Newsletter

Friksi Dagang AS-China Mengendur, Tapi Ketegangan Masih Ada

Tirta Widi Citradi, CNBC Indonesia
14 October 2019 06:53
Friksi Dagang AS-China Mengendur, Tapi Ketegangan Masih Ada
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham RI cenderung bergerak fluktuatif sepekan kemarin. Namun akhirnya IHSG di tutup menghijau kompak dengan indeks bursa kawasan Asia lainnya seiring dengan mulusnya negosiasi dagang Amerika Serikat (AS)-China pada 10-11 Oktober kemarin.

Pada Jumat (11/10/2019), IHSG menguat 82 poin lebih atau terapresiasi 1,36%, indeks Kospi naik 0,81%, indeks Straits Times melesat 0,79%, indeks Hang Seng terangkat 2,34% dan indeks Nikkei melejit 1,15%. IHSG mengokohkan posisinya sebagai runner up jika dibandingkan dengan indeks utama bursa kawasan Asia yang disebutkan di atas pada hari penutupan perdagangan pekan kemarin.


Senada dengan bursa saham, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga ditutup menguat 0,16%. Mata uang Benua Kuning lainnya yang juga kompak ditutup menguat terhadap AS yaitu Won dari Negeri Ginseng yang terapresiasi sebesar 0,53%, Yuan China juga terangkat 0,4% dan Ringgit Negeri Jiran yang mengalami kenaikan sebesar 0,07%.

Sejatinya ekonomi Indonesia tumbuh melambat pada 2019. Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di angka 5% lebih rendah dibandingkan dengan prediksi pada April yang berada di angka 5,1%.

Selain itu Survei Penjualan Eceran (SPE) bulan Agustus Bank Indonesia (BI) juga tercatat tumbuh tipis yaitu 1,1% secara year on year (YoY). Jika dibandingkan dengan bulan lalu angka pertumbuhan ini lebih rendah mengingat penjualan ritel bulan Juli mencatatkan pertumbuhan sebesar 2,4% (YoY).

Beberapa indikator lain juga mengindikasikan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat. Berdasarkan rilis data Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) BI, kegiatan usaha di Indonesia masih tumbuh positif walau lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya. Hal tersebut tercermin dari Saldo Bersih Tertimbang kuartal III yang berada di angka 13,39% atau lebih rendah 5,78 persentase poin dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.

Kinerja sektor industri pengolahan juga masih tumbuh ekspansif walau senada dengan SKDU yang melambat. Hal ini tercermin dari angka Prompt Manufacturing Indeks yang berada di level 52,04% pada kuartal III, lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang mencapai 52,66%. Angka di atas 50 mengindikasikan adanya aktivitas ekspansi.

Ekonomi Indonesia memang tumbuh melambat. Namun angin segar yang berhembus dari perundingan dagang AS-China cukup kuat untuk membawa IHSG dan indeks bursa Benua Kuning lain finish di zona hijau pada akhir perdagangan Jumat lalu.

Friksi dagang yang berlangsung lebih dari satu tahun ini memang sudah membuat ekonomi global melambat. Dengan adanya kesepakatan awal yang dibuat kedua belah pihak setidaknya menjadi secercah harapan adanya perbaikan ekonomi global yang mengembalikan risk appetite investor sehingga mengerek naik aset-aset berisiko seperti saham.



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Beralih ke bursa AS, kemajuan negosiasi dagang tersebut juga turut dinikmati oleh tiga indeks utama Negeri Paman Sam. Indeks Dow Jones Industrial Average (Dow Jones) melonjak 319,92 poin atau naik 1,21% ke level 26.816,59. Indeks Nasdaq melejit 1,34% ke 8.057,39 sementara indeks S&P terapresiasi 1,09% ke level 2.970,27 pada penutupan perdagangan Jumat.

Menghijaunya bursa dipicu oleh kabar melegakan atas kemajuan yang dicapai dari negosiasi dagang AS-China di Washington minggu kemarin.

Negosiasi yang terjadi berjalan mulus dan bisa dibilang mencatatkan kemajuan signifikan setelah menempuh drama tit for tat bea masuk yang membuat kondisi perekonomian global merana 15 bulan terakhir ini.

Beberapa poin substansial yang menjadi fokus perbincangan tersebut seperti pembahasan terkait kekayaan intelektual dan jasa keuangan, penundaan tarif serta pembelian produk pertanian AS oleh China.

AS berjanji akan menunda kenaikan tarif sebesar 30% pada barang China senilai US$ 250 miliar yang seharusnya berlaku per 15 Oktober nanti. Di sisi lain China juga menjanjikan beberapa hal yang salah satunya berupa konsesi pembelian produk-produk pertanian AS senilai US$ 40-50 miliar.

Walaupun sudah mencapai kemajuan yang substansial pada “fase pertama” ini, para pejabat kedua negara menegaskan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam kesepakatan ini.

Pemerintahan Trump juga belum memberikan putusan yang sama untuk barang-barang dari China yang akan kena tarif tambahan pada Desember nanti seperti ponsel, laptop, mainan dan pakaian yang kena tarif tambahan hingga 15%.



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)




Ketegangan perang dagang AS-China perlahan memang mencair. Namun imbas dari drama tersebut telah membuat ekonomi kedua negara tumbuh melambat. Ekonomi AS tumbuh melambat dicirikan dengan indeks PMI manufaktur yang berada di angka 47,8 terparah sejak 10 tahun terakhir serta indeks PMI jasa AS yang juga melambat dan mencatatkan rekor terendahnya sejak 2016.

Perlambatan ini berpotensi membuat otoritas moneter AS, Federal Reserves (The Fed), kembali melonggarkan kebijakan moneternya pada akhir Oktober nanti. Pertemuan Federal Open Market Comittee (FOMC) dijadwalkan akan berlangsung 30 Oktober ini. semua mata sedang tertuju pada keputusan The Fed nantinya apakah akan kembali memangkas suku bunga acuan atau tidak.

Setelah urat saraf ketegangan perang dagang AS-China mengendur, kita kembali dihadapkan pada drama perang dagang lain antara AS dan Eropa yang konon katanya bisa lebih mengerikan dibandingkan dengan China.

Mengutip data Kantor Perwakilan Dagang AS, impor AS dari Uni Eropa bernilai US$ 683,9 miliar pada 2018. Pada tahun yang sama, impor dari China 'hanya' US$ 557,9. Sementara ekspor AS ke Uni Eropa tercatat US$ 574,5 miliar dan ke China adalah US$ 179,2 miliar. Kalau melihat angka-angka ini, maka dampak friksi dagang AS-Eropa memang lebih besar.

Perang dagang AS-Eropa timbul setelah organisasi perdagangan dunia (WTO) memenangkan gugatan AS atas tuduhan subsidi ilegal Eropa kepada Airbus yang membuat persaingan tidak sehat. Akibatnya kerugian yang dicapai Amerika per tahunnya mencapai US$ 7,5 miliar.

WTO telah merestui AS untuk mengenakan tarif terhadap barang dari Eropa. Beberapa produk dari Eropa seperti wine Perancis, keju dari Italia hingga whiskey dari Irlandia akan dikenakan tarif per 18 Oktober ini. Tidak menutup kemungkinan bahwa Eropa akan melakukan retaliasi atas aksi ini. Di tengah carut marut perekonomian Eropa dan juga tensi geopolitik yang tinggi, perang dagang AS-Eropa tentu akan meningkatkan ketidakpastian global dan mengancam perekonomian global untuk kembali melambat.

Tidak hanya AS-Eropa saja yang panas. Ketegangan juga terjadi di Timur Tengah menyusul serangan dua peluru kendali ke tanker pengangkut minyak Iran yang melintas di dekat Pelabuhan Jeddah. Peristiwa ini memicu kenaikan harga minyak mentah jenis Brent dan light sweet yang masing-masing 2,39% dan 2,15%.

Ketegangan yang terjadi ini mengakibatkan kekhawatiran bahwa pasokan minyak akan berkurang drastis seperti terjadi setelah penyerangan drone ke fasilitas kilang minyak Arab Saudi yang menyebabkan produksi minyak Arab Saudi berkurang 5,7 juta barel per hari. Ketika pasokan minyak berkurang drastis sedangkan permintaan masih relatif sama, harga minyak berpotensi melambung tinggi. Hal ini tentu akan memberatkan ekonomi negara-negara importir minyak salah satunya adalah Indonesia.

Dari dalam negeri hari ini akan diumumkan pertumbuhan kredit bulan Agustus. Angka pertumbuhan kredit menjadi tolok ukur apakah pelaku usaha melakukan ekspansi atau tidak. Angka pertumbuhan kredit diprediksi tumbuh 9,3% atau lebih rendah dari periode sebelumnya yang berada di angka 9,58%.



(BERLANJUT KE HALAMAN 4)



Berikut adalah rilis data yang terjadi hari ini :
• Data Neraca Dagang China bulan September (09.30 WIB)
• RUPS PT Inti Bangun Sejahtera Tbk. (10.00 WIB)
• Data Produksi Industri Uni Eropa bulan Agustus (16.00 WIB)
• Rilis data pertumbuhan kredit Indonesia (18.00 WIB)

Berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional

Indikator
Tingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q2-2019 YoY)
5,05%
Inflasi (September 2019 YoY)
3,39%
BI-7DRRR (Agustus 2019)
5,25%
Defisit APBN 2019
-1,84% PDB
Transaksi Berjalan (Q2-2019)
-3,04% PDB
Neraca Pembayaran (Q2-2019)
-US$ 1,98 miliar
Cadangan Devisa (September 2019)
US$ 124,3 miliar

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular