Beralih ke AS, Wall Street mencetak apresiasi pada perdagangan hari Rabu: indeks Dow Jones naik 0,11%, indeks S&P 500 menguat 0,28%, dan indeks Nasdaq Composite bertambah 0,19%.
Walau rilis kinerja keuangan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di AS bisa dibilang mengecewakan, nyatanya Wall Street tetap bisa mengakhiri hari di teritori positif. Kemarin, perusahaan produsen alat berat Caterpillar mengumumkan bahwa penjualan untuk periode kuartal III-2019 adalah senilai US$ 12,76 miliar, di bawah konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv yang senilai US$ 13,57 miliar. Laba per saham diumumkan senilai US$ 2,66, lebih rendah ketimbang konsensus yang senilai US$ 2,88.
Perusahaan kemudian merevisi ke bawah proyeksinya untuk kinerja keuangan tahun 2019. Kini, laba per saham untuk periode 2019 ditargetkan berada di rentang US$ 10,59 hingga US$ 11,09, lebih rendah dari ekspektasi analis yang senilai US$ 11,7.
Sebagai informasi, kinerja Caterpillar dijadikan acuan oleh investor untuk mengukur kuat-lemahnya arus perdagangan internasional, seiring dengan besarnya eksposur perusahaan kepada pasar luar negeri. Di tengah perang dagang AS-China, kinerja Caterpillar dijadikan acuan untuk mengukur dampak dari perang dagang antara dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut.
Walau sempat ambruk lebih dari 6% pada sesi perdagangan premarket, harga saham perusahaan nyatanya ditutup menguat 1,2%.
Komentar positif yang kembali ditebar oleh China terkait hubungan dengan AS di bidang perdagangan menjadi faktor yang melandasi aksi beli di bursa saham AS.
Wakil Menteri Luar Negeri China Le Yucheng mengatakan bahwa AS dan China telah mencapai perkembangan dalam negosiasi dagang kedua negara, seperti dilansir dari Reuters. Menurut Le, segala perbedaan yang ada antara AS dan China bisa diselesaikan selama keduanya menghormati satu sama lain.
“Selama kita saling menghormati satu sama lain dan bekerjasama dengan azaz keadilan, tidak ada perbedaan yang tak dapat diselesaikan antara China dan AS,” kata Le.
“Yang China inginkan adalah memberikan kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya. Kami tak ingin merenggut apapun dari pihak lain. Tidaklah ada ceritanya bahwa China ingin menggantikan ataupun mengancam pihak lain,” katanya guna semakin mendinginkan suasana dengan AS.
Dirinya kemudian menjelaskan bahwa AS dan China telah mencapai banyak hal melalui kerjasama selama bertahun-tahun.
“Untuk apa kita melepaskan capaian-capaian dari kerjasama tersebut?”
Jika benar AS-China bisa meneken kesepakatan dagang tahap satu pada bulan depan, tentu ini akan menjadi kabar yang sangat positif bagi perekonomian kedua negara lantaran roda perekonomian akan bisa dipacu untuk berputar lebih kencang.
Asal tahu saja, kesepakatan dagang AS-China bisa menjadi kunci untuk membebaskan kedua negara dari yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Beralih ke China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Pada perdagangan hari ini, Kamis (24/10/2019), pelaku pasar patut mencermati beberapa sentimen. Pertama, kinerja Wall Street yang menggembirakan. Sebagai kiblat dari pasar keuangan dunia, menghijaunya Wall Street pada perdagangan kemarin tentu berpotensi memantik aksi beli di pasar keuangan Asia pada hari ini.
Sentimen kedua yang perlu dicermati pelaku pasar adalah perkembangan terkait hubungan AS-China di bidang perdagangan. Jika pada hari ini kembali terdapat komentar bernada positif dari pihak AS maupun China, optimisme pelaku pasar untuk melakukan aksi beli di pasar keuangan Asia bisa membuncah.
Ketiga, pelaku pasar patut terus mencermati perkembangan terkait dengan kabinet baru bentukan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kemarin, Jokowi telah secara resmi memperkenalkan deretan menteri yang akan menghiasi kabinet barunya bersama dengan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Kabinet di periode dua pemerintahan Jokowi diberi nama Kabinet Indonesia Maju.
Di kabinet periode dua Jokowi, terdapat beberapa nama profesional seperti Pendiri Gojek Nadiem Makarin, CEO NET Wishnutama, serta Pendiri Mahaka Group Erick Thohir. Nadiem didapuk menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Erick Thohir sebagai Menteri BUMN, dan Wishnutama sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Di sisi lain, nama-nama lama yang memiliki rekam jejak oke di periode satu pemerintahan Jokowi masih dipertahankan, Sri Mulyani misalnya. Sri Mulyani akan kembali menjabat sebagai menteri keuangan di periode dua Jokowi.
Sri Mulyani memang merupakan salah satu nama yang begitu diinginkan pelaku pasar untuk kembali dibawa oleh Jokowi ke periode dua. Pelaku pasar yang merupakan CEO sebuah lembaga pemeringkat internasional mengatakan bahwa Sri Mulyani sudah pas ditempatnya dan ada baiknya dipertahankan sebagai menteri keuangan.
"Dua jempol untuk Sri Mulyani bisa menjaga stabilitas fiskal dan makro secara baik di tengah gempuran ketidakstabilan kondisi ekonomi global," tuturnya.
Sementara itu, kalangan bankir berpendapat sama.
"Sri Mulyani mengetahui dengan pasti kondisi keuangan negara dan tak ada lagi yang bisa menggantikannya untuk saat ini," terang salah seorang bankir senior.
Tim Riset CNBC Indonesia juga berpendapat bahwa Sri Mulyani merupakan salah satu menteri yang wajib dipertahankan oleh Jokowi.
Sepanjang periode satu pemerintahan Jokowi, Sri Mulyani mengambil keputusan yang berani dengan meningkatkan utang dalam jumlah yang besar guna membiayai pembangunan. Hal ini dilakukannya guna mengompensasi penerimaan negara yang relatif lemah lantaran perekonomian global sedang melambat.
Tambahan utang di era Jokowi yang begitu pesat banyak dialokasikan untuk membangun infrastruktur, sebuah faktor yang sangat krusial dalam memajukan sebuah perekonomian.
Walaupun secara gencar menambah utang, Sri Mulyani tetap tidak melupakan yang namanya prinsip kehati-hatian. Semenjak kembali ke Indonesia untuk menjadi menteri keuangan di pemerintahan Jokowi, defisit fiskal selalu dijaga di level yang rendah.
Selain Sri Mulyani, Basuki Hadimuljono selaku menteri PUPR di periode satu Jokowi juga kembali dipercaya untuk memegang posisi yang sama di periode dua.
Di periode satu pemerintahan Jokowi, kinerja Basuki bisa dibilang cemerlang. Deretan proyek infrastruktur nan-krusial dengan baik dieksekusi pembangunannya. Beberapa proyek bahkan sudah rampung dan bisa dinikmati masyarakat.
Tak hanya proyek jumbo macam Jalan Tol Trans Jawa dan Jalan Trans Papua, proyek-proyek lainnya macam bendungan yang secara nilai investasi bisa dibilang mini namun sesungguhnya krusial guna mestimulasi sendi-sendiri perekonomian di berbagai daerah di Indonesia, juga diamankan oleh Basuki.
Selepas dilantik, tentu para menteri akan mulai menyusun program-program prioritas yang akan dieksekusi dalam 100 hari pertama dirinya menjabat dan hal tersebut bisa mulai disampaikan ke media pada hari ini juga.
Jika paparan dari para menteri sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar, patut diduga bahwa dampak positif dari bentukan Kabinet Indonesia Maju terhadap pasar keuangan tanah air belum akan berakhir.
Sentimen keempat yang patut dicermati pelaku pasar adalah terkait dengan gelaran Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI). Kemarin, RDG BI untuk periode Oktober 2019 dimulai dan dijadwalkan berakhir pada hari ini, diikuti oleh pengumuman tingkat suku bunga acuan.
Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7-Day Reverse Repo Rate akan dipangkas sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5%. Jika benar terealisasi, maka akan menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan selama empat bulan beruntun.
Dari sebanyak 14 ekonom yang masuk ke dalam pembentukan konsensus, sebanyak 10 memperkirakan bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipangkas sebesar 25 bps, sementara sebanyak empat ekonom memperkirakan bahwa tingkat suku bunga acuan tak akan diutak-atik oleh bank sentral.
Tim Riset CNBC Indonesia juga memproyeksikan bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipangkas oleh BI, yakni sebesar 25 bps. Alasannya, terdapat peluang yang sangat besar bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada akhir bulan ini.
Sementara dari dalam negeri, inflasi yang terkendali, kinerja rupiah yang oke, serta derasnya aliran modal asing yang masuk ke pasar obligasi menjadi faktor yang membuat Tim Riset CNBC Indonesia optimistis bahwa Gubernur BI Perry Warjiyo dan koleganya di bank sentral akan mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada hari ini, dengan besaran 25 bps.
Kala tingkat suku bunga acuan dipangkas lagi, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.
Saat ini, perekonomian Indonesia jelas membutuhkan suntikan energi yang salah satunya bisa datang dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Jika benar dieksekusi oleh BI, tentunya akan menjadi sentimen positif bagi perekonomian dan juga pasar keuangan tanah air.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Simak Data dan Agenda Berikut
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis pembacaan awal atas data pertumbuhan ekonomi Korea Selatan periode kuartal III-2019 (06:00 WIB)
- Rilis pembacaan awal atas data Manufacturing PMI Jepang periode Oktober 2019 (07:30 WIB)
- Rilsi pembacaan awal atas data Services PMI Jepang periode Oktober 2019 (07:30 WIB)
- Rilis data ekspor & impor Hong Kong periode September 2019 (15:30 WIB)
- Rilis pembacaan awal atas data Manufacturing PMI AS periode Oktober 2019 (20:45 WIB)
- Rilis Pembacaan awal atas data Services PMI AS periode Oktober 2019 (20:45 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal II-2019) | 5,05% YoY |
Inflasi (September 2019) | 3,39% YoY |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2019) | 5,25% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Kuartal II-2019) | -3,04% PDB |
Neraca pembayaran (Kuartal II-2019) | -US$ 1,98 miliar |
Cadangan devisa (September 2019) | US$ 124,3 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA