Newsletter

Berharap Jackson Hole Tak Salah Diagnosa Virus Resesi Dunia

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
23 August 2019 07:00
Berharap Jackson Hole Tak Salah Diagnosa Virus Resesi Dunia
Jakarta, CNBC Indonesia--Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali melemah sebesar 0,22% ke 6.239, pada Kamis (22/08/2019) kemarin, meski Bank Indonesia (BI) memberikan kejutan dengan menurunkan suku bunga acuan BI 7 Day RR sebanyak 25 basis poin (bp) menjadi 5,5%. 

IHSG memulai perdagangan dengan menguat 0,07%. Hanya bertahan beberapa menit, IHSG terjun bebas ke zona merah. Setelah BI mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang menurunkan suku bunga acuannya, IHSG mencoba berbalik arah ke zona hijau hingga mencapai level tertingginya di 6.265 (+0,21%).

Sayang, penguatan itu tak lama dan IHSG berangsur-angsur balik lagi masuk zona merah hingga sesi penutupan menyusul aksi jual investor asing yang mencatatkan jual bersih (net sell) mencapai Rp 239 miliar di pasar reguler.


Koreksi ini mengindikasikan bahwa kejutan BI tersebut tidak cukup membalik optimisme investor asing. Aksi pangkas BI 7-Day Reverese Repo Rate ke 5,5% yang mengejutkan itu memang bertentangan dengan median konsensus pasar yang menginginkan bunga acuan ditahan.

Apalagi ada sentimen negatif yang membekap saham perbankan BUMN menyusul rencana penggantian direksi oleh Menteri BUMN Rini Soemarno yang bertentangan dengan instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Namun, asing terindikasi masih betah di Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat tipis di perdagangan pasar spot. US$ 1 dibanderol Rp 14.230 kala penutupan pasar spot. Rupiah menguat 0,04% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Pemodal terindikasi mengalihkan dananya ke pasar obligasi terlebih dahulu, sehingga harga obligasi rupiah pemerintah menguat signifikan dan berujung pada penurunan imbal hasil (yield), senada dengan apresiasi di pasar surat utang pemerintah negara berkembang lain.


Seri acuan surat berharga negara (SBN) yang paling menguat adalah FR0078 yang bertenor 10 tahun dengan penurunan yield 8,2 basis poin (bps) menjadi 7,23%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Sikap BI yang agresif memangkas bunga acuan dan memilih berorientasi pada pertumbuhan tersebut dinilai tidak berimbas pada imbal hasil (yield) di Indonesia. Gubernur BI Perry Warjiyo meyakini bahwa selisih spread imbal hasil obligasi Indonesia masih lebih kompetitif dibandingkan dengan negara lain.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Bursa saham Amerika Serikat (AS) ditutup menguat tipis pada penutupan Kamis, menjelang agenda tahunan bank sentral AS di mana pasar bertaruh The Federal Reserve (The Fed) bakal mengirim sinyal pelonggaran moneter lebih agresif.

Indeks Dow Jones Industrial Average ditutup naik 49,51 poin (0,2%) ke 26.252,24 setelah berayun kencang dengan melonjak 186 poin dan terbanting 103,72 poin. Di sisi lain,  indeks S&P 500 tercatat nyaris flat di 2.922,95 sedangkan indeks Nasdaq terkoreksi 0,4% ke 7.991,39. 

Investor kini mengarahkan perhatian mereka pada Jackson Hole, Wyoming di mana pengambil kebijakan AS berkumpul untuk menghadiri symposium tahunan mengenai kebijakan moneter. Perhelatan utama jatuh pada Jumat waktu setempat (Sabtu dini hari WIB) ketika Gubernur The Fed Jerome Powell memberikan pidato kunci.

Menurut piranti FedWatch milik CME Group, pertaruhan pemangkasan suku bunga acuan pada September nanti telah menyentuh angka probabilitas sebesar 93,5%. Pertaruhan itu terjadi di tengah timbul-tenggelamnya kekhawatiran bahwa resesi akan membekap Negara Adidaya tersebut.


Sinyal kekhawatiran pasar akan risiko resesi terlihat dari anjloknya kembali imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun di bawah imbal hasil obligasi bertenor 2 tahun atau membentuk kurva inversi imbal hasil.

Kurva ini terbentuk ketika investor memborong obligasi jangka panjang pemerintah AS (tenor 10 tahun) hingga harganya naik, dan yield-nya terdorong lebih rendah dari yield obligasi jangka pendek (tenor 2 tahun). 

Maklum saja, Presiden AS Donald Trump masih semangat melancarkan perang dagang terhadap China, dan bahkan terhadap beberapa sekutunya, termasuk negara-negara Uni Eropa. Lemahnya data manufaktur AS menambah kekhawatiran. Rilis IHS Markit mencatat aktivitas manufaktur AS terkontraksi bulan ini, atau yang pertama dalam nyaris 10 tahun terakhir.

(BERLANJUT KE HALAMAN 3)  


Resesi adalah penyakit ekonomi, yang polanya cenderung berulang rata-rata 10 tahun sekali. Namun, penyakit ini tentu saja bisa diobati dan bahkan dicegah, asalkan diagnosanya tepat sejak dini.

Kekhawatiran akan resesi ini mengemuka setelah kurva inversi yield terbentuk di pasar obligasi AS. Dalam kurang dari 2 pekan, kurva ini terbentuk sebanyak tiga kali dengan pola inversi terakhir terbentuk pada Kamis lalu, meski hanya sesaat.

Bahkan, ekonom penemu korelasi inversi dan resesi yakni Arturo Estrella, menegaskan bahwa resesi bisa memukul perekonomian lebih cepat dari perkiraan kita. “Sudah 50 tahun berlalu dan 7 resesi tercatat dengan rekor sempurna. Menurut saya, peluang resesi di semester dua tahun depan cukup tinggi,” ujarnya kepada CNBC Interational pada Kamis. 

Kekhawatiran akan resesi ini kemarin mendorong Gubernur BI Pery Warjiyo memangkas suku bunga acuan, demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Meski, harga yang harus dibayar adalah risiko pelemahan rupiah.

Kebijakan ini bakal menguntungkan sektor properti yang sensitif dengan tingkat suku bunga, dan juga perbankan karena memberikan kelonggaran bagi debitor dan calon debitor mereka dari sisi biaya pendanaan (cost of fund) untuk investasi. Cermati saham-saham sektor tersebut sebelum asing masuk lagi ke pasar melakukan aksi borong saham.


Kemarin, Dow Jones memang ditutup di jalur positif. Namun bursa AS tersebut bergerak dalam turbulensi tinggi. Bahkan Indeks Nasdaq ditutup melemah, yang mengindikasikan bahwa pasar kembali dicekam ketidakpastian.

Pelaku pasar di AS kini hanya bisa berharap dari ajang pertemuan otoritas moneter dan keuangan Negara Adidaya tersebut, yang digelar di resor Jackson Hole, Wyoming, AS. Simposium ini diyakini membawa solusi untuk mencegah resesi. Pasar terutama berekspektasi bakal ada pemangkasan suku bunga agresif.

The Fed menjadi satu-satunya tumpuan harapan mengatasi resesi, karena virus resesi yang sebenarnya sungguh tidak tergapai oleh para ekonom dan menteri ekonomi dunia yakni di ranah politik. Kebijakan perang dagang Trump memicu Dana Moneter Internasional (IMF) hingga Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini dan tahun depan.

Virus ini terlihat menular ke negara lain, hingga beberapa negara ikut menabuh genderang perang mulai dari Jepang, Korea Selatan (Korsel), negara-negara Uni Eropa, hingga India. Indikasi kian ganasnya virus ini terlihat di Paris kemarin, dengan forum G7--untuk pertama kali dalam sejarahnya selama 44 tahun--berakhir deadlock, tanpa kesepakatan.

Menurut riset Credit Suisse, dalam 40 tahun terakhir resesi memukul perekonomian dengan tenggat waktu rata-rata 22 bulan sejak kurva inversi terbentuk. Artinya, masih ada waktu untuk mencegah resesi terjadi.

Oleh karena itu, para "dokter" kini berkumpul di Jackson Hole berusaha menyiapkan resep moneter dan fiskal untuk mengatasi gejala resesi. Namun kita tahu di mana virus itu bercokol yang memicu perlambatan ekonomi Negara Sam tersebut dan juga negara maju lainnya.

Apakah resep dari Jackson Hole itu bakal tepat sasaran? Ataukah lagi-lagi hanya bertindak sebagai pereda rasa nyeri saja, dan tak bisa membunuh virus resesi yang bercokol di ranah politik tadi? 

(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah data dan agenda yang terjadwal untuk hari ini:
  • Inflasi Jepang (06:00 WIB)
  • Pidato Gubernur Fed Jerome Powell (21.00 WIB)
  • Rilis penjualan rumah baru AS per Juli (21:00 WIB)
  • Simposium Jackson Hole.

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2019 YoY)5,05%
Inflasi (Juli 2019 YoY)3,32%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2019)5,75%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2019)-3,04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2019)-US$ 1,98 miliar
Cadangan devisa (Juli 2019)US$ 125,9 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular