Newsletter

Sudah Siap Hadapi Rilis Pertumbuhan Ekonomi RI Q2-2019?

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
05 August 2019 06:40
AS Terancam Resesi, Wall Street Remuk Redam
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Senada dengan pasar keuangan Benua Kuning, tiga indeks utama Wall Street juga semerah darah pada perdagangan akhir pekan lalu (2/8/2019). Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,37%, S&P 500 terkoreksi 0,73%, dan Nasdaq Composite anjlok 1,32%.

Pelemahan tersebut mengantarkan DJIA ke level terendah sejak akhir Juni. Sementara S&P 500 dan Nasdaq Composite tercatat melemah selama lima hari berturut-turut.

Sama halnya dengan kondisi pasar keuangan di hampir seluruh dunia, bursa saham AS juga terpapar sentimen negatif dari eskalasi perang dagang AS-China yang telah disebutkan sebelumnya. Trump sudah mengancam akan mengenakan tarif baru per 1 September. Kecuali China berhasil meneken kesepakatan dengan AS, eskalasi perang dagang sulit untuk dihindari.

Namun tampaknya kecil kemungkinan kedua negara untuk mencapai kesepakatan sebelum 1 September. Karena berdasarkan rencana awal, perundingan baru akan dilakukan pada bulan September.

Bila sampai benar kejadian (eskalasi), analis memperkirakan risiko resesi ekonomi AS akan semakin besar. "Jika dia [Trump] menindaklanjuti ancaman tersebut, maka ancaman resesi akan meningkat," ujar Mark Zandi, kepala ekonom Moody's Analytics. Resesi merupakan kondisi di mana pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi alias negatif dalam dua kuartal berturut-turut.

Sudah Siap Hadapi Rilis Pertumbuhan Ekonomi RI Q2-2019?Foto: Wall Street (AP Photo/Richard Drew)


Risiko yang membesar itu membuat investor global memburu US Treasury, nama lain obligasi pemerintah AS, karena dianggap sebagai aset yang lebih aman (safe haven instrument) dibanding aset di pasar keuangan yang lain terutama pasar saham. Data Refinitiv menunjukkan yield US Treasury seri acuan 10 tahun turun 3,7 basis poin pada hari Jumat (2/8/2019) ke level 1,85% yang merupakan posisi terendah sejak 9 November 2016.

Penurunan yield obligasi pemerintah AS menunjukkan bahwa kekhawatiran investor akan kondisi ekonomi ke depan semakin membuncah.

Namun di lain pihak, eskalasi perang dagang juga dapat mendorong Bank Sentral AS, The Federal Reserves (The Fed) untuk lebih agresif dalam menurunkan suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR).

Sebelumnya, pelaku pasar sudah dibuat kecewa dan terkejut oleh sikap yang diambil oleh The Fed. Pasalnya ada hari Rabu (31/7/2019) Gubernur The Fed, Jerome Powell, mengumumkan penurunan target suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi ke kisaran 2-2,25% sambil berpidato dengan nada-nada yang tidak lagi kalem (dovish).

"Biar saya perjelas: yang saya maksud adalah itu (pemangkasan tingkat suku bunga acuan) bukanlah merupakan awal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif," kata Powell, dilansir dari CNBC International.



"Kami tak melihat arahnya ke sana (era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan). Anda akan melakukannya jika Anda melihat pelemahan ekonomi yang signifikan dan jika Anda berpikir bahwa federal funds rate perlu dipangkas secara signifikan. Itu bukanlah skenario yang kami lihat."

Kini pelaku pasar masih mencermati arah kebijakan yang akan bisa diambil oleh The Fed ke depan. Boleh jadi Powell dan kawan-kawan jadi lebih berani untuk mengambil langkah tegas untuk melonggarkan kebijakan moneter.

Mengutip CME Fedwatch pada akhir perdagangan Jumat (2/8/2019) kemungkinan The Fed menurunkan suku bunga ke kisaran 1,5-1,75% (turun 50 basis poin dari posisi sekarang) hingga akhir tahun 2019 mencapai 50,2% atau melesat dari posisi sehari sebelumnya yang hanya 36,9%.

Akan tetapi jika pada keberjalanannya Powell tetap memasang sikap yang agak galak (hawkish), boleh jadi perekonomian AS akan terpukul cukup keras.

BERLANJUT KE HALAMAN 3>>> (taa/taa)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular