Beralih ke AS, Wall Street mencetak apresiasi di sepanjang pekan kemarin: indeks Dow Jones naik 1,17%, indeks S&P 500 menguat 1,65%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 2,18%. Indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite sukses membukukan kinerja terbaik secara mingguan sejak bulan Agustus.
Pada perdagangan terakhir di pekan kemarin, Jumat (20/12/2019), indeks Dow Jones naik 0,28%, indeks S&P 500 menguat 0,49%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 0,42%. Ketiga indeks saham acuan di AS tersebut ditutup di level tertinggi sepanjang masa.
Pemakzulan Presiden AS Donald Trump oleh DPR AS tak dianggapi dengan serius oleh pelaku pasar saham AS. Seperti yang diketahui, pada hari Kamis waktu Indonesia (19/12/2019) atau hari Rabu waktu setempat (18/12/2019), DPR AS resmi memutuskan untuk memakzulkan Trump.
Ada dua alasan yang membuat anggota DPR AS memutuskan untuk melengserkan Trump. Pertama, Trump didakwa telah menyalahgunakan kekuasaannya ketika menahan bantuan pendanaan bagi Ukraina guna mendorong Ukraina meluncurkan investigasi terhadap lawan politiknya, Joe Biden.
Kedua, Trump juga didakwa karena dianggap menghalangi Kongres dalam melakukan penyelidikan terhadap dirinya. Hal ini dilakukan oleh Trump dengan melarang para pembantunya di Gedung Putih untuk memberikan kesaksian di sidang penyelidikan Trump.
Anggota DPR AS menggolkan pasal penyalahgunaan kekuasaan dengan skor 230-197. Sementara itu, pasal kedua yang menyebut bahwa Trump telah menghalangi Kongres dalam melakukan penyelidikan terhadap dirinya, digolkan dengan skor 229-198.
Sejauh ini, probabilitas bahwa Trump akan benar-benar dicopot dari posisinya terbilang kecil. Pasalnya, AS mengadopsi sistem parlemen dua kamar yang terdiri dari DPR (House of Representatives) dan Senat (Senate).
Segala rancangan undang-undang di AS, jika ingin digolkan menjadi undang-undang, harus mendapatkan persetujuan baik dari DPR maupun Senat. Hal serupa juga berlaku dalam urusan memakzulkan presiden.
Sebagai informasi, Senat AS diisi oleh sebanyak 100 senator. Dari sebanyak 100 senator yang membentuk Senat AS, sebanyak 53 senator berasal dari Partai Republik, sementara 47 berasal dari Partai Demokrat.
Trump sendiri merupakan anggota Partai Repulik, sehingga bisa dikatakan bahwa Senat AS dikuasai oleh kubunya.
Berbeda dengan pemungutan suara di DPR AS yang hanya memerlukan suara sebanyak minimum 51% untuk memakzulkan presiden, pemungutan suara di Senat AS mengharuskan suara sebanyak minimum 2/3 (67%) guna memakzulkan presiden.
Berarti, harus ada sebanyak 67 senator yang mendukung pemakzulan Trump untuk benar-benar ‘menendang’ mantan pengusaha kelas kakap tersebut dari posisinya saat ini. Dengan asumsi bahwa seluruh senator yang berasal dari Partai Demokrat mendukung pemakzulan Trump, masih dibutuhkan minimum 20 senator asal Partai Republik yang membelot guna benar-benar melengserkan Trump.
Melansir CNBC International, hingga saat ini belum ada satupun senator asal Partai Republik yang memberikan sinyal bahwa mereka akan mendukung pemakzulan Trump.
Optimisme bahwa Trump tak akan benar-benar dilengserkan dari posisinya pada akhirnya justru berbalik menjadi sentimen positif bagi bursa AS.
Pada perdagangan pertama di pekan ini, Senin (23/12/2019), pelaku pasar patut mencermati beberapa sentimen. Pertama, kinerja Wall Street yang menggembirakan di sepanjang pekan lalu, terutama di hari Jumat.
Sebagai kiblat dari pasar keuangan dunia, menghijaunya Wall Street pada perdagangan hari Jumat (yang membuatnya mencetak rekor level penutupan tertinggi) tentu berpotensi memantik aksi beli di pasar keuangan Asia pada hari ini.
Sentimen kedua yang perlu dicermati pelaku pasar adalah perkembangan terkait hubungan AS-China di bidang perdagangan. Seperti yang sudah disebutkan di halaman dua, AS dan China sebelumnya telah mengumumkan bahwa mereka telah berhasil mencapai kesepakatan dagang tahap satu.
