
Trump & Xi Tebar Optimisme, IHSG Siap to The Moon?

Sentimen ketiga yang perlu dicermati pada perdagangan hari ini adalah terkait dengan proses pemakzulan dari Trump yang nantinya akan berada di tangan Senat.
Seperti yang sudah disebutkan di halaman dua, hingga saat ini belum ada satupun senator asal Partai Republik yang memberikan sinyal bahwa mereka akan mendukung pemakzulan Trump.
Jika nantinya ada Senator yang ternyata mendukung pemakzulan Trump, apalagi jika jumlahnya cukup banyak, tentu hal ini akan menjadi sentimen negatif bagi pasar saham dunia.
Maklum saja, semenjak dirinya resmi menjabat sebagai Presiden pada 20 Januari 2017 silam, kinerja bursa saham AS alias Wall Street terbilang sangat oke.
Untuk diketahui, ada tiga indeks saham utama yang dicermati pelaku pasar saham dunia jika berbicara mengenai pasar saham AS. Ketiga indeks saham tersebut adalah Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq Composite.
Kini, mari bandingkan kinerja Wall Street di pemerintahan Presiden Barack Obama (periode dua) dengan pemerintahan Presiden Trump. Sebagai catatan, data di periode dua Obama dipilih lantaran di periode pertamanya (2009-2012), pasar keuangan dunia mencoba bangkit pasca dilanda tekanan jual yang begitu dahsyat, seiring dengan kehadiran krisis keuangan global pada tahun 2008.
Jika dihitung semenjak Presiden Obama dilantik (20 Januari 2013) untuk menjalani periode duanya hingga tanggal 18 Desember 2015, indeks Dow Jones, indeks S&P 500, dan indeks Nasdaq Composite menguat masing-masing sebesar 25,49%, 34,96%, dan 57,05%.
Kini, bandingkan dengan kinerja Wall Street di era Presiden Trump. Semenjak Presiden Trump dilantik (20 Januari 2017) hingga tanggal 18 Desember 2019 (tanggal di mana DPR AS menyetujui pemakzulan Trump), apresiasi indeks Dow Jones, indeks S&P 500, dan indeks Nasdaq Composite adalah masing-masing sebesar 43,11%, 40,97%, dan 59,34%.
Apresiasi dari tiga indeks saham utama di AS di era Presiden Trump lebih baik ketimbang di era Presiden Obama.
Patut diingat bahwa kinclongnya kinerja Wall Street di era Presiden Trump terjadi kala The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS tengah agresif melakukan normalisasi tingkat suku bunga acuan. Seperti yang diketahui, pasca AS dilanda kirisis keuangan pada tahun 2008 silam, The Fed menurunkan tingkat suku bunga acuan hingga ke rentang 0%-0,25% guna menstimulasi laju perekonomian.
Terhitung dalam periode Desember 2008 hingga November 2015, federal funds rate dipatok di rentang 0%-0,25%. Kala tingkat suku bunga acuan dipatok di level yang sangat rendah seperti itu, bank akan terdorong untuk mematok tingkat suku bunga kredit di level yang rendah pula sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya.
Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar dengan kencang dan akan terefleksikan di pasar saham (pasar saham menguat).
Namun, di era pemerintahan Presiden Trump, The Fed justru cukup gencar melakukan normalisasi. Per Desember 2016 atau sebelum Presiden Trump dilantik, federal funds rate dipatok di rentang 0,5%-0,75% oleh The Fed. Di tahun 2017, The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps, membawanya ke rentang 1,25%-1,5%.
Kemudian di tahun 2018, The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 100 bps, membawanya ke rentang 2,25%-2,5%. Beralih ke tahun 2019, The Fed melonggarkan tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps, membawanya ke rentang 1,5%-1,75%.
Walaupun sudah dilonggarkan, tetap saja Presiden Obama menikmati era di mana tingkat suku bunga acuan berada di level yang sangat rendah. Jadi, bisa dikatakan bahwa sebenarnya The Fed berperan besar dalam mendongkrak kinerja Wall Street di periode dua Presiden Obama.
Sentimen keempat yang perlu dicermati oleh pelaku pasar keuangan Asia pada perdagangan hari ini adalah terkait dengan perkembangan dari Brexit. Pada tanggal 12 Desember kemarin, Inggris mengadakan pemilihan umum.
Melansir BBC, Partai Konservatif memenangi 365 kursi di parlemen atau 47 kursi lebih banyak dari yang berhasil mereka raih pada gelaran pemilihan umum tahun 2017. Sebagai informasi, sebuah partai biasanya memerlukan lebih dari 320 kursi di Parlemen guna meloloskan rancangan undang-undang.
Dengan kemenangan tersebut, Boris Johnson yang juga merupakan pemimpin Partai Konservatif otomatis mempertahankan posisinya sebagai perdana menteri Inggris.
Kini, kemenangan besar Johnson dan Partai Konservatif terlihat sudah membuahkan hasil. Pada hari Jumat, parlemen Inggris menyetujui kesepakatan Brexit yang diajukan oleh Johnson. Melansir CNBC International, para anggota parlemen di Inggris telah menyetujui inti dari kesepakatan Brexit yang diajukan oleh Johnson. Kesepakatan Brexit yang diajukan oleh Johnson lolos dengan suara 358 berbanding 234.
Pada awal tahun depan, kesepakatan Brexit tersebut akan dirundingkan oleh kedua kamar yang membentuk parlemen Inggris (House of Commons dan House of Lords).
Memang, dengan dikuasainya mayoritas kursi Parlemen oleh Partai Konservatif, proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) diharapkan bisa berjalan dengan mulus. Seperti diketahui, sebelumnya proposal Brexit selalu kandas di Parlemen.
Bahkan, Theresa May yang merupakan perdana menteri Inggris sebelum Johnson harus rela mundur dari posisinya pasca mendapatkan penolakan sebanyak tiga kali kala mengajukan kesepakatan Brexit ke Parlemen. May resmi mundur dari posisinya pada tanggal 7 Juni 2019.
Kini, Inggris berada di jalur yang tepat untuk meninggalkan Uni Eropa pada tanggal 31 Januari 2020. Ketidakpastian pun berkurang dan bisa memantik aksi beli di pasar keuangan Asia.
