
Newsletter
Sudah Siap Hadapi Rilis Pertumbuhan Ekonomi RI Q2-2019?
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
05 August 2019 06:40

Untuk perdagangan awal pekan ini (5/8/2019), investor patut mencermati sejumlah sentimen yang berpotensi menjadi penentu arah gerak pasar.
Pertama, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 pada pukul 11:00 WIB. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekonomi Tanah Air tumbuh 5,05% year-on-year (YoY). Konsensus pasar versi Reuters pun menghasilkan angka serupa.
Jika terwujud, maka ekonomi kuartal II-2019 sedikit melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh 5,07%.
Sementara pada kuartal I-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh di level 5,07% secara tahunan, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19%.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk investor di pasar keuangan. Pasalnya pertumbuhan ekonomi sedikit banyak akan menentukan kinerja para emiten yang ujungnya berdampak pada keuntungan investor.
Apabila Indonesia semakin menampakkan perlambatan ekonominya, maka sulit bagi investor untuk tetap mempertahankan portofolio investasi di Indonesia. Mereka akan mencari 'inang' baru yang lebih menguntungkan.
Kedua, investor juga perlu untuk mencermati perkembangan dari perang dagang AS-China. Sebagaimana yang telah diketahui, China masih belum mengumumkan aksi balasan yang akan diambil atas ancaman pengenaan tarif baru oleh Donald Trump.
Jika benar China naik pitam dan langsung mengumumkan tarif balasan terhadap produk impor asal AS, maka pintu negosiasi akan semakin tertutup. Sekali lagi dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia akan saling hambat urusan perdagangan.
Kala hal itu terjadi, maka seluruh dunia akan merasakan dampaknya. Rantai pasokan global akan terhambat dan memicu perlambatan ekonomi yang semakin parah.
Ketiga, ketegangan yang semakin meningkat di Timur Tengah juga boleh jadi akan menjadi sentimen yang berpengaruh di pasar keuangan Indonesia.
Pada hari Minggu (4/8/2019), Reuters mengabarkan bahwa Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) telah menangkap kapal tanker milik Iraq di perairan Teluk Persia.
"Angkatan Laut IRGC telah menangkap kapal tanker asing di Teluk Persia yang tengah menyelundupkan minyak untuk beberapa negara Arab," ujar komandan IRGC, Ramezan Ziarahi dalam siaran TV nasional, seperti dikutip dari Reuters.
Beberapa waktu lalu, Iran juga telah menangkap kapal tanker berbendera Inggris di Teluk Persia, yang terjadi setelah Angkatan Laut Inggris (Royal Navy) menangkap kapal Iran di Selat Gibraltar.
Ketegangan antara Iran dengan AS dan sekutunya kian membuncah pasca Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir Negeri Persia. Dikhawatirkan, konflik yang sekarang masih terlihat sebagai 'unjuk kekuatan' bisa berkembang menjadi perang terbuka.
Apalagi Iran dikabarkan telah siap untuk menghadapi hal terburuk dalam memperjuangkan kesepakatan nuklir. Negeri Persia masih bersikukuh untuk terus menjalani program pengayaan uranium. Hal itu ditakutkan memicu reaksi negatif dari AS dan sekutunya.
Dalam kondisi yang masih tak pasti, daya tarik investor pada aset-aset berisiko bisa jadi semakin pudar. Maklum, ketidakpastian memang kerap kali menjadi musuh utama dalam berinvestasi.
Selain itu, ketegangan Timur Tengah juga dapat menyebabkan harga minyak mentah dunia melambung tinggi. Tentu bukan kabar yang baik bagi mata uang merah putih, rupiah.
Kala harga minyak kian mahal, maka aliran modal yang keluar untuk membiayai impor semakin besar. Defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) akan semakin sulit diberantas.
BERLANJUT KE HALAMAN 4>>> (taa/taa)
Pertama, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 pada pukul 11:00 WIB. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekonomi Tanah Air tumbuh 5,05% year-on-year (YoY). Konsensus pasar versi Reuters pun menghasilkan angka serupa.
Jika terwujud, maka ekonomi kuartal II-2019 sedikit melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh 5,07%.
Sementara pada kuartal I-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh di level 5,07% secara tahunan, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19%.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk investor di pasar keuangan. Pasalnya pertumbuhan ekonomi sedikit banyak akan menentukan kinerja para emiten yang ujungnya berdampak pada keuntungan investor.
Apabila Indonesia semakin menampakkan perlambatan ekonominya, maka sulit bagi investor untuk tetap mempertahankan portofolio investasi di Indonesia. Mereka akan mencari 'inang' baru yang lebih menguntungkan.
Kedua, investor juga perlu untuk mencermati perkembangan dari perang dagang AS-China. Sebagaimana yang telah diketahui, China masih belum mengumumkan aksi balasan yang akan diambil atas ancaman pengenaan tarif baru oleh Donald Trump.
Jika benar China naik pitam dan langsung mengumumkan tarif balasan terhadap produk impor asal AS, maka pintu negosiasi akan semakin tertutup. Sekali lagi dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia akan saling hambat urusan perdagangan.
Kala hal itu terjadi, maka seluruh dunia akan merasakan dampaknya. Rantai pasokan global akan terhambat dan memicu perlambatan ekonomi yang semakin parah.
Ketiga, ketegangan yang semakin meningkat di Timur Tengah juga boleh jadi akan menjadi sentimen yang berpengaruh di pasar keuangan Indonesia.
Pada hari Minggu (4/8/2019), Reuters mengabarkan bahwa Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) telah menangkap kapal tanker milik Iraq di perairan Teluk Persia.
"Angkatan Laut IRGC telah menangkap kapal tanker asing di Teluk Persia yang tengah menyelundupkan minyak untuk beberapa negara Arab," ujar komandan IRGC, Ramezan Ziarahi dalam siaran TV nasional, seperti dikutip dari Reuters.
Beberapa waktu lalu, Iran juga telah menangkap kapal tanker berbendera Inggris di Teluk Persia, yang terjadi setelah Angkatan Laut Inggris (Royal Navy) menangkap kapal Iran di Selat Gibraltar.
Ketegangan antara Iran dengan AS dan sekutunya kian membuncah pasca Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir Negeri Persia. Dikhawatirkan, konflik yang sekarang masih terlihat sebagai 'unjuk kekuatan' bisa berkembang menjadi perang terbuka.
Apalagi Iran dikabarkan telah siap untuk menghadapi hal terburuk dalam memperjuangkan kesepakatan nuklir. Negeri Persia masih bersikukuh untuk terus menjalani program pengayaan uranium. Hal itu ditakutkan memicu reaksi negatif dari AS dan sekutunya.
Dalam kondisi yang masih tak pasti, daya tarik investor pada aset-aset berisiko bisa jadi semakin pudar. Maklum, ketidakpastian memang kerap kali menjadi musuh utama dalam berinvestasi.
Selain itu, ketegangan Timur Tengah juga dapat menyebabkan harga minyak mentah dunia melambung tinggi. Tentu bukan kabar yang baik bagi mata uang merah putih, rupiah.
Kala harga minyak kian mahal, maka aliran modal yang keluar untuk membiayai impor semakin besar. Defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) akan semakin sulit diberantas.
BERLANJUT KE HALAMAN 4>>> (taa/taa)
Next Page
Berikut Agenda dan Data Hari Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular