Newsletter

Resesi dan Perang Dagang di Depan Mata, Siapkan Payung Ya...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 October 2019 04:33
Resesi dan Perang Dagang di Depan Mata, Siapkan Payung Ya...
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Maklum, di Asia kondisinya pun demikian...

Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,35%. IHSG kompak dengan seluruh indeks saham utama Asia yang 'kebakaran', seluruhnya melemah. Kelihatannya koreksi IHSG begitu dalam, tetapi ternyata masih ada indeks saham Asia yang lebih parah dari itu.

 


Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) justru ditutup menguat 0,11%. Rupiah juga senada dengan mata uang utama Benua Kuning yang kompak terapresiasi di hadapan greenback, hanya yuan China, rupee India, dan won Korea Selatan yang mencatat depresiasi.



Apa yang terjadi? Mengapa bursa saham Asia 'kebakaran' sementara mata uangnya relatif adem ayem?

Sepertinya pasar saham merespons dua sentimen besar yang beredar kemarin. Pertama, kekhawatiran bahwa AS bakal mengalami resesi meningkat seiring rilis data aktivitas manufaktur.

Pada September, angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS versi Institute for Supply Management (ISM) adalah 47,8. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,1.

Angka PMI di bawah 50 menunjukkan industriawan tidak melakukan ekspansi. Selain itu, skor 47,8 adalah yang terendah sejak Juni 2009.

 

"Ini adalah angka yang buruk, sejalan dengan masalah manufaktur yang dialami dunia. Saya rasa pasar layak untuk cemas," tegas Jim Bianco, Kepala Riset Bianco Research yang berbasis di Chicago, seperti dikutip dari Reuters.

"Sektor manufaktur sudah mengalami resesi. Namun bukan berarti ekonomi secara keseluruhan sudah dalam resesi," tambah Thomas Simons, Ekonom di Jeffries, juga dikutip dari Reuters.


Sentimen kedua adalah hawa di Semenanjung Korea yang memanas. Korea Utara dikabarkan telah meluncurkan misil balistik yang diduga berasal dari kapal selam.

Militer Korea Selatan menyatakan bahwa mereka mendeteksi peluncuran misil yang kemudian terbang sejauh 450 km dengan ketinggian 910 km. Diduga misil tersebut berjenis Pukgokson, senjata yang tengah dikembangkan oleh Pyongyang.

Isu ini bahkan sudah sampai ke ranah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang ikut khawatir. "Sekretaris Jenderal berharap kedua pihak terus menjaga dialog dan mencapai kemajuan," tegas Juru Bicara PBB Stephane Dujarric, seperti dikutip dari Reuters.


Sementara pasar mata uang merespons nilai tukar dolar AS yang terkoreksi setelah menguat cukup tajam. Akhir pekan lalu, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat sampai ke titik tertinggi sejak Mei 2017.

 

Investor melakukan profit taking terhadap dolar AS, dan arus modal sebenarnya masuk ke negara-negara Asia termasuk Indonesia. Namun aliran modal tidak menuju ke pasar saham, melainkan obligasi pemerintah.

Terlihat bahwa imbal hasil (yield) obligasi pemerintah di Benua Kuning bergerak turun, pertanda bahwa harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan. Yield obligasi pemerintah Indonesia seri acuan tenor 10 tahun turun 2,6 basis poin (bps), Singapura turun 1,9 bps, Malaysia turun 2,7 bps, Thailand turun 2 bps, sampai India turun 3,7 bps.

'Darah' dari pasar obligasi ini mampu menopang penguatan nilai tukar mata uang Asia. Itulah penyebab mata uang Benua Kuning mampu menguat di tengah karamnya bursa saham.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Namun, sepertinya hari ini pasar keuangan Asia akan memulai hari dengan mood yang jelek karena ada kabar buruk dari Wall Street. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 1,86%, S&P 500 amblas 1,79%, dan Nasdaq Composite ambrol 1,56%.

Seperti kemarin, bursa saham New York masih mencemaskan aktivitas manufaktur AS yang menyentuh titik terlemah dalam 10 tahun terakhir. Bayang-bayang resesi semakin besar dan membuat pelaku pasar panik.

Saat ini pasar sudah menilai sektor manufaktur AS memasuki resesi. Meski ekonomi secara keseluruhan masih tumbuh positif, tetapi PMI adalah salah satu leading indicator utama yang menunjukkan arah perekonomian ke depan. Artinya, risiko resesi di AS memang boleh dibilang semakin nyata.


Investor juga menantikan rilis data lanjutan dari ISM yaitu PMI sektor jasa yang akan keluar besok. Namun biasanya sektor jasa bergerak searah dengan manufaktur, dan kalau itu terjadi maka prospek ekonomi Negeri Adidaya bakal semakin suram.

"(PMI manufaktur) membuat kita berada dalam situasi bahwa data besok menjadi sesuatu yang sangat dinanti. Kalau (PMI jasa) tidak mendukung, maka kita akan melihat sell-off (penjualan besar-besaran)," tegas Phil Blancanto, CEO di Ladenburg Thalmann Asset Management yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.

Kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi yang mungkin berujung kepada resesi dipertegas oleh rilis data ketenagakerjaan dari ADP. Ini menjadi gambaran awal terhadap data ketenagakerjaan resmi yang akan dirilis pemerintah AS akhir pekan ini.

ADP melihat penciptaan lapangan kerja di Negeri Paman Sam pada September adalah 135.000. Turun dibandingkan posisi Agustus yang sebanyak 157.000 dan berada di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 140.000.

"Pasar sudah memperkirakan kondisi bearish. Data-data seperti dari ADP meningkatkan risiko ke bawah (downside risk)," ujar Tom Plumb, Chief Investment Officer di Plumb Funds yang berbasis di Wisconsin, seperti diberitakan Reuters.

Situasi diperparah dengan potensi perang dagang. Kali ini bukan AS vs China, tetapi AS vs Uni Eropa. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memenangkan gugatan AS yang menyebut Uni Eropa memberikan subsidi kepada Airbus sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dengan perusahaan pembuat pesawat lainnya seperti Boeing.

Sidang panel WTO menyatakan AS menderita kerugian sampai US$ 7,5 miliar per tahun. Keputusan WTO ini menjadi pembenaran bagi rencana AS untuk menerapkan bea masuk terhadap importasi produk-produk dari Eropa. Washington mengusulkan pengenaan bea masuk bagi importasi hingga US$ 11 miliar.

Jadi, bersiap lah untuk drama perang dagang edisi terbaru. Kali ini lakonnya bukan AS vs China, melainkan AS vs Eropa...

Baca: Perang Dagang AS vs Uni Eropa di Depan Mata, Kok Bisa?


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu sang mood setter yaitu Wall Street yang melemah lumayan dalam. Kalau Wall Street sudah anjlok sedemikian parah, bukan tidak mungkin bursa saham Asia akan mengikuti langkah yang sama.

Kedua adalah risiko resesi yang semakin tinggi di AS. Berdasarkan survei US National Association for Business Economics (NABE) yang melibatkan 226 institusi, 42% responden memperkirakan AS akan mengalami resesi pada Februari 2020.

NABE
 

Artinya kemungkinan resesi di AS bakal terjadi dalam hitungan bulan, bukan lagi tahun. Kalau AS sampai benar-benar resesi, maka perekonomian dunia bakal ikut terseret karena Negeri Adikuasa adalah negara konsumen terbesar di dunia. Saat konsumsi di sana melambat akibat resesi, maka negara lain akan sulit untuk mengharapkan ekspor dan investasi sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi.

Sentimen ketiga adalah risiko perang dagang AS vs Eropa. Sudah AS-China belum damai juga, kini AS dan Eropa bakal saling hambat dalam hal perdagangan.

Sudah terbukti bahwa perang dagang AS-China membuat perekonomian dunia menjadi tumbal. Rantai pasok global terganggu, perlambatan ekonomi terjadi di mana-mana.

Baca: Singapura, Calon Korban Resesi Berikutnya?

Sekarang masalah bertambah berat dengan bakal hadirnya perang dagang AS-Eropa. Rantai pasok dunia akan semakin rusak, risiko resesi bakal membesar.

Bahkan sejumlah pihak menilai perang dagang AS-Eropa akan lebih parah ketimbang AS-China. Sebab perdagangan AS dengan Benua Biru lebih besar ketimbang dengan China sehingga dampaknya juga akan lebih signifikan.

"Perdagangan AS-Uni Eropa adalah yang paling penting. Ini adalah arus perdagangan terbesar di dunia," kata Florens Hense, Ekonom di Berenberg, seperti diberitakan CNBC International.

Mengutip data Kantor Perwakilan Dagang AS, impor AS dari Uni Eropa bernilai US$ 683,9 miliar pada 2018. Pada tahun yang sama, impor dari China 'hanya' US$ 557,9. Sementara ekspor AS ke Uni Eropa tercatat US$ 574,5 miliar dan ke China adalah US$ 179,2 miliar.

Kalau melihat angka-angka ini, maka dampak friksi dagang AS-Eropa memang lebih besar. Arus perdagangan kedua negara menjadi mengecil akibat pengenaan bea masuk, dan ketika volume perdagangan mengerut maka pertumbuhan ekonomi pun demikian.


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen keempat, investor juga perlu memantau perkembangan di pasar komoditas utamanya harga minyak. Pada pukul 01:48 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet amblas masing-masing 2,45% dan 2,2%.




Sepertinya harga minyak juga merespons kegalauan pasar akibat awan mendung resesi yang semakin tebal. Saat resesi terjadi, aktivitas ekonomi akan melambat dan begitu pula permintaan energi. Makanya harga minyak anjlok.

Selain itu, penurunan harga minyak juga disebabkan oleh kekhawatiran terhadap kelebihan pasokan (oversupply). US Energy Information Administation mencatat stok minyak AS naik 3,1 juta barel pekan lalu. Nyaris dua kali lipat dari konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan kenaikan 1,6 juta barel.

Akan tetapi, penurunan harga minyak bisa menjadi sentimen positif di Indonesia. Sebab saat harga minyak turun maka biaya impornya akan lebih murah. Ini tentu menguntungkan Indonesia yang berstatus negara net importir minyak.

Saat impor minyak bisa ditekan, maka beban di neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) akan berkurang. Dampaknya, rupiah punya fondasi yang lebih kuat.

Namun, sepertinya sulit bagi rupiah untuk menguat sebab ada sentimen keempat yaitu kecenderungan investor bakal bermain aman hari ini. Aset-aset berisiko bakal dilepas, dan arus modal akan menyemut di aset-aset aman (safe haven) seperti emas. Gambarannya sudah terlihat di mana pada pukul 01:58 WIB harga emas dunia melesat 1,37%.

  


Tidak cuma ke emas, aliran modal juga sepertinya mengarah ke aset aman lainnya yaitu obligasi pemerintah AS. Pada pukul 02:00 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun turun 4,8 bps.

Pasti investor mencari selamat masing-masing dari guyuran 'hujan' sentimen negatif. Apabila situasi penuh dengan risiko karena ancaman resesi, perang dagang, dan sebagainya, maka wajar investor menyiapkan 'payung' dengan memburu aset-aset aman.

So, sepertinya ruang penguatan bagi IHSG dan rupiah akan sangat sempit. Kalau pasar dilanda kepanikan, seperti yang terjadi di Wall Street, bukan tidak mungkin kita akan menyaksikan koreksi yang signifikan hari ini...


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rilis data ekspor-impor dan neraca perdagangan Australia periode Agustus (08:30 WIB).
2. Rilis data PMI jasa AS versi ISM periode September (21:00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q II-2019 YoY)

5,05%

Inflasi (September 2019 YoY)

3,39

BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2019)

5,25%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Q II-2019)

-3,04% PDB

Neraca pembayaran (Q II-2019)

-US$ 1,98 miliar

Cadangan devisa (Agustus 2019)

US$ 126,44 miliar

 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA





(aji/aji) Next Article Hantu Resesi Belum Pergi, Demo Memperparah Situasi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular