Pasar keuangan Indonesia ditransaksikan bervariasi pada perdagangan kemarin: Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,35%, rupiah menguat 0,14% melawan dolar AS di pasar
) obligasi seri acuan tenor 10 tahun turun 4,2 bps.
obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika
turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika
naik, berarti harga sedang turun.
Kemarin, sentimen yang menyelimuti perdagangan memang bercampur aduk sehingga arah pergerakan pasar keuangan Indonesia menjadi bervariasi. Sentimen negatif datang dari kekhawatiran bahwa hubungan AS dengan China di bidang perdagangan akan memanas.
Seperti yang diketahui, pasca berbincang sekitar 80 menit di sela-sela gelaran KTT G20 di Jepang pada akhir pekan kemarin, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping menyetujui gencatan senjata di bidang perdagangan sekaligus membuka kembali pintu negosiasi yang sempat tertutup.
Dilansir dari CNBC International, kedua negara secara terpisah mengumumkan bahwa mereka telah setuju untuk tak saling mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor dari masing-masing negara.
Media milik pemerintah China Xinhua menyebut bahwa kedua pimpinan negara setuju "untuk memulai kembali negosiasi dagang antar kedua negara dengan dasar kesetaraan dan rasa hormat."
Namun, kini Trump justru ingin kesepakatan dagang AS-China dibuat untuk lebih menguntungkan AS.
"Itu (kesepakatan dagang) haruslah lebih menguntungkan kita ketimbang China karena mereka telah mengambil keuntungan yang sangat besar (dari AS) untuk begitu lama," cetus Trump di Gedung Putih pada hari Senin (1/7/2019), dilansir dari CNBC International.
"Sudah jelas Anda tidak bisa membuat kesepakatan 50-50. Itu (kesepakatan dagang) haruslah lebih menguntungkan kami," lanjut presiden AS ke-45 tersebut.
Jika AS tetap bersikap keras seperti ini, dikhawatirkan kubu China akan panas dan membuat negosiasi dagang kembali menjadi mandek. Jika ini yang terjadi, nampaknya eskalasi perang dagang akan sulit untuk dihindarkan.
Sisi positifnya, harga minyak WTI kontrak pengiriman periode Agustus 2019 ambruk 4,81% ke level US$ 56,25/barel pada perdagangan hari Selasa (2/7/2019), sementara minyak brent kontrak pengiriman periode September 2019 anjlok 4,09% ke level US$ 62,4/barel.
Harga minyak mentah bergerak ke selatan merespons potensi eskalasi perang dagang AS-China. Pelemahan laju pertumbuhan ekonomi sebagai efek samping perang dagang memang akan membuat harga komoditas, utamanya yang merupakan sumber energi, tertekan.
Ambruknya harga minyak mentah bisa berdampak positif bagi Indonesia lantaran akan memantik optimisme bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan menjadi bisa diredam. Pada akhirnya, rupiah pun menguat seiring dengan sokongan fundamental yang lebih kuat.
Beralih ke AS, perdagangan di Wall Street kemarin berlangsung lebih singkat sebagai bagian dari peringatan hari kemerdekaan AS yang jatuh pada tanggal 4 Juli.
Kemarin, tiga indeks saham utama di Negeri Paman Sam mengakhiri perdagangan di zona hijau: indeks Dow Jones naik 0,67%, indeks S&P 500 menguat 0,77%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 0,75%. Ketiga indeks saham tersebut kompak membukukan rekor penutupan tertinggi sepanjang masa.
Sebagai informasi, indeks S&P 500 sudah mencetak rekor penutupan tertinggi sepanjang masa dalam dua perdagangan pertama di pekan ini, sehingga capaian pada hari Rabu menjadi yang ketiga secara beruntun.
Sementara itu, perdagangan hari Rabu menandai kali pertama indeks Dow Jones mengukir rekor penutupan tertinggi yang baru pasca terakhir melakukannya di bulan Oktober. Untuk indeks Nasdaq Composite, kali terakhir rekor penutupan tertinggi yang baru dicetak sebelum hari ini adalah pada bulan Mei.
Membuncahnya optimisme bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan segera memangkas tingkat suku bunga acuan menjadi faktor utama yang melandasi aksi beli oleh pelaku pasar.
Optimisme tersebut datang seiring dengan rilis data ekonomi yang mengecewakan, di mana angka penciptaan lapangan kerja AS (sektor non-pertanian) periode Juni 2019 versi Automatic Data Processing (ADP) diumumkan sebanyak 102.000 saja, jauh di bawah ekspektasi yang sebanyak 140.000, dilansir dari Forex Factory.
Sebagai informasi, data tenaga kerja memang merupakan data yang dipantau dengan ketat oleh The Fed guna merumuskan kebijakan suku bunga acuannya.
Lebih lanjut, Non-Manufacturing PMI periode Juni 2019 diumumkan oleh Institute for Supply Management (ISM) di level 55,1 di bawah konsensus yang sebesar 56,1.
Pemangkasan tingkat suku bunga acuan menjadi kian mungkin untuk terjadi pada bulan ini mengingat tekanan inflasi (indikator lain yang dipantau The Fed dalam merumuskan kebijakan suku bunga acuan) sangatlah rendah.
Berbicara mengenai inflasi, The Fed menggunakan
Core Personal Consumption Expenditures (PCE)
price index sebagai ukurannya. Target jangka panjang untuk inflasi ada di level 2%.
Untuk data teranyar yakni periode Mei 2019, Core PCE
price index tercatat hanya tumbuh sebesar 1,6% YoY, jauh di bawah target The Fed.
“Ada peluang nyaris sebesar 100% bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada pertemuan bulan Juli. Saya rasa The Fed akan melihat bahwa indikator-indikator ekonomi di AS telah mulai melambat,” kata Scott Colyer, Chief Investment Officer di Advisors Asset Management.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak
fed fund futures per 3 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan bulan ini berada di level 70,3%. Sementara itu, peluang suku bunga acuan diturunkan hingga 50 bps berada di level 29,7%.
Ketika suku bunga acuan dipangkas, tingkat suku bunga kredit akan ikut melandai yang tentunya akan memberi insentif bagi dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.
Pemangkasan tingkat suku bunga acuan menjadi sangat krusial guna menghindarkan perekonomian AS dari yang namanya
hard landing.
Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 Pada perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama, kinerja Wall Street yang menggembirakan lantaran membukukan apresiasi yang cukup besar serta berhasil mencetak rekor baru.
Kinclongnya kinerja bursa saham AS yang menjadi kiblat dari bursa saham dunia diharapkan bisa memberikan kepercayaan diri bagi pelaku pasar saham Asia untuk memulai hari.
Kedua, investor perlu mencermati perkembangan seputar perang dagang AS-China. Seperti yang sudah disebutkan pada halaman pertama, AS sudah menunjukkan sikap keras terhadap China dengan menuntut kesepakatan yang ‘memenangkan’ pihaknya.
Sejauh ini, China memang masih kalem, belum terprovokasi. Namun kalau AS tak juga mengerem sikapnya tersebut, ada potensi yang besar bahwa Beijing pada akhirnya akan gerah dan perang dagang pun sangat mungkin tereskalasi.
Ketika ini yang terjadi, pastilah perekonomian keduanya akan semakin tertekan. Kemarin, Services PMI China periode Juni 2019 versi Caixin diumumkan di level 52, lebih rendah ketimbang konsensus yang sebesar 52,6, seperti dilansir dari Trading Economics. Capaian pada bulan Juni juga lebih rendah ketimbang bulan Mei yang sebesar 52,7.
Kemudian, Composite PMI China periode Juni 2019 versi Caixin diumumkan di level 50,6, lebih rendah ketimbang capaian bulan Mei yang sebesar 51,5, seperti dilansir dari Trading Economics.
Berbicara mengenai aktivitas manufaktur di Negeri Panda, hasilnya lebih parah lagi. Dalam enam bulan pertama tahun 2019, tercatat aktivitas manufaktur membukukan kontraksi sebanyak empat kali yakni pada bulan Januari, Februari, Mei, dan Juni.
Hal ini terlihat dari angka Manufacturing PMI pada bulan-bulan tersebut yang berada di bawah 50, menunjukkan adanya kontraksi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Selain perang dagang AS-China, pelaku pasar perlu mewaspadai juga awan gelap yang datang dari ribut-ribut antara AS dengan Uni Eropa di bidang perdagangan.
Seperti yang diketahui, pada awal pekan ini Kantor Perwakilan Dagang AS merilis daftar produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 4 miliar yang bisa dikenakan bea masuk baru. Barang-barang yang disasar AS berkisar mulai dari makanan hingga minuman keras.
Daftar tersebut melengkapi daftar awal dari produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 21 miliar yang juga bisa dikenakan bea masuk baru. Jika ditotal, ada produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 25 miliar yang siap disasar oleh pemerintahan Trump.
Kebijakan tersebut diambil guna ‘menghukum’ Uni Eropa karena telah memberikan subsidi kepada Airbus sehingga membuat pabrikan pesawat asal AS, Boeing, menjadi kurang kompetitif.
Uni Eropa pun tak tinggal diam. Seorang juru bicara untuk Komisi Eropa menyebut bahwa pihaknya telah mengetahui terkait ancaman terbaru dari AS dan kebijakan balasan dapat saja diambil, walau dirinya juga tak menutup pintu negosiasi.
“Uni Eropa tetap terbuka untuk berdiskusi dengan AS, asalkan berlangsung tanpa prasyarat dan ditujukan untuk mencapai hasil yang adil,” kata juru bicara tersebut, dilansir dari CNN.
Kala negara dengan nilai perekonomain terbesar di dunia berperang di bidang perdagangan melawan blok ekonomi dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, hasilnya bisa ditebak. Arus perdagangan global akan terganggu dan menekan aktivitas produksi di seluruh dunia. Pada akhirnya, laju pertumbuhan ekonomi akan melandai.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 Sentimen keempat yang perlu diperhatikan pelaku pasar adalah apresiasi dolar AS. Hingga pukul 05:30 WIB, indeks dolar AS yang mengukur pergerakan dolar AS terhadap mata uang utama dunia lainnya ditransaksikan menguat 0,05%.
Memang benar bahwa rilis data tenaga kerja AS mengecewakan dan berpeluang besar memaksa The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan pada tahun ini. Namun, hal ini bukan berarti
greenback menjadi tak punya bensin untuk menguat.
Pada hari Jumat (5/7/2019), angka penciptaan lapangan kerja periode Juni 2019 versi resmi pemerintah AS akan diumumkan, beserta dengan angka tingkat pengangguran dan rata-rata pertumbuhan upah periode yang sama.
Rilis data ini biasanya memang akan lebih menentukan kinerja dari
greenback karena merupakan data resmi yang dirilis sendiri oleh pemerintah AS.
Melansir Forex Factory, konsensus untuk angka penciptaan lapangan kerja (sektor non-pertanian) periode Juni 2019 adalah sebanyak 164.000, jauh di atas capaian pada bulan Mei yang hanya sebanyak 75.000. Sementara itu, rata-rata upah per jam periode Juni 2019 diproyeksikan naik 0,3% secara bulanan, dari yang sebelumnya 0,2% pada bulan Mei.
Agaknya, pelaku pasar sudah mulai mengantisipasi rilis data tersebut dengan mengoleksi dolar AS. Walau datanya baru akan dirilis besok, hal ini menjadi masuk akal mengingat pada hari ini ada libur nasional di AS guna memperingati hari kemerdekaannya.
Sentimen keempat yang perlu dicermati adalah apresiasi harga minyak mentah dunia. Hingga pukul 05:00 WIB, harga minyak WTI melesat 2,04%, sementara harga minyak brent menguat 2,28%.
Perpanjangan pemangkasan produksi oleh negara-negara penghasil minyak mentah (baik yang tergabung dalam OPEC maupun tidak) terbukti sukses dalam mendongkrak harga.
Pada hari Selasa, Rusia dan sembilan negara produsen minyak non-OPEC lainnya setuju untuk memperpanjang pemangkasan produksi yang sedianya akan berakhir pada bulan ini untuk sembilan bulan mendatang. Keputusan ini datang pasca pada hari Senin negara-negara anggota OPEC setuju untuk memperpanjang kebijakan tersebut selama sembilan bulan atau hingga Maret 2020.
Sebagai informasi, pemangkasan produksi yang dilakukan oleh OPEC dan negara produsen minyak non-OPEC pada saat ini adalah sekitar 1,2 juta barel per hari.
Selain itu, harga minyak mentah dunia juga ditopang oleh publikasi Baker Hughes yang merupakan firma konsultasi energi bahwa perusahaan-perusahaan minyak di AS telah mengurangi jumlah alat pengebor (
rig) sebanyak lima unit selama pekan yang berakhir pada tanggal 3 Juli. Pemangkasan ini merupakan yang pertama dalam tiga pekan terakhir, dilansir dari Reuters.
Dengan melesatnya harga minyak mentah, akan ada kekhawatiran bahwa CAD akan menjadi kian sulit untuk diredam. Pada akhirnya, ada potensi rupiah akan melemah lantaran sokongan fundamental yang tak kuat.
Pelemahan rupiah patut diwaspadai karena bisa saja membuat investor asing mengabaikan sentimen positif yang ada dan malah melego saham serta obligasi di tanah air.
BERLANJUT KE HALAMAN 5 Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:- Rilis data posisi transaksi berjalan Korea Selatan periode Mei 2019 (06:00 WIB)
- Rilis data Manufacturing PMI Hong Kong periode Juni 2019 versi Markit (07:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q1-2019 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Juni 2019 YoY) | 3,28% |
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Juni 2019) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (1Q-2019) | -2,6% PDB |
Neraca pembayaran (1Q-2019) | US$ 2,42 miliar |
Cadangan devisa (Mei 2019) | US$ 120,35 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA