Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri bergerak variatif pada perdagangan Selasa (17/9/19), rupiah mencatat pelemahan sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil bangkit.
Rupiah melemah 0,39% ke level Rp 14.090/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv. Dalam dua hari terakhir, total rupiah melemah hampir 1% tepatnya 0,93%. Ini berarti penguatan rupiah sepanjang pekan lalu sebesar 0,92% sudah terbabat habis.
Terbalik dengan rupiah, IHSG berhasil sebesar 0,28% ke level 6.236,69. Aksi beli setelah bursa saham kebanggaan Indonesia ini melemah tiga hari beruntun menjadi pemicu penguatan IHSG. Hal ini terlihat dari penguatan IHSG sementara bursa saham utama Asia lainnya berakhir di zona merah atau mendatar.
Dalam tiga hari terakhir, IHSG sudah melemah 2,55%, dengan pelemahan terbesar terjadi pada Senin kemarin yakni 1,82%.
Dari pasar obligasi, imbal hasil (yield) obligasi seri acuan tenor 10 tahun naik 3,1 basis poin (bps). Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun. Dengan demikian, berarti terjadi aksi jual di pasar obligasi.
Gejolak di Timur Tengah masih menjadi headline Selasa kemarin. Serangan drone ke dua fasilitas minyak milik Arab Saudi tereskalasi menjadi potensi terjadinya Perang Teluk.
Pelaku pasar cemas akan adanya perang antara Iran sebagai pihak tertuduh melakukan serangan tersebut, dengan AS sebagai pihak yang menuduh. Kedua negara sudah saling berbalas komentar sengit dan menyatakan siap untuk berperang.
Presiden AS, Donald Trump, menegaskan bahwa Negeri Adidaya sudah mengisi dan mengokang senjata alias siap menyerbu Iran.
Amarali Hajizadeh, Kepala Staff Angkatan Udara Garda Revolusioner Iran, membalas dengan mengatakan pangkalan AS di Timur Tengah masuk dalam jangkauan misil mereka.
"Semua orang harus tahu bahwa seluruh basis pangkalan AS dan kapal induk mereka dalam jarak lebih dari 2.000 km di sekitar Iran masuk dalam cakupan misil kami. Iran selalu siap untuk perang dalam skala penuh," tegasnya, seperti diwartakan Reuters.
Namun belakangan Presiden Trump mengatakan tidak ingin berperang dengan Iran. Pasalnya peperangan bakal melambungkan harga minyak dan menambah kekhawatiran pasar soal konflik Timur Tengah.
"Saya seseorang yang tidak suka berperang," tegas Trump sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (17/9/2019).
Gejolak yang terjadi di Timur Tengah membuat harga minyak mentah diprediksi terus akan meningkat. Analis dari Goldman Sachs mengatakan jika produksi minyak Arab Saudi belum pulih dalam enam pekan ke depan, maka harga minyak Brent akan mencapai US$ 75 per barel, sebagaimana dilansir CNBC International.
Masih berdasarkan pemberitaan CNBC International, harga minyak mentah bahkan diprediksi mencapai level US$ 100 per barel jika Perang Teluk sampai terjadi lagi. Analis dari Again Capital, John Kilduff, mengatakan jika terjadi eskalasi di Timur Tengah dan menjadi perang maka harga minyak mentah akan menuju US$ 100 per barel.
Kenaikan harga minyak mentah bukan kabar bagus bagi Indonesia, beban impor akan membengkak. Data yang dirilis BPS Senin kemarin menunjukkan surplus neraca dagang, berkat surplus di sektor non-migas. Dari sektor migas masih mengalami defisit US$ 755,1 juta.
Defisit tersebut bisa membengkak jika harga minyak mentah terus terbang tinggi, dampaknya neraca dagang berpotensi mengalami defisit lagi, dan tentunya akan berdampak defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang selama ini menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia.
Di tengah kondisi Timur Tengah yang memanas, terselip kabar bagus dari rencana perundingan dagang AS-China, juga isu dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang membuat pelaku pasar bingung.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Bursa saham AS berakhir menguat pada perdagangan Selasa. Meski demikian perjalanannya tidak mudah, Wall Street membuka perdagangan di zona merah, sebelum perlahan merangkak naik.
Indeks Dow Jones menguat 0,13% ke level 27.110,80, S&P 500 naik 0,26% ke 3.005,70, dan Nasdaq memimpin dengan naik 0,4% ke level 8.186,01.
Suplai minyak global yang akan segera pulih kembali menjadi sentimen positif bagi Wall Street. Menteri Energi Arab Saudi, Pangeran Abdulaziz bin Salman, mengatakan produksi minyak Arab Saudi akan kembali normal di akhir September.
Serangan pesawat drone di akhir pekan lalu membuat tingkat produksi salah satu eksportir minyak terbesar di dunia tersebut sedang berkurang sebanyak 5,7 juta barel/hari, jumlah tersebut lebih dari separuh produksi Negeri Gurun Pasir. Angka 5,7 juta barel/hari juga sekira 5% produksi dunia.
Pulihnya produksi minyak Arab Saudi tentunya bisa mengembalikan harga minyak ke level "normal", setelah naik lebih dari 10% pada Senin kemarin. Di tengah kondisi ekonomi global yang sedang melambat, harga minyak yang semakin mahal akan semakin memperparah pelambatan ekonomi.
Harga minyak mentah jenis Brent pada perdagangan Selasa melemah lebih dari 6% sementara jenis West Texas Intermediate (WTI) turun lebih dari 5%. Kedua jenis minyak mentah tersebut di awal pekan menguat masing-masing 13% dan 12%.
Bursa saham AS mendapat momentum penguatan setelah Presiden Trump mengatakan kesepakatan dagang AS-China akan segera terjadi. Trump mengatakan China membeli produk pertanian AS dalam jumlah besar, dan menyatakan kesepakatan dagang kemungkinan akan tercapai sebelum Pemilu di AS tahun 2020, atau sehari setelahnya.
Dari sisi data ekonomi, produksi industri AS naik signifikan 0,6% month-on-month dari bulan sebelumnya yang turun 0,1%. Data ini melengkapi beberapa data bagus yang diriliis pekan lalu, seperti penjualan ritel, yang menambah sentimen positif ke bursa saham.
Selain itu, investor saat ini tengah menanti hasil rapat kebijakan The Fed, yang membuat kenaikan Wall Street menjadi terbatas.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Kabar bagus berhembus dari Negeri Tiongkok. Perundingan dagang dengan AS yang dinanti-nanti pelaku pasar sebentar lagi akan terlaksana. Sepanjang pekan lalu AS-China memang menebar sentimen positif ke pasar global setelah kedua belah pihak saling menunda kenaikan tarif impor dan berencana untuk melakukan perundingan dagang.
Presiden Trump bahkan membuka peluang untuk melakukan kesepakatan dagang sementara dengan China.
Perkembangan teranyar Selasa kemarin, CCTV selaku media yang dimiliki oleh pemerintah China mengabarkan bahwa delegasi setingkat wakil menteri akan bertandang ke Washington pada pekan ini guna mendiskusikan permasalahan terkait perdagangan dan ekonomi, dilansir dari CNBC International. Menurut CCTV, pertemuan tersebut diinisiasi oleh AS. Wakil Menteri Keuangan China Liao Min disebut akan memimpin delegasi setingkat wakil menteri tersebut.
Melansir CNBC International, waktu pasti terkait dengan pertemuan kedua negara belumlah jelas: pemberitaan dari CCTV menyebut bahwa delegasi China akan menyambangi AS pada hari Rabu (18/9/2019), sementara pemberitaan dari Reuters yang melansir pejabat pemerintahan AS menyebut bahwa perbincangan akan digelar pada hari Kamis (19/9/2019).
Kepastian pertemuan kedua negara tentunya akan memberikan sentimen positif lagi ke pasar finansial, harapan akan adananya damai dagang tentunya kembali membuncah.
Namun, di sisi lain ada kejutan baru datang dari Negeri Paman Sam. Ada kemungkinan The Fed tidak akan memangkas suku bunga pada Kamis pukul 1:00 WIB dini hari.
Piranti FedWatch milik CME Group pagi ini menunjukkan pelaku pasar melihat probabilitas The Fed memangkas suku bunga 25 basis poin (bps) menjadi 1,75%-2% sebesar 51,9%, turun dari Selasa malam sebesar 61,2%. Bahkan pada pekan lalu, probabilitas tersebut lebih dari 90%.
Ini berarti terjadi perubahan yang cukup drastis di benak para pelaku pasar.
 Grafik: Probabilitas Suku Bunga The Fed Sumber: CME Group |
Kenaikan harga minyak mentah tentunya akan berdampak pada naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) di AS, dan bisa berdampak pada kenaikan inflasi. Hal inilah yang membuat pelaku pasar memperkirakan The Fed mungkin tidak akan memangkas suku bunga pada Kamis (19/9/19) pukul 1:00 WIB nanti.Kenaikan tajam harga minyak mentah menjadi penyebab perubahan peta kekuatan tersebut, selain juga beberapa data ekonomi dari AS yang cukup bagus serta ekspektasi adanya kesepakatan dagang sementara AS dengan China.
Inflasi merupakan salah satu acuan The Fed dalam memangkas suku bunga. The Fed berpeluang menahan suku bunganya akan inflasi di AS tidak melesat terlalu tinggi akibat kombinasi kenaikan harga BBM dan pemangkasan suku bunga.
Seandainya The Fed tidak memangkas suku bunga, ekonomi Paman Sam akan kurang stimulus , kecemasan akan terjadinya resesi di AS berpotensi semakin meningkat. Saat ini saja para potensi terjadinya resesi menurun para manajer investasi berada di level tertinggi salam 10 tahun terakhir.
Melansir berita CNBC International, hasil survei Manajer Investasi Bank of America Merril Lynch pada periode 6 sampai 12 September menunjukkan 38% melihat resesi akan terjadi dalam satu tahun ke depan. Persentase tersebut naik dari sebelumnya sebesar 34%.
Survei yang tersebut dilakukan saat AS-China sedang mesra, dan ada rencana untuk melakukan perundingan dagang, serta probabilitas pemangkasan suku bunga The Fed masih di atas 90%.
Sentimen yang beragam tersebut membuat peluang penguatan rupiah, IHSG, dan obligasi kecil meski tidak tertutup.
Investor kemungkinan akan mengambil sikap wait and see menunjukkan kebijakan The Fed pada hari ini. Apalagi besok setelah The Fed, Bank Sentral Jepang, Bank Indonesia, dan Bank Sentral Inggris berturut-turut akan mengumumkan suku bunga, sehingga menjadi "Super Thursday" bagi pasar finansial.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data neraca dagang Jepang (6:50 WIB).
- Rilis data infasi Inggris (15:30 WIB)
- Rilis data inflasi final zona euro (16:00 WIB)
- Pengumuman suku bunga The Fed (Kamis, 01:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q2-2019 YoY) | 5,05% |
Inflasi (Agustus 2019 YoY) | 3,49% |
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Agustus 2019) | 5,5% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Q2-2019) | -3,04% PDB |
Neraca pembayaran (Q2-2019) | -US$ 1,98 miliar |
Cadangan devisa (Agustus 2019) | US$ 126,4 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA