
Newsletter
Huftt! Bukan Ceria, Melainkan September Kelabu Buat Indonesia
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
04 September 2019 06:25

Beralih ke bursa saham utama AS, tiga indeks utama Wall Street kompak ditutup melemah pada perdagangan pertama bulan September, setelah dua kekuatan ekonomi terbesar dunia saling mengenakan tarif baru dan data manufaktur yang lemah semakin menekan sentimen investor.
Data pasar menunjukkan indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup anjlok 1,1% ke level 25.118,02 poin, indeks S&P 500 melemah 0,7% menjadi 2.906,27 poin, sedangkan Nasdaq terkoreksi 1,1% ke level 7.874,16 poin.
Pada 1 September, AS memberlakukan tarif sebesar 15% kepada berbagai produk importasi asal China senilai US$ 125 miliar, sedangkan Negeri Tiongkok juga mengenakan tarif tambahan sekitar 5-10% untuk produk Made in USA, termasuk di antaranya adanya minyak mentah.
Ini menjadi yang pertama kali China memberlakukan bea masuk pada emas hitam asal AS setelah kurang lebih satu tahun kedua negara memulai perang dagang.
"Itu menambah kekhawatiran terkait apakah terdapat jalan untuk (mencapai) negosiasi," ujar Quincy Krosby, Chief Market Strategist di Prudential Financial, dikutip dari CNBC International.
Di saat yang sama, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa delegasi dari AS dan China masih merencanakan dialog dagang lanjutan bulan ini, meskipun ketegangan antara kedua negara sedang meningkat.
Lebih lanjut, situasi tensi dagang semakin meningkat kala Beijing mengirimkan pengaduan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait pemberlakuan bea masuk dari AS.
Negeri Tiongkok mengklaim bahwa tarif tambahan telah melanggar konsensus yang dicapai oleh pemimpin kedua negara saat bertemu di Osaka (Jepang) akhir Juni silam.
Pada dasarnya, ekskalasi perang dagang antara China dan AS yang terjadi sepanjang bulan Agustus berkontribusi pada penurunan yang cukup dalam pada bursa saham acuan di Wall Street.
Tiga indeks utama membukukan kinerja bulanan terburuk sejak Mei, dimana indeks DJIA dan S&P 500 terkoreksi masing-masing 1,7% dan 1,8% sepanjang bulan lalu. Sedangkan Nasdaq tercatat anjlok 2,6%.
Di lain pihak, bursa saham Wall Street juga tertekan dan sempat anjlok hingga 1,6% kala rilis data PMI manufaktur AS bulan Agustus versi ISM (Institute for Supply Management) mencatatkan kontraksi untuk pertama kalinya sejak Januari 2016, dilansir CNBC International.
Angka PMI manufaktur tercatat hanya sebesar 49,1 poin, lebih rendah dari konsensus pasar yang memproyeksi di level 51,1 poin, dilansir dari Trading Economics. Kontraksi tersebut disebabkan penurunan signifikan pada indeks pesanan baru dan indeks ketenagakerjaan.
Untuk diketahui angka PMI di bawah 50 menunjukkan kontraksi atau memburuknya aktivitas bisnis. Sementara di atas 50 menunjukkan peningkatan aktivitas atau ekspansi.
Sementara itu, krisis politik yang melanda Negeri Ratu Elisabeth turut berkontribusi menambah kekhawatiran pelaku pasar. Pasalnya, kisruh politik yang memanas antara anggota parlemen Inggris dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson langsung menghantam poundsterling, hingga mendekati level terlemah 34 tahun pada perdagangan kemarin.
(BERLANJUT KE HALAMAN TIGA) (dwa/dwa)
Data pasar menunjukkan indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup anjlok 1,1% ke level 25.118,02 poin, indeks S&P 500 melemah 0,7% menjadi 2.906,27 poin, sedangkan Nasdaq terkoreksi 1,1% ke level 7.874,16 poin.
Pada 1 September, AS memberlakukan tarif sebesar 15% kepada berbagai produk importasi asal China senilai US$ 125 miliar, sedangkan Negeri Tiongkok juga mengenakan tarif tambahan sekitar 5-10% untuk produk Made in USA, termasuk di antaranya adanya minyak mentah.
Ini menjadi yang pertama kali China memberlakukan bea masuk pada emas hitam asal AS setelah kurang lebih satu tahun kedua negara memulai perang dagang.
"Itu menambah kekhawatiran terkait apakah terdapat jalan untuk (mencapai) negosiasi," ujar Quincy Krosby, Chief Market Strategist di Prudential Financial, dikutip dari CNBC International.
Di saat yang sama, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa delegasi dari AS dan China masih merencanakan dialog dagang lanjutan bulan ini, meskipun ketegangan antara kedua negara sedang meningkat.
Lebih lanjut, situasi tensi dagang semakin meningkat kala Beijing mengirimkan pengaduan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait pemberlakuan bea masuk dari AS.
Negeri Tiongkok mengklaim bahwa tarif tambahan telah melanggar konsensus yang dicapai oleh pemimpin kedua negara saat bertemu di Osaka (Jepang) akhir Juni silam.
Pada dasarnya, ekskalasi perang dagang antara China dan AS yang terjadi sepanjang bulan Agustus berkontribusi pada penurunan yang cukup dalam pada bursa saham acuan di Wall Street.
Tiga indeks utama membukukan kinerja bulanan terburuk sejak Mei, dimana indeks DJIA dan S&P 500 terkoreksi masing-masing 1,7% dan 1,8% sepanjang bulan lalu. Sedangkan Nasdaq tercatat anjlok 2,6%.
Di lain pihak, bursa saham Wall Street juga tertekan dan sempat anjlok hingga 1,6% kala rilis data PMI manufaktur AS bulan Agustus versi ISM (Institute for Supply Management) mencatatkan kontraksi untuk pertama kalinya sejak Januari 2016, dilansir CNBC International.
Angka PMI manufaktur tercatat hanya sebesar 49,1 poin, lebih rendah dari konsensus pasar yang memproyeksi di level 51,1 poin, dilansir dari Trading Economics. Kontraksi tersebut disebabkan penurunan signifikan pada indeks pesanan baru dan indeks ketenagakerjaan.
Untuk diketahui angka PMI di bawah 50 menunjukkan kontraksi atau memburuknya aktivitas bisnis. Sementara di atas 50 menunjukkan peningkatan aktivitas atau ekspansi.
Sementara itu, krisis politik yang melanda Negeri Ratu Elisabeth turut berkontribusi menambah kekhawatiran pelaku pasar. Pasalnya, kisruh politik yang memanas antara anggota parlemen Inggris dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson langsung menghantam poundsterling, hingga mendekati level terlemah 34 tahun pada perdagangan kemarin.
(BERLANJUT KE HALAMAN TIGA) (dwa/dwa)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular