah pihak. China yang kukuh ingin menghapus bea masuk itu bertentangan dengan sikap Presiden Trump. Pada pekan lalu Trump membantah setuju untuk membatalkan bea masuk.
"[Langkah] China ini sedikit kemunduran, bukan kemunduran total karena mereka tahu saya tidak akan melakukannya [pembatalan bea masuk]," tegasnya dikutip CNBC International Jumat pekan lalu.
Jika hubungan dagang AS-China sedang menjadi sentimen negatif bagi investor, Eropa justru mengirim kabar gembira. Dua raksasa ekonomi Benua Biru, Jerman dan Inggris, berhasil terhindar dari resesi, hal ini setidaknya memunculkan harapan akan membaiknya pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, ekonomi Jerman tumbuh 0,1% QoQ pada kuartal III-2019, setelah mengalami kontraksi 0,1% di kuartal sebelumnya. Yang berarti Jerman terhindar dari resesi.
Sebelumnya di awal pekan ini, Inggris melaporkan pertumbuhan ekonomi 0,3% QoQ pada periode Juli-September, berhasil bangkit dari kontraksi 0,2% tiga bulan sebelumnya.
Suatu perekonomian dikatakan mengalami resesi jika perekonomiannya mengalami kontraksi alias minus dalam dua kuartal beruntun. Isu resesi sudah menghantui pelaku pasar dalam beberapa bulan terakhir, kini dengan tumbuhnya perekonomian Jerman dan Inggris kecemasan tersebut sedikit mereda.
Kabar bagus tersebut belum mampu memperbaiki sentimen pelaku pasar secara maksimal, perkembangan hubungan AS-China lebih berpengaruh terhadap hawa kebatinan investor.
Selain dari eksternal, tekanan bagi pasar finansial RI kali ini bisa jadi datang dari dalam negeri. Hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data neraca perdagangan Indonesia yang membuat investor melakukan aksi wait and see Kamis kemarin.
Neraca perdagangan Indonesia diperkirakan kembali mencatat defisit pada Oktober 2019. Bahkan bisa saja bakal lebih dalam ketimbang September. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor mengalami kontraksi alias turun 9,03% year-on-year (YoY).
Sementara impor juga diramal terkontraksi 16,02% YoY. Kemudian neraca perdagangan mengalami defisit US$ 300 juta.
Pada bulan sebelumnya, BPS melaporkan ekspor turun 5,74% YoY sedangkan impor turun 2,41%. Ini membuat neraca perdagangan tekor US$ 160 juta.
Membengkaknya defisit neraca dagang tentunya memberikan sentimen negatif, IHSG, rupiah, dan SUN bisa mengalami aksi jual lagi. Tetapi tidak menutup kemungkinan adanya rebound melihat penurunan yang sudah cukup dalam. IHSG kini berada di level terlemah dalam satu bulan terakhir, rupiah terlemah sejak 21 Oktober dan SUN sejak 28 Oktober.
Berikut adalah beberapa data ekonomi dari berbagai negara yang akan dirilis hari ini
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap) Next Article Trump: China "Curang", The Fed Beri Kami Uang!
Hubungan Amerika Serikat (AS) dengan China yang terlihat merenggang, kemudian bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang menegaskan tidak akan memangkas suku bunga lagi, ditambah dengan serangkaian data ekonomi buruk dari Asia kompak memberikan tekanan bagi pasar RI.
Rupiah sempat menyentuh level Rp 14.100/US$ sebelum mengakhiri perdagangan di level Rp 14.080/US$, melemah tipis 0,02%. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lebih parah, melemah 0,71% ke level 6.098,95, itu pun sudah lebih baik setelah sebelumnya sempat anjlok 1,29% dan menyentuh level terendah satu bulan.
Mengiringi rupiah dan IHSG, obligasi Indonesia juga berada di zona merah, ini berarti sepanjang pekan ini tidak sekalipun mengalami penguatan. Yield surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun naik 1,2 basis poin menjadi 7,08%.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Hubungan antara AS-China terlihat semakin merenggang setelah CNBC International melaporkan AS sedang berusaha mendapatkan konsesi yang lebih kuat dari China untuk membuat regulasi kekayaan intelektual dan menghentikan praktik transfer paksa teknologi, sebagai gantinya AS akan membatalkan bea masuk yang seharusnya berlaku mulai 15 Desember nanti.
Di sisi lain, China kini dikabarkan ragu untuk membeli produk pertanian AS, padahal pada bulan lalu Presiden Trump mengklaim Negeri Tiongkok akan membeli produk pertanian Paman Sam senilai US$ 50 miliar sebagai bagian dari kesepakatan dagang fase satu.
Saat kabar renggangnya hubungan AS-China memberikan dampak negatif, ketua The Fed Jerome Powell memberikan tekanan tambahan.
Powell yang memberikan testimoni di hadapan Kongres AS mengatakan suku bunga saat ini sudah tepat, dan tidak akan dipangkas lagi kecuali perkeonomian AS memburuk.
Belum selesai sampai di sana, Kamis pagi Jepang melaporkan pelambatan pertumbuhan ekonomi, begitu juga serangkaian data dari China yang mengecewakan.
Pertumbuhan ekonomi Jepang pada kuartal III-2019 tercatat 0,2% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mampu tumbuh 1,8% dan menjadi laju pertumbuhan terlemah sejak kuartal III-2018.
Pertumbuhan tersebut juga jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan angka pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal III-2019 di 0,8%.
Sementara itu dari Negeri Tiongkok, produksi industri bulan Oktober hanya tumbuh 4,7% secara tahunan atau year-on-year (YoY), jauh merosot dibandingkan bulan sebelumnya 5,8%. Penjualan ritel juga bernasib sama, tumbuh 7,2% YoY, lebih rendah dari bulan September 7,8% YoY.
Sementara investasi aset tetap China pada periode Januari-Oktober 2019 tumbuh 5,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dari periode Januari-September sebesar 5,4%.
Data-data yang dirilis pagi tadi itu memperburuk sentimen investor terhadap aset-aset berisiko. Kabar bagus akhirnya datang selepas tengah hari yang membuat sentimen pelaku pasar membaik. Jerman memberikan kejutan pada hari ini, ramai-ramai diprediksi akan mengalami resesi teknikal, perekonomian Negeri Panser justru mencatat pertumbuhan.
Biro Statistik Jerman (Destatis) melaporkan produk domestik bruto (PBD) tumbuh 0,1% quarter-on-quarter (QoQ) di kuartal III-2019. Hasil survei yang dilakukan Reuters menunjukkan PDB Jerman diprediksi berkontraksi alias minus 0,1%.
Pada kuartal II-2019, PDB Jerman mengalami kontraksi 0,1%, sehingga pertumbuhan pada periode Juli-September menghindarkannya dari resesi.
Sayangnya, kabar bagus tersebut hanya membuat rupiah dan IHSG memangkas pelemahan, belum sanggup berbalik menguat.
Bursa saham AS (Wall Street) berakhir variatif pada perdagangan Kamis, dengan indeks S&P 500 kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Perundingan kesepakatan dagang AS-China yang terlihat buntu cukup membebani sentimen investor yang membuat indeks Dow Jones dan Nasdaq melemah.
Secara keseluruhan, Wall Street di pekan ini seakan menguat sendiri meninggalkan bursa saham di Asia dan Eropa. Ketiga indeks utama silih berganti mencetak rekor tertinggi.
Indeks S&P 500 mengakhiri perdagangan Kamis di level 3.096,63, menguat tipis 0,08% tetapi sudah cukup membawanya ke rekor tertinggi sepanjang masa. Sementara indeks Dow Jones dan Nasdaq masing-masing melemah tipis 0,01% dan 0,04% ke level 27.781,96 dan 8.479,02.
Selain perkembangan perang dagang, ketua The Fed, Jerome Powell, yang kembali memberikan testimoninya di hadapan Kongres AS juga menjadi penggerak Wall Street.
"Tidak ada yang benar-benar booming dan berisiko runtuh melihat kondisi saat ini. Dengan kata lain, ini adalah gambaran yang cukup berkelanjutan" kata Powell di hari kedua testimoni Kamis kemarin, sebagaimana dilansir CNBC International.
Melihat Wall Street yang terus mencetak rekor tertinggi sepanjang masa, pernyataan Powell tersebut dianggap positif, dan memberikan ruang ke depannya untuk terus menguat.
Penggerak lainnya, yakni data-data ekonomi AS yang dirilis Kamis kemarin juga bervariasi. Klaim awal tunjangan pengangguran naik menjadi 225.000 pada pekan lalu, dan menjadi yang tertinggi sejak bulan Juni.
Sementara indeks harga produsen naik 0,4% month-on-month (MoM) di bulan Oktober, dari bulan lalu yang turun alias minus 0,3%. Kenaikan di bulan Oktober tersebut sekaligus menjadi yang tertinggi dalam enam bulan terakhir.
Hubungan AS-China sepertinya benar-benar merenggang, pemerintah Tiongkok masih kukuh ingin agar sebagian bea masuk dicabut sebagai bagian dari kesepakatan dagang fase satu.
"Perang dagang dimulai dengan pengenaan bea masuk, dan harus diakhiri dengan pembatalan bea masuk. Ini kondisi yang penting bagi kedua negara untuk mencapai kesepatan" kata juru bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng dalam konferensi pers mingguan Kamis kemarin, sebagaimana dilansir CNBC International.
Hal ini tentunya memberikan tekanan bagi pasar finansial global, terlihat adanya perbedaan pendapat yang substansial dari kedua belah pihak. China yang kukuh ingin menghapus bea masuk itu bertentangan dengan sikap Presiden Trump. Pada pekan lalu Trump membantah setuju untuk membatalkan bea masuk.
"[Langkah] China ini sedikit kemunduran, bukan kemunduran total karena mereka tahu saya tidak akan melakukannya [pembatalan bea masuk]," tegasnya dikutip CNBC International Jumat pekan lalu.
Jika hubungan dagang AS-China sedang menjadi sentimen negatif bagi investor, Eropa justru mengirim kabar gembira. Dua raksasa ekonomi Benua Biru, Jerman dan Inggris, berhasil terhindar dari resesi, hal ini setidaknya memunculkan harapan akan membaiknya pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, ekonomi Jerman tumbuh 0,1% QoQ pada kuartal III-2019, setelah mengalami kontraksi 0,1% di kuartal sebelumnya. Yang berarti Jerman terhindar dari resesi.
Sebelumnya di awal pekan ini, Inggris melaporkan pertumbuhan ekonomi 0,3% QoQ pada periode Juli-September, berhasil bangkit dari kontraksi 0,2% tiga bulan sebelumnya.
Suatu perekonomian dikatakan mengalami resesi jika perekonomiannya mengalami kontraksi alias minus dalam dua kuartal beruntun. Isu resesi sudah menghantui pelaku pasar dalam beberapa bulan terakhir, kini dengan tumbuhnya perekonomian Jerman dan Inggris kecemasan tersebut sedikit mereda.
Kabar bagus tersebut belum mampu memperbaiki sentimen pelaku pasar secara maksimal, perkembangan hubungan AS-China lebih berpengaruh terhadap hawa kebatinan investor.
Selain dari eksternal, tekanan bagi pasar finansial RI kali ini bisa jadi datang dari dalam negeri. Hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data neraca perdagangan Indonesia yang membuat investor melakukan aksi wait and see Kamis kemarin.
Neraca perdagangan Indonesia diperkirakan kembali mencatat defisit pada Oktober 2019. Bahkan bisa saja bakal lebih dalam ketimbang September. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor mengalami kontraksi alias turun 9,03% year-on-year (YoY).
Sementara impor juga diramal terkontraksi 16,02% YoY. Kemudian neraca perdagangan mengalami defisit US$ 300 juta.
Pada bulan sebelumnya, BPS melaporkan ekspor turun 5,74% YoY sedangkan impor turun 2,41%. Ini membuat neraca perdagangan tekor US$ 160 juta.
Membengkaknya defisit neraca dagang tentunya memberikan sentimen negatif, IHSG, rupiah, dan SUN bisa mengalami aksi jual lagi. Tetapi tidak menutup kemungkinan adanya rebound melihat penurunan yang sudah cukup dalam. IHSG kini berada di level terlemah dalam satu bulan terakhir, rupiah terlemah sejak 21 Oktober dan SUN sejak 28 Oktober.
Berikut adalah beberapa data ekonomi dari berbagai negara yang akan dirilis hari ini
- Pembacaan Akhir PDB Singapura (pukul 7:00 WIB)
- Data Neraca Perdagangan Indonesia (pukul 11:00 WIB)
- Pembacaan Akhir PDB Hong Kong (pukul 15:30 WIB)
- Data Inflasi Final Zona Euro (pukul 17:00 WIB)
- Data Penjualan Ritel AS (pukul 20:30 WIB)
- Data Indeks Aktivitas Manufaktur New York AS (pukul 20:30 WIB)
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (3Q-2019 YoY) | 5,02% |
Inflasi (Oktober 2019 YoY) | 3,13% |
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Oktober 2019) | 5% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (2Q-2019) | -3,04% PDB |
Neraca pembayaran (2Q-2019) | -US$ 1,98 miliar |
Cadangan devisa (Oktober 2019) | US$ 126,7 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap) Next Article Trump: China "Curang", The Fed Beri Kami Uang!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular