
Resesi Dunia: Mitos yang Mewujud atau Fakta yang Tertunda?

Sama seperti bursa Indonesia, bursa saham Amerika Serikat (AS) menutup perdagangan Senin (7/10/2019) dengan pelemahan setelah sempat bergerak flip-flop antara menguat atau melemah. Hal ini terjadi di tengah pesimisme seputar pembicaraan perdagangan antara AS dan China.
Indeks Dow Jones Industrial Average (Dow Jones) anjlok 95,7 poin (-0,4%) pada penutupan dini hari tadi ke 26.478,02. Indeks Nasdaq turun 30 poin (-0,3%) ke 7.956,29 sementara indeks S&P 500 tertekan 14 poin (-0,5%) ke 2.938,79.
Kekhawatiran seputar prospek ekonomi dunia masih menjadi awan gelap yang memayungi perdagangan bursa global. Pesimisme terjadi menyusul pemberitaan Bloomberg, mengutip sumber yang ingin identitasnya dirahasiakan, bahwa pihak China keberatan jika harus menyetujui beberapa poin yang dipersyaratkan oleh Presiden AS Donald Trump.
Wakil Perdana Menteri China Liu He yang juga ketua tim negosiator China dikabarkan telah menyatakan bahwa persetujuan yang akan diberikan tidak termasuk pada komitmen mereformasi kebijakan industri dan subsidi China.
Kini, perang dagang telah resmi dilancarkan Presiden AS Donald Trump terhadap mitra utamanya, yakni Uni Eropa yang saat ini tengah tertatih-tatih menghadapi kenyataan sektor manufakturnya terus terkontraksi sembilan bulan berturut-turut (sementara sektor jasa cenderung melambat).
Menurut Chief Executif Officer (CEO) perusahaan investasi Blackstone, Stephen Schwarzman, Eropa akan mengalami 'Lost Decade' atau periode pertumbuhan ekonomi yang stagnan selama satu dekade seperti yang dialami Jepang.
Jerman selaku negara dengan perekonomian terbesar di Eropa, sudah mulai bersiap dengan risiko terburuk resesi. Kemungkinan bagi ekonomi Jerman untuk jatuh ke dalam resesi mencapai hampir 60%, menurut indeks bulanan yang oleh Macroeconomic Policy Institute (IMK).
Indeks yang dihasilkan oleh badan riset ekonomi swasta itu menyebut risiko resesi Jerman telah naik menjadi 59,4%, dari 43% pada Agustus. Ini adalah proyeksi risiko resesi tertinggi bagi ekonomi terbesar Eropa itu sejak musim dingin 2012/2013.
BERLANJUT KE HAL 3>>>