Sejatinya, di sepanjang pekan lalu sempat ada kekhawatiran terkait dengan peluang ditekennya kesepakatan dagang tahap satu. Walaupun Trump menyebut bahwa nilai pembelian produk agrikultur oleh China akan mencapai US$ 50 miliar, pihak Beijing yang diwakili oleh Wakil Menteri Pertanian dan Pedesaan Han Jun hanya menyebut bahwa mereka akan meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS secara signifikan, tanpa menyebut nilainya.
Lebih lanjut, melansir CNBC International, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang berulang kali mengelak dari pertanyaan terkait dengan detil kesepakatan dagang tahap satu dengan AS.
Namun, dalam wawancara dengan CNBC International, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengungkapkan bahwa dirinya optimistis kesepakatan dagang akan bisa diteken pada bulan Januari.
Kemudian, cuitan Trump kini semakin mempertegas bahwa kesepakatan dagang akan benar-benar bisa diteken. Pada hari Jumat waktu setempat, Trump memposting sebuah cuitan yang isinya mengatakan bahwa dirinya telah melangsungkan “pembicaraan yang sangat baik” dengan Presiden China Xi Jinping terkait dengan beberapa hal, termasuk kesepakatan dagang kedua negara. Pembicaraan tersebut dilakukan melalui sambungan telepon.
“Telah melangsungkan pembicaraan yang sangat baik dengan Presiden Xi dari China terkait kesepakatan dagang kami yang begitu besar. China telah memulai pembelian produk agrikultur dan produk-produk lainnya secara besar. Formalisasi kesepakatan dagang sedang disiapkan. Juga berbicara mengenai Korea Utara, di mana kami bekerja sama dengan China, & Hong Kong (progres!),” cuit Trump melalui akun Twitter @realDonaldTrump.
Sebelumnya, Trump sudah mengungkapkan bahwa AS akan memulai negosiasi terkait kesepakatan dagang tahap dua degan China segera setelah kedua negara menandatangani kesepakatan dagang tahap satu, ketimbang menunggu hingga pasca pemilihan presiden tahun 2020.
Dari kubu Beijing, ada juga perkembangan yang positif. Melansir CNBC International yang mengutip kantor berita Xinhua, Xi mengatakan bahwa kesepakatan dagang tahap satu dengan AS akan menguntungkan kedua belah pihak.
“Kesepakatan dagang tahap satu yang telah dicapai antara AS dan China merupakan sebuah hal yang baik bagi AS, China, dan seluruh dunia,” kata Xi, seperti dilansir dari CNBC International.
“Baik pasar [keuangan] AS maupun China, beserta dengan [pasar keuangan] dunia, telah merespons dengan sangat positif hal ini [disepakatinya kesepakatan dagang tahap satu]. AS berniat untuk menjaga komunikasi secara intens dengan China dan berjuang untuk menandatangani dan mengimplementasikannya secepat mungkin.”
Sentimen ketiga yang perlu dicermati pada perdagangan hari ini adalah terkait dengan proses pemakzulan dari Trump yang nantinya akan berada di tangan Senat.
Seperti yang sudah disebutkan di halaman dua, hingga saat ini belum ada satupun senator asal Partai Republik yang memberikan sinyal bahwa mereka akan mendukung pemakzulan Trump.
Jika nantinya ada Senator yang ternyata mendukung pemakzulan Trump, apalagi jika jumlahnya cukup banyak, tentu hal ini akan menjadi sentimen negatif bagi pasar saham dunia.
Maklum saja, semenjak dirinya resmi menjabat sebagai Presiden pada 20 Januari 2017 silam, kinerja bursa saham AS alias Wall Street terbilang sangat oke.
Untuk diketahui, ada tiga indeks saham utama yang dicermati pelaku pasar saham dunia jika berbicara mengenai pasar saham AS. Ketiga indeks saham tersebut adalah Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq Composite.
Kini, mari bandingkan kinerja Wall Street di pemerintahan Presiden Barack Obama (periode dua) dengan pemerintahan Presiden Trump. Sebagai catatan, data di periode dua Obama dipilih lantaran di periode pertamanya (2009-2012), pasar keuangan dunia mencoba bangkit pasca dilanda tekanan jual yang begitu dahsyat, seiring dengan kehadiran krisis keuangan global pada tahun 2008.
Jika dihitung semenjak Presiden Obama dilantik (20 Januari 2013) untuk menjalani periode duanya hingga tanggal 18 Desember 2015, indeks Dow Jones, indeks S&P 500, dan indeks Nasdaq Composite menguat masing-masing sebesar 25,49%, 34,96%, dan 57,05%.
Kini, bandingkan dengan kinerja Wall Street di era Presiden Trump. Semenjak Presiden Trump dilantik (20 Januari 2017) hingga tanggal 18 Desember 2019 (tanggal di mana DPR AS menyetujui pemakzulan Trump), apresiasi indeks Dow Jones, indeks S&P 500, dan indeks Nasdaq Composite adalah masing-masing sebesar 43,11%, 40,97%, dan 59,34%.
Apresiasi dari tiga indeks saham utama di AS di era Presiden Trump lebih baik ketimbang di era Presiden Obama.
Patut diingat bahwa kinclongnya kinerja Wall Street di era Presiden Trump terjadi kala The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS tengah agresif melakukan normalisasi tingkat suku bunga acuan. Seperti yang diketahui, pasca AS dilanda kirisis keuangan pada tahun 2008 silam, The Fed menurunkan tingkat suku bunga acuan hingga ke rentang 0%-0,25% guna menstimulasi laju perekonomian.
Terhitung dalam periode Desember 2008 hingga November 2015, federal funds rate dipatok di rentang 0%-0,25%. Kala tingkat suku bunga acuan dipatok di level yang sangat rendah seperti itu, bank akan terdorong untuk mematok tingkat suku bunga kredit di level yang rendah pula sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya.
Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar dengan kencang dan akan terefleksikan di pasar saham (pasar saham menguat).
Namun, di era pemerintahan Presiden Trump, The Fed justru cukup gencar melakukan normalisasi. Per Desember 2016 atau sebelum Presiden Trump dilantik, federal funds rate dipatok di rentang 0,5%-0,75% oleh The Fed. Di tahun 2017, The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps, membawanya ke rentang 1,25%-1,5%.
Kemudian di tahun 2018, The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 100 bps, membawanya ke rentang 2,25%-2,5%. Beralih ke tahun 2019, The Fed melonggarkan tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps, membawanya ke rentang 1,5%-1,75%.
Walaupun sudah dilonggarkan, tetap saja Presiden Obama menikmati era di mana tingkat suku bunga acuan berada di level yang sangat rendah. Jadi, bisa dikatakan bahwa sebenarnya The Fed berperan besar dalam mendongkrak kinerja Wall Street di periode dua Presiden Obama.
Sentimen keempat yang perlu dicermati oleh pelaku pasar keuangan Asia pada perdagangan hari ini adalah terkait dengan perkembangan dari Brexit. Pada tanggal 12 Desember kemarin, Inggris mengadakan pemilihan umum.
Melansir BBC, Partai Konservatif memenangi 365 kursi di parlemen atau 47 kursi lebih banyak dari yang berhasil mereka raih pada gelaran pemilihan umum tahun 2017. Sebagai informasi, sebuah partai biasanya memerlukan lebih dari 320 kursi di Parlemen guna meloloskan rancangan undang-undang.
Dengan kemenangan tersebut, Boris Johnson yang juga merupakan pemimpin Partai Konservatif otomatis mempertahankan posisinya sebagai perdana menteri Inggris.
Kini, kemenangan besar Johnson dan Partai Konservatif terlihat sudah membuahkan hasil. Pada hari Jumat, parlemen Inggris menyetujui kesepakatan Brexit yang diajukan oleh Johnson. Melansir CNBC International, para anggota parlemen di Inggris telah menyetujui inti dari kesepakatan Brexit yang diajukan oleh Johnson. Kesepakatan Brexit yang diajukan oleh Johnson lolos dengan suara 358 berbanding 234.
Pada awal tahun depan, kesepakatan Brexit tersebut akan dirundingkan oleh kedua kamar yang membentuk parlemen Inggris (House of Commons dan House of Lords).
Memang, dengan dikuasainya mayoritas kursi Parlemen oleh Partai Konservatif, proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) diharapkan bisa berjalan dengan mulus. Seperti diketahui, sebelumnya proposal Brexit selalu kandas di Parlemen.
Bahkan, Theresa May yang merupakan perdana menteri Inggris sebelum Johnson harus rela mundur dari posisinya pasca mendapatkan penolakan sebanyak tiga kali kala mengajukan kesepakatan Brexit ke Parlemen. May resmi mundur dari posisinya pada tanggal 7 Juni 2019.
Kini, Inggris berada di jalur yang tepat untuk meninggalkan Uni Eropa pada tanggal 31 Januari 2020. Ketidakpastian pun berkurang dan bisa memantik aksi beli di pasar keuangan Asia.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data inflasi Singapura periode November 2019 (12:00 WIB)
- Rilis data pertumbuhan pemesanan barang tahan lama AS periode November 2019 (20:30 WIB)
- Rilis data penjualan rumah baru AS periode November 2019 (22:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal III-2019) | 5,02% YoY |
Inflasi (November 2019) | 3% YoY |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2019) | 5% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Kuartal III-2019) | -2,66% PDB |
Neraca pembayaran (Kuartal III-2019) | -US$ 46 juta |
Cadangan devisa (November 2019) | US$ 126,6 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA