
Newsletter
Huft...!!! Semoga Ada Keajaiban di Pasar Keuangan Hari ini
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
06 August 2019 06:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Awan kelabu telah menghampiri pasar keuangan dalam negeri kemarin. Pada penutupan sesi perdagangan hari Senin (5/8/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 2,59%, rupiah melemah 0,53%, dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor acuan 10 tahun naik 8,9 basis poin.
Khusus IHSG, pelemahan harian tersebut merupakan yang paling dalam sejak September 2018. Perlu diketahui bahwa pergerakan harga dan yield di pasar obligasi akan berbanding terbalik. Kala yield naik, artinya harga sedang turun karena marak aksi jual. Berlaku pula sebaliknya.
Nasib IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei ambruk 1,74%, indeks Shanghai melemah 1,62%, indeks Hang Seng anjlok 2,85%, indeks Straits Times turun 1,94%, dan indeks Kospi terkoreksi 2,56%.
Dari dalam negeri, sentimen negatif datang dari rilis angka pertumbuhan ekonomi. Sepanjang kuartal II-2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) RI atas harga konstan hanya mampu tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Meskipun sudah sesuai dengan ekspektasi analis, pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 melambat dari kuartal sebelumnya yang sebesar 5,07% YoY. Bahkan pertumbuhan ekonomi yang dibacakan kali ini merupakan yang paling rendah sejak kuartal II-2017 atau dua tahun lalu.
Padahal kalau boleh dibilang, ada banyak agenda yang bisa dimanfaatkan untuk mendongkrak perekonomian. Contohnya Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif yang jatuh pada bulan April. Selain itu ada pula bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri pada Mei dan Juni.
Agenda-agenda tersebut punya kekuatan untuk meningkatkan konsumsi masyarakat. Sebagai informasi, perekonomian Indonesia saat ini masih didominasi oleh konsumsi rumah tangga dengan porsi lebih dari 50% terhadap PDB.
Kini sejarah telah mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi RI melambat dalam dua kuartal berturut-turut. Lantas bagaimana nasib target pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sebesar 5,4% yang telah dibidik oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)?
Tampaknya akan semakin sulit untuk tercapai. Berkaca pada catatan sejarah yang lebih lawas, pemerintah dengan jelas menulis target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2017. Namun di akhir tahun, rakyat terpaksa dibuat kecewa dengan capaian pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,07%.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini sudah begitu skeptis dalam memandang perekonomian Indonesia. Beberapa sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang solid, sulit rasanya untuk membangkitkan gairah investor asing untuk masuk ke pasar keuangan dalam negeri.
Tak heran investor asing buru-buru kabur dari bursa saham Indonesia. Hingga akhir penutupan sesi dua, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 1,09 triliun di pasar reguler.
Yah, walaupun harus diakui bahwa ada faktor eksternal yang ikut menjadi pemicu aksi jual investor. Daya tarik investor pada aset-aset berisiko masih minim akibat risiko eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS)-China yang kian membuncah.
Akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump melalui cuitan di Twitter menebar ancaman bakal menerapkan bea masuk 10% bagi importasi produk-produk asal China senilai US$ 300 miliar. Kebijakan tersebut rencananya berlaku mulai 1 September.
Pengumuman dari Trump ini datang pasca dirinya melakukan rapat dengan Menteri keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer terkait dengan hasil negosiasi di Shanghai pada pekan kemarin.
Seorang sumber yang berhasil dimintai keterangan oleh Wall Street Journal (WSJ) mengatakan bahwa dalam rapat tersebut, hampir seluruh penasihat Trump menolak keputusan pengenaan tarif baru.
Beberapa nama yang disebut turut hadir di Oval Office adalah penasihat keamanan nasional, John Bolton, penasihat ekonomi, Larry Kudlow, dan pelaksana tugas Kepala Staff Kepresidenan, Mick Mulvaney, dan penasihat perdagangan, Peter Navaro.
Kecuali Navaro, seluruh penasihat Trump menolak keputusan pengenaan tarif baru terhadap produk China. Namun apa daya, Trump tetap bersikukuh untuk menabuh genderang 'perang' baru. Akhirnya pada penasihat Trump terpaksa ikut membantu untuk menulis cuitan yang membuat pasar keuangan bergetar.
Kini komando perang dagang hanya milik Trump seorang, yang sayangnya mewakili suara rakyat AS.
Reaksi China? Mudah ditebak.
"Jika AS benar mengeksekusi bea masuk tersebut maka China harus meluncurkan kebijakan balasan yang diperlukan guna melindungi kepentingan-kepentingan kami yang mendasar," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying, dilansir dari Reuters.
Dalam kondisi penuh risiko seperti ini, bermain aman agaknya memang merupakan langkah bijak. Investor bayak mengalihkan aset-asetnya ke bentuk safe haven, seperti emas.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Pertama, perkembangan dari perang dagang AS-China. Sebelumnya telah disampaikan oleh Menteri Perdagangan China bahwa Negeri Tirai Bambu telah berhenti membeli produk pertanian asal AS.
Hal itu semakin membuat pelaku pasar yakin bahwa kesepakatan dagang AS-China sudah semakin jauh. Bila tidak ada kesepakatan hingga tanggal 1 September 2019, tarif baru (10%) atas produk impor asal China senilai US$ 200 miliar (yang sebelumnya bukan objek perang dagang) sudah siap untuk diberlakukan oleh pemerintah AS.
Sentimen ini boleh jadi menurunkan minat investor pada aset-aset berisiko.
Kedua, kelanjutan dari perang mata uang. Sebagaimana yang telah diketahui, sebelum sesi perdagangan kemarin dibuka, Bank Sentral China (People Bank of China/PBOC) menetapkan nilai tengah mata uangnya di level CNY 6,922/US$ yang merupakan terendah sejak 3 Desember 2018. Sementara pada akhir perdagangan kemarin kurs yuan ditutup pada level CNY 7,03/US$ yang merupakan posisi paling lemah sejak Maret 2008.
Beberapa pihak takut bahwa China sengaja melakukan itu untuk mendorong ekspor karena harga produk yang jadi relatif lebih murah bagi pemegang mata uang lain.
Jika hari ini PBOC kembali menetapkan nilai tengah kurs yuan yang semakin rendah, maka dugaan pelaku pasar akan semakin terkonfirmasi. Akan ada gelombang pelemahan yuan yang bisa jadi membuat otoritas moneter di berbagai negara bereaksi.
Bukan tidak mungkin negara-negara lain ikut mengambil langkah demi melemahkan mata uangnya.
Diterpa ancaman global perekonomian global baru seperti ini, tentu saja derajat ketidakpastian kian membuncah. Dalam kondisi tersebut, investor semakin enggan untuk 'bermain' di aset-aset berisiko dan lebih memilih safe haven.
Ketiga, harga minyak amblas lebih dari 2% akibat risiko perlambatan ekonomi global yang didorong oleh eskalasi perang dagang.
Pada penutupan sesi perdagangan Senin (5/8/2019) harga minyak Brent anjlok 3,36% sementara light sweet (West Texas Intermediate/WTI) jatuh 1,74%. Bahkan harga Brent sudah hampir meninggalkan level US$ 60/barel.
Bagi Indonesia, pelemahan harga minyak punya dampak positif. Aliran valas yang keluar untuk membiayai impor minyak semakin kecil.
Karena hingga saat ini Indonesia masih menjadi negara net-importir minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Akibatnya, neraca transaksi berjalan (current account) bisa sedikit terbantu. Defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang selalu menghiasi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dapat ditekan dan memberi fondasi bagi rupiah.
Keempat, Bank Indonesia (BI) pada hari ini dijadwalkan merilis angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia periode Juli 2019. Nilai IKK akan menandakan persepsi konsumen Indonesia akan kondisi perekonomian nasional.
Bila konsumen masih tetap optimis, atau bahkan semakin meningkat, maka besar kemungkinan tingkat konsumsi masyarakat dapat terjaga, di tengah gejolak perekonomian global.
Konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama perekonomian RI. Kalau konsumsi bagus, artinya perekonomian Indonesia bisa bertahan. Sesuatu poin positif yang bisa menarik minat investor asing untuk masuk ke pasar keuangan dalam negeri.
Namun, bila yang terjadi adalah sebaliknya, akan semakin banyak alasan bagi investor untuk melarikan diri, seperti yang terjadi kemarin di mana investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 1,09 triliun di pasar saham reguler.
BERLANJUT KE HALAMAN 4>>> Berikut peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Inflasi AS Hingga Suku Bunga BI Siap Guncang Pasar Pekan Ini
Khusus IHSG, pelemahan harian tersebut merupakan yang paling dalam sejak September 2018. Perlu diketahui bahwa pergerakan harga dan yield di pasar obligasi akan berbanding terbalik. Kala yield naik, artinya harga sedang turun karena marak aksi jual. Berlaku pula sebaliknya.
Nasib IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei ambruk 1,74%, indeks Shanghai melemah 1,62%, indeks Hang Seng anjlok 2,85%, indeks Straits Times turun 1,94%, dan indeks Kospi terkoreksi 2,56%.
Dari dalam negeri, sentimen negatif datang dari rilis angka pertumbuhan ekonomi. Sepanjang kuartal II-2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) RI atas harga konstan hanya mampu tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Meskipun sudah sesuai dengan ekspektasi analis, pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 melambat dari kuartal sebelumnya yang sebesar 5,07% YoY. Bahkan pertumbuhan ekonomi yang dibacakan kali ini merupakan yang paling rendah sejak kuartal II-2017 atau dua tahun lalu.
Padahal kalau boleh dibilang, ada banyak agenda yang bisa dimanfaatkan untuk mendongkrak perekonomian. Contohnya Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif yang jatuh pada bulan April. Selain itu ada pula bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri pada Mei dan Juni.
Agenda-agenda tersebut punya kekuatan untuk meningkatkan konsumsi masyarakat. Sebagai informasi, perekonomian Indonesia saat ini masih didominasi oleh konsumsi rumah tangga dengan porsi lebih dari 50% terhadap PDB.
Kini sejarah telah mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi RI melambat dalam dua kuartal berturut-turut. Lantas bagaimana nasib target pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sebesar 5,4% yang telah dibidik oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)?
Tampaknya akan semakin sulit untuk tercapai. Berkaca pada catatan sejarah yang lebih lawas, pemerintah dengan jelas menulis target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2017. Namun di akhir tahun, rakyat terpaksa dibuat kecewa dengan capaian pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,07%.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini sudah begitu skeptis dalam memandang perekonomian Indonesia. Beberapa sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang solid, sulit rasanya untuk membangkitkan gairah investor asing untuk masuk ke pasar keuangan dalam negeri.
Tak heran investor asing buru-buru kabur dari bursa saham Indonesia. Hingga akhir penutupan sesi dua, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 1,09 triliun di pasar reguler.
Yah, walaupun harus diakui bahwa ada faktor eksternal yang ikut menjadi pemicu aksi jual investor. Daya tarik investor pada aset-aset berisiko masih minim akibat risiko eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS)-China yang kian membuncah.
Akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump melalui cuitan di Twitter menebar ancaman bakal menerapkan bea masuk 10% bagi importasi produk-produk asal China senilai US$ 300 miliar. Kebijakan tersebut rencananya berlaku mulai 1 September.
Pengumuman dari Trump ini datang pasca dirinya melakukan rapat dengan Menteri keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer terkait dengan hasil negosiasi di Shanghai pada pekan kemarin.
Seorang sumber yang berhasil dimintai keterangan oleh Wall Street Journal (WSJ) mengatakan bahwa dalam rapat tersebut, hampir seluruh penasihat Trump menolak keputusan pengenaan tarif baru.
Beberapa nama yang disebut turut hadir di Oval Office adalah penasihat keamanan nasional, John Bolton, penasihat ekonomi, Larry Kudlow, dan pelaksana tugas Kepala Staff Kepresidenan, Mick Mulvaney, dan penasihat perdagangan, Peter Navaro.
Kecuali Navaro, seluruh penasihat Trump menolak keputusan pengenaan tarif baru terhadap produk China. Namun apa daya, Trump tetap bersikukuh untuk menabuh genderang 'perang' baru. Akhirnya pada penasihat Trump terpaksa ikut membantu untuk menulis cuitan yang membuat pasar keuangan bergetar.
Kini komando perang dagang hanya milik Trump seorang, yang sayangnya mewakili suara rakyat AS.
Reaksi China? Mudah ditebak.
"Jika AS benar mengeksekusi bea masuk tersebut maka China harus meluncurkan kebijakan balasan yang diperlukan guna melindungi kepentingan-kepentingan kami yang mendasar," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying, dilansir dari Reuters.
Dalam kondisi penuh risiko seperti ini, bermain aman agaknya memang merupakan langkah bijak. Investor bayak mengalihkan aset-asetnya ke bentuk safe haven, seperti emas.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Tiga indeks utama Wall Street anjlok parah sekaligus menandai koreksi paling dalam sepanjang tahun berjalan 2019 pada sesi perdagangan Senin (5/8/2019).
Hal tersebut terjadi setelah eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS)-China melebar menjadi perang mata uang (currency war). Hal itu ditandai dengan pelemahan yuan yang sangat tajam.
Dow Jones Industrial Average (DJIA) amblas 2,9%, S&P 500 runtuh 2,98%, dan Nasdaq Composite terjun 3,47%.
Investor global dibuat semakin cemas dengan perkembangan perang dagang dua raksasa ekonomi dunia. Setelah Trump mengancam pengenaan tarif baru yang akan berlaku 1 September nanti, pemerintah China disinyalir 'memainkan' mata uangnya.
Hal itu terjadi sebelum sesi perdagangan kemarin dibuka, di mana Bank Sentral China (People Bank of China/PBOC) menetapkan nilai tengah mata uang di level CNY 6,922/US$ yang merupakan terendah sejak 3 Desember 2018. Sementara pada akhir perdagangan kemarin kurs yuan ditutup pada level CNY 7,03/US$ yang merupakan posisi paling lemah sejak Maret 2008.
Di China, pergerakan nilai mata uang tidak murni hanya karena mekanisme pasar. PBOC punya wewenang untuk menetapkan nilai tengah yuan di setiap sesi perdagangan. Dengan cara tersebut, otoritas moneter dapat mengatur batas pergerakan kurs yuan.
Ada kemungkinan hal itu dilakukan untuk memperkuat ekspor China. Karena ketika yuan melemah, harga produk-produk asal Negeri Tirai Bambu menjadi relatif lebih murah bagi pemegang mata uang lain. Alhasil harga ekspor akan lebih kompetitif di pasar global.
Jadi, walaupun sulit masuk ke AS karena ada bea impor yang tinggi, barang-barang 'murah' asal China akan lebih mudah menembus pasar di negara-negara lain.
Beberapa analis bahkan memperkirakan pelemahan yuan akan terus berlanjut dan menembus level CNY 7,3/US$, seperti dikutip dari Reuters.
Trump dibuat geram dengan langkah yang diambil oleh pemerintah China, yang lagi-lagi dituangkan melalui cuitan di Twitter.
"China melemahkan mata uang mereka ke level terendah hampir sepanjang sejarah. Ini disebut 'manipulasi mata uang'. Apakah Anda mendengarkan, wahai Federal Reserve? Ini adalah pelanggaran besar yang akan sangat melemahkan China dari waktu ke waktu!" tulis Trump melalui akun Twitter @realDonaldTrump.
Masih belum jelas langkah apa yang akan diambil oleh Washington selanjutnya. Namun jika kemudian banyak negara lain melakukan hal serupa (melemahkan mata uang demi menggenjot ekspor), maka terjadilah apa yang disebut perang mata uang.
Devaluasi kompetitif seperti ini sangat tidak sehat dan berisiko menjadi ancaman baru bagi perekonomian global.
Semakin memperburuk suasana, pemerintah China juga bereaksi setelah Trump ribut di Twitter.
Semakin memperburuk suasana, pemerintah China juga bereaksi setelah Trump ribut di Twitter.
Menteri Perdagangan China mengatakan perusahaan-perusahaan China telah berhenti membeli produk-produk agrikultur asal AS, dikutip dari Reuters. China juga tidak akan mengesampingkan bea impor atas produk pertanian AS yang dibeli setelah tanggal 3 Agustus 2019.
Langkah China ini berpotensi terus mengeskalasi perang dagang ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Diketahui bahwa China merupakan pembeli terbesar produk-produk pertanian asal AS, seperti kedelai dan jagung. Kala China berhenti membeli produk pertanian AS, maka sesungguhnya pangsa pasar petani Negeri Adidaya akan tergerus cukup banyak.
Sementara para petani merupakan konstituen penting bagi Trump yang akan kembali bertanding dengan Demokrat pada pemilu 2020. Tanpa adanya dukungan dari petani (karena dampak perang dagang), Trump akan semakin sulit untuk menang.
Rasa-rasanya kesepakatan dagang atau yang biasa disebut 'damai dagang' jadi semakin sulit untuk terjadi.
BERLANJUT KE HALAMAN 3>>>
Untuk perdagangan hari ini, Selasa (6/8/2019), ada baiknya investor mencermati sejumlah sentimen yang berpotensi menjadi penentu arah gerak pasar.BERLANJUT KE HALAMAN 3>>>
Pertama, perkembangan dari perang dagang AS-China. Sebelumnya telah disampaikan oleh Menteri Perdagangan China bahwa Negeri Tirai Bambu telah berhenti membeli produk pertanian asal AS.
Hal itu semakin membuat pelaku pasar yakin bahwa kesepakatan dagang AS-China sudah semakin jauh. Bila tidak ada kesepakatan hingga tanggal 1 September 2019, tarif baru (10%) atas produk impor asal China senilai US$ 200 miliar (yang sebelumnya bukan objek perang dagang) sudah siap untuk diberlakukan oleh pemerintah AS.
Sentimen ini boleh jadi menurunkan minat investor pada aset-aset berisiko.
Kedua, kelanjutan dari perang mata uang. Sebagaimana yang telah diketahui, sebelum sesi perdagangan kemarin dibuka, Bank Sentral China (People Bank of China/PBOC) menetapkan nilai tengah mata uangnya di level CNY 6,922/US$ yang merupakan terendah sejak 3 Desember 2018. Sementara pada akhir perdagangan kemarin kurs yuan ditutup pada level CNY 7,03/US$ yang merupakan posisi paling lemah sejak Maret 2008.
Beberapa pihak takut bahwa China sengaja melakukan itu untuk mendorong ekspor karena harga produk yang jadi relatif lebih murah bagi pemegang mata uang lain.
Jika hari ini PBOC kembali menetapkan nilai tengah kurs yuan yang semakin rendah, maka dugaan pelaku pasar akan semakin terkonfirmasi. Akan ada gelombang pelemahan yuan yang bisa jadi membuat otoritas moneter di berbagai negara bereaksi.
Bukan tidak mungkin negara-negara lain ikut mengambil langkah demi melemahkan mata uangnya.
Diterpa ancaman global perekonomian global baru seperti ini, tentu saja derajat ketidakpastian kian membuncah. Dalam kondisi tersebut, investor semakin enggan untuk 'bermain' di aset-aset berisiko dan lebih memilih safe haven.
Ketiga, harga minyak amblas lebih dari 2% akibat risiko perlambatan ekonomi global yang didorong oleh eskalasi perang dagang.
Pada penutupan sesi perdagangan Senin (5/8/2019) harga minyak Brent anjlok 3,36% sementara light sweet (West Texas Intermediate/WTI) jatuh 1,74%. Bahkan harga Brent sudah hampir meninggalkan level US$ 60/barel.
Bagi Indonesia, pelemahan harga minyak punya dampak positif. Aliran valas yang keluar untuk membiayai impor minyak semakin kecil.
Karena hingga saat ini Indonesia masih menjadi negara net-importir minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Akibatnya, neraca transaksi berjalan (current account) bisa sedikit terbantu. Defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang selalu menghiasi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dapat ditekan dan memberi fondasi bagi rupiah.
Keempat, Bank Indonesia (BI) pada hari ini dijadwalkan merilis angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia periode Juli 2019. Nilai IKK akan menandakan persepsi konsumen Indonesia akan kondisi perekonomian nasional.
Bila konsumen masih tetap optimis, atau bahkan semakin meningkat, maka besar kemungkinan tingkat konsumsi masyarakat dapat terjaga, di tengah gejolak perekonomian global.
Konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama perekonomian RI. Kalau konsumsi bagus, artinya perekonomian Indonesia bisa bertahan. Sesuatu poin positif yang bisa menarik minat investor asing untuk masuk ke pasar keuangan dalam negeri.
Namun, bila yang terjadi adalah sebaliknya, akan semakin banyak alasan bagi investor untuk melarikan diri, seperti yang terjadi kemarin di mana investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 1,09 triliun di pasar saham reguler.
BERLANJUT KE HALAMAN 4>>> Berikut peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:
- Rilis pertumbuhan belanja rumah tangga Jepang periode Juni (06:30 WIB)
- Rilis Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia periode Juli (tentatif)
- Rilis data lowongan pekerjaan JOLTs Amerika Serikat (AS) periode Juni (21:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q2-2019 YoY) | 5,05% |
Inflasi (Juli 2019 YoY) | 3,32% |
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Juli 2019) | 5,75% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (1Q-2019) | -2,6% PDB |
Neraca pembayaran (1Q-2019) | US$ 2,42 miliar |
Cadangan devisa (Juni 2019) | US$ 123,8 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Inflasi AS Hingga Suku Bunga BI Siap Guncang Pasar Pekan Ini
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular