
Newsletter
Wall Street Cetak Rekor, Bagaimana Nasib IHSG Cs?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 July 2019 06:30

Pada perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama, kinerja Wall Street yang menggembirakan lantaran membukukan apresiasi yang cukup besar serta berhasil mencetak rekor baru.
Kinclongnya kinerja bursa saham AS yang menjadi kiblat dari bursa saham dunia diharapkan bisa memberikan kepercayaan diri bagi pelaku pasar saham Asia untuk memulai hari.
Kedua, investor perlu mencermati perkembangan seputar perang dagang AS-China. Seperti yang sudah disebutkan pada halaman pertama, AS sudah menunjukkan sikap keras terhadap China dengan menuntut kesepakatan yang ‘memenangkan’ pihaknya.
Sejauh ini, China memang masih kalem, belum terprovokasi. Namun kalau AS tak juga mengerem sikapnya tersebut, ada potensi yang besar bahwa Beijing pada akhirnya akan gerah dan perang dagang pun sangat mungkin tereskalasi.
Ketika ini yang terjadi, pastilah perekonomian keduanya akan semakin tertekan. Kemarin, Services PMI China periode Juni 2019 versi Caixin diumumkan di level 52, lebih rendah ketimbang konsensus yang sebesar 52,6, seperti dilansir dari Trading Economics. Capaian pada bulan Juni juga lebih rendah ketimbang bulan Mei yang sebesar 52,7.
Kemudian, Composite PMI China periode Juni 2019 versi Caixin diumumkan di level 50,6, lebih rendah ketimbang capaian bulan Mei yang sebesar 51,5, seperti dilansir dari Trading Economics.
Berbicara mengenai aktivitas manufaktur di Negeri Panda, hasilnya lebih parah lagi. Dalam enam bulan pertama tahun 2019, tercatat aktivitas manufaktur membukukan kontraksi sebanyak empat kali yakni pada bulan Januari, Februari, Mei, dan Juni.
Hal ini terlihat dari angka Manufacturing PMI pada bulan-bulan tersebut yang berada di bawah 50, menunjukkan adanya kontraksi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Selain perang dagang AS-China, pelaku pasar perlu mewaspadai juga awan gelap yang datang dari ribut-ribut antara AS dengan Uni Eropa di bidang perdagangan.
Seperti yang diketahui, pada awal pekan ini Kantor Perwakilan Dagang AS merilis daftar produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 4 miliar yang bisa dikenakan bea masuk baru. Barang-barang yang disasar AS berkisar mulai dari makanan hingga minuman keras.
Daftar tersebut melengkapi daftar awal dari produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 21 miliar yang juga bisa dikenakan bea masuk baru. Jika ditotal, ada produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 25 miliar yang siap disasar oleh pemerintahan Trump.
Kebijakan tersebut diambil guna ‘menghukum’ Uni Eropa karena telah memberikan subsidi kepada Airbus sehingga membuat pabrikan pesawat asal AS, Boeing, menjadi kurang kompetitif.
Uni Eropa pun tak tinggal diam. Seorang juru bicara untuk Komisi Eropa menyebut bahwa pihaknya telah mengetahui terkait ancaman terbaru dari AS dan kebijakan balasan dapat saja diambil, walau dirinya juga tak menutup pintu negosiasi.
“Uni Eropa tetap terbuka untuk berdiskusi dengan AS, asalkan berlangsung tanpa prasyarat dan ditujukan untuk mencapai hasil yang adil,” kata juru bicara tersebut, dilansir dari CNN.
Kala negara dengan nilai perekonomain terbesar di dunia berperang di bidang perdagangan melawan blok ekonomi dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, hasilnya bisa ditebak. Arus perdagangan global akan terganggu dan menekan aktivitas produksi di seluruh dunia. Pada akhirnya, laju pertumbuhan ekonomi akan melandai.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 (ank/ank)
Kinclongnya kinerja bursa saham AS yang menjadi kiblat dari bursa saham dunia diharapkan bisa memberikan kepercayaan diri bagi pelaku pasar saham Asia untuk memulai hari.
Kedua, investor perlu mencermati perkembangan seputar perang dagang AS-China. Seperti yang sudah disebutkan pada halaman pertama, AS sudah menunjukkan sikap keras terhadap China dengan menuntut kesepakatan yang ‘memenangkan’ pihaknya.
Sejauh ini, China memang masih kalem, belum terprovokasi. Namun kalau AS tak juga mengerem sikapnya tersebut, ada potensi yang besar bahwa Beijing pada akhirnya akan gerah dan perang dagang pun sangat mungkin tereskalasi.
Ketika ini yang terjadi, pastilah perekonomian keduanya akan semakin tertekan. Kemarin, Services PMI China periode Juni 2019 versi Caixin diumumkan di level 52, lebih rendah ketimbang konsensus yang sebesar 52,6, seperti dilansir dari Trading Economics. Capaian pada bulan Juni juga lebih rendah ketimbang bulan Mei yang sebesar 52,7.
Kemudian, Composite PMI China periode Juni 2019 versi Caixin diumumkan di level 50,6, lebih rendah ketimbang capaian bulan Mei yang sebesar 51,5, seperti dilansir dari Trading Economics.
Berbicara mengenai aktivitas manufaktur di Negeri Panda, hasilnya lebih parah lagi. Dalam enam bulan pertama tahun 2019, tercatat aktivitas manufaktur membukukan kontraksi sebanyak empat kali yakni pada bulan Januari, Februari, Mei, dan Juni.
Hal ini terlihat dari angka Manufacturing PMI pada bulan-bulan tersebut yang berada di bawah 50, menunjukkan adanya kontraksi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Selain perang dagang AS-China, pelaku pasar perlu mewaspadai juga awan gelap yang datang dari ribut-ribut antara AS dengan Uni Eropa di bidang perdagangan.
Seperti yang diketahui, pada awal pekan ini Kantor Perwakilan Dagang AS merilis daftar produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 4 miliar yang bisa dikenakan bea masuk baru. Barang-barang yang disasar AS berkisar mulai dari makanan hingga minuman keras.
Daftar tersebut melengkapi daftar awal dari produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 21 miliar yang juga bisa dikenakan bea masuk baru. Jika ditotal, ada produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 25 miliar yang siap disasar oleh pemerintahan Trump.
Kebijakan tersebut diambil guna ‘menghukum’ Uni Eropa karena telah memberikan subsidi kepada Airbus sehingga membuat pabrikan pesawat asal AS, Boeing, menjadi kurang kompetitif.
Uni Eropa pun tak tinggal diam. Seorang juru bicara untuk Komisi Eropa menyebut bahwa pihaknya telah mengetahui terkait ancaman terbaru dari AS dan kebijakan balasan dapat saja diambil, walau dirinya juga tak menutup pintu negosiasi.
“Uni Eropa tetap terbuka untuk berdiskusi dengan AS, asalkan berlangsung tanpa prasyarat dan ditujukan untuk mencapai hasil yang adil,” kata juru bicara tersebut, dilansir dari CNN.
Kala negara dengan nilai perekonomain terbesar di dunia berperang di bidang perdagangan melawan blok ekonomi dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, hasilnya bisa ditebak. Arus perdagangan global akan terganggu dan menekan aktivitas produksi di seluruh dunia. Pada akhirnya, laju pertumbuhan ekonomi akan melandai.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 (ank/ank)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular