Newsletter

Dolar Menggila-Wall Street Cetak Sejarah, Pasar RI Apa Kabar?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 November 2019 06:28
Dolar Menggila-Wall Street Cetak Sejarah, Pasar RI Apa Kabar?
Foto: REUTERS/Andrew Kelly
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu banyak sentimen yang mempengaruhi pasar finansial dalam negeri, baik dari internal maupun eksternal. Instrumen keuangan menunjukkan pergerakan yang bervariasi, rupiah dan obligasi mencatat penguatan, sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah dalam sepekan.

Berdasarkan data Refinitiv, rupiah berhasil menguat 0,14% ke level Rp 14.010/US$, sementara yield obligasi tenor 10 tahun turun 5,3 basis poin ke 6,972.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.



Berbeda dengan rupiah dan obligasi, IHSG justru mencatat pelemahan 0,47% ke level 6.246,152.

Dari dalam negeri, beberapa data dari dalam negeri yang dirilis pekan ini sebenarnya cukup bagus. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III-2019 mencapai 5,02%, di atas ekspektasi pelaku pasar yang disurvei Bloomberg sebesar 5%.

Kemudian Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa per 31 Oktober 2019 tercatat sebesar US$ 126,7 miliar. Angka ini meningkat US$ 2,4 miliar dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat US$ 124,3 miliar.

BI Juga melaporkan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan III-2019. Pada periode tersebut, NPI mencatatkan defisit US$ 46 juta lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada triwulan sebelumnya sebesar US$ 2,0 miliar.



Sementara Defisit neraca transaksi berjalan (CAD/Current Account Deficit) membaik. CAD triwulan III tercatat sebesar US$ 7,7 miliar atau 2,7% dari produk domestik bruto (PDB), dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 2,9% dari PDB.

Satu data yang kurang bagus yakni Survei Penjualan Eceran (SPE) periode September 2019 yang dipublikasikan oleh BI.

Data tersebut menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel hanya tumbuh tipis sebesar 0,7% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada bulan September, sangat jauh di bawah capaian periode yang sama tahun lalu (September 2018) yang mencapai 4,8% YoY.

Sementara itu dari eksternal, perkembangan kesepakatan dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China membuat sentimen pelaku pasar naik turun.
Pada Rabu (6/11/19) lalu, kabar penandatangan kesepakatan dagang AS-China akan ditunda hingga bulan Desember membuat sentimen pelaku pasar memburuk.

Kemudian sehari setelahnya China mengirim kabar bagus yang membuat sentimen pelaku pasar membaik.

Mengutip CNBC International, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng mengatakan baik AS maupun China setuju untuk membatalkan rencana pengenaan berbagai bea masuk. Perundingan yang konstruktif dalam dua pekan terakhir membuat kedua negara sudah dekat dengan kesepakatan damai dagang fase I.



Namun pada hari Jumat (8/11/19) pelaku pasar kembali dibuat gelisah. Reuters memberitakan penghapusan bea masuk menimbulkan pertentangan di internal pemerintahan AS. Beberapa sumber mengungkapkan bahwa terjadi penolakan terhadap rencana tersebut.

"Tidak ada kesepakatan yang spesifik soal pencabutan bea masuk. Pihak AS masih bersikap ambigu, sementara China memang sangat berharap (penghapusan bea masuk) bisa terwujud," tegas Michael Pillsbury, penasihat Presiden AS Donald Trump yang berada di luar pemerintahan.



Peter Navarro, Penasihat Perdagangan Gedung Putih, juga menegaskan bahwa belum ada kesepakatan soal penghapusan bea masuk. Dia menilai China melakukan klaim sepihak.

"Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai pencabutan bea masuk sebagai syarat ditandatanganinya perjanjian damai dagang fase I. Mereka (China) mencoba bernegosiasi di ruang publik," tegas Navarro dalam wawancara bersama Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters.

Presiden Trump juga mengkonfirmasi hal tersebut, ia mengatakan mengatakan tidak setuju untuk membatalkan bea masuk, sebagaimana dilaporkan CNBC International pada Jumat waktu setempat.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Meski kesepakatan dagang AS-China mengalami pasang surut pada pekan lalu, tetapi Wall Street masih tetap perkasa. Hal tersebut menunjukkan investor masih optimistis kedua negara akan menandatangani kesepakatan dagang dalam waktu dekat. 

Ketiga indeks utama Wall Street mencatat penguatan, bahkan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. Indeks S&P 500 menguat 0,85% ke level 3.093,08. Sementara itu Dow Jones naik 1,22% ke level 27.681,24, dan Nasdaq dalam sepekan menambah 1,06% ke level 8.475,31.

Tidak hanya itu, Indeks Nasdaq kini sudah menguat dalam enam pekan berturut-turut, S&P 500 selama lima pekan, dan Dow Jones selama tiga pekan. 
"Narasi kesepakatan dagang sepertinya semakin dekat dengan apa yang disebut 'kesepakatan fase satu', melihat alur berita-berita utama belakangan ini" kata Michael Schumacher, kepala strategi suku bunga global di Wells Fargo Securities, dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International





"sepanjang tahun kita telah melihat beberapa kali perundingan bea masuk. Banyak hal terlihat bagus dan pasar (saham) bergerak naik. Kemudian seseorang berkata 'tidak, bukan itu yang kami katakan' dan pasar turun" kata Kathy Entwistle, senior vice president of wealth management di UBS. 

"Kita harus menyadari bahwa itu masih terjadi. Tapi ketika anda mendapat kejelasan, akan ada lebih banyak kegembiraan di pasar dan Anda menyadari banyak peluang pasar akan naik" kata Entwistle sebagaimana dilansir CNBC International

Selain perundingan kesepakatan dagang AS-China, laporan earning emiten juga mendongkrak kinerja Wall Street. Berdasarkan data FactSet, dari 452 emiten S&P 500 yang melaporkan earning, sebanyak 74%-nya mampu lebih tinggi dari presdiksi pasar. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 3) 

Perkembangan perundingan kesepakatan dagang AS-China masih akan menjadi penggerak utama di awal pekan ini. 

Seperti diketahui sebelumnya, Presiden AS Donald Trump sudah membantah pernyataan China yang mengatakan baik AS maupun China sudah sepakat membatalkan beberapa bea masuk. 

"Mereka [China] ingin mengalami kemunduran [kesepakatan]. Saya belum menyetujui apa pun [soal tarif]," katanya kepada wartawan sebelum meninggalkan Gedung Putih dalam perjalanan ke Georgia.

"[Langkah] China ini sedikit kemunduran, bukan kemunduran total karena mereka tahu saya tidak akan melakukannya [pembatalan tarif]," tegasnya dikutip CNBC International.

Pernyataan Trump tersebut menjadi yang terakhir terkait perundingan kesepakatan dagang. Sampai saat ini belum ada pernyataan lebih lanjut baik dari AS maupun China. 

Melihat respon pasar, Wall Street melemah pasca pernyataan Trump tersebut, tetapi investor masih tetap optimistis kesepakatan dagang akan segera diteken. Dampaknya Wall Street berhasil menguat di hari Jumat, bahkan mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah. 

Rekor Wall Street tersebut bisa mengirim hawa positif ke pasar Asia hari ini. IHSG berpeluang menguat pada setelah mencatat pelemahan sepanjang pekan lalu. Untuk diketahui, dibandingkan dengan bursa utama Asia lainnya, hanya IHSG yang melemah di pekan lalu, sehingga bursa kebanggaan Tahan Air ini bisa jadi akan "mengejar" ketertinggalan tersebut. 



Sementara itu rupiah sepertinya masih akan bergerak tidak jauh dari level psikologis Rp 14.000/US$. Pergerakan pekan lalu membuktikan perlu tenaga ekstra agar rupiah mampu turun ke bawah Rp 14.000/US$ lebih dalam. 

Apalagi melihat indeks dolar AS yang sedang "menggila". Sepanjang pekan lalu indeks yang mengukur kekuatan dolar tersebut menguat 1,15% dan menjauhi level terlemah sejak 9 Agustus yang disentuh pada Jumat 1 November lalu. 

Perlu diingat saat indeks dolar AS begitu perkasa pada pekan lalu, rupiah masih mampu menguat. Jadi ada kemungkinan Mata Uang Garuda akan diterpa aksi ambil untung di awal pekan ini. 

Dari pasar obligasi, dengan rilis data dari dalam negeri yang cukup bagus pada pekan lalu, keyakinan investor untuk berinvestasi di surat utang negara (SUN) tentunya membaik. Apalagi jika pelaku pasar global semakin optimistis kesepakatan dagang AS-China akan segera diteken, obligasi RI dapat menguat lagi, melanjutkan kinerja positif pekan lalu. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah beberapa data ekonomi dari berbagai negara yang akan dirilis hari ini. 
  • Pesanan Mesin Inti Jepang (pukul 6:50 WIB)
  • Transaksi Berjalan Jepang (pukul 6:50 WIB) 
  • Sentimen Ekonomi Jepang (pukul 6:50 WIB)
  • Indeks Harga Grosir Jerman (pukul 14:00 WIB)
  • Produksi Industri Italia (pukul 16:00 WIB)
  • Pembacaan Awal PDB Inggris (pukul 16:30 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (3Q-2019 YoY)5,02%
Inflasi (Oktober 2019 YoY)3,13%
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Oktober 2019)5%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2Q-2019)-3,04% PDB
Neraca pembayaran (2Q-2019)-US$ 1,98 miliar
Cadangan devisa (Oktober 2019)US$ 126,7 miliar




TIM RISET CNBC INDONESIA 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular