Newsletter

Harga Minyak Ambruk 4% Lebih, Semoga Bisa Dimanfaatkan Ya...

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 July 2019 06:08
Harga Minyak Ambruk 4% Lebih, Semoga Bisa Dimanfaatkan Ya...
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditransaksikan bervariasi pada perdagangan kemarin: Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik tipis 0,08%, rupiah melemah 0,18% melawan dolar AS di pasar spot, dan imbal hasil (yield) obligasi seri acuan tenor 10 tahun turun 2,3 bps.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Sentimen yang menyelimuti perdagangan kemarin memang bercampur aduk sehingga arah pergerakan pasar keuangan Indonesia menjadi bervariasi. Sentimen positif datang dari optimisme bahwa AS dan China semakin dekat untuk meneken kesepakatan dagang.

Seperti yang diketahui, pascaberbincang sekitar 80 menit di sela-sela gelaran KTT G20 di Jepang pada akhir pekan kemarin, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping menyetujui gencatan senjata di bidang perdagangan sekaligus membuka kembali pintu negosiasi yang sempat tertutup.

Dilansir dari CNBC International, kedua negara secara terpisah mengumumkan bahwa mereka telah setuju untuk tak saling mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor dari masing-masing negara.

Media milik pemerintah China Xinhua menyebut bahwa kedua pimpinan negara setuju "untuk memulai kembali negosiasi dagang antar kedua negara dengan dasar kesetaraan dan rasa hormat."

Lebih lanjut, Trump menyebut bahwa China akan membeli produk-produk agrikultur asal AS dalam jumlah besar.

"Kami menahan diri dari (mengenakan) bea masuk dan mereka akan membeli produk pertanian (asal AS)," tutur Trump, dilansir dari CNBC International.

Pada hari Senin (1/7/2019) waktu setempat, Trump mengonfirmasi bahwa dialog dagang dengan China sudah kembali dimulai. Berbicara di Gedung Putih, Trump mengatakan bahwa negosiasi banyak digelar melalui sambungan telepon.

"Mereka berbincang sangat banyak melalui sambungan telepon namun mereka juga menggelar pertemuan," kata Trump, dilansir dari CNBC International.

"Ya, itu (negosiasi dagang) sejatinya sudah dimulai," lanjutnya.



Sementara di sisi lain, sentimen negatif bagi pasar keuangan Indonesia datang dari keputusan Bank Dunia (World Bank) untuk menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pada hari Senin, lembaga yang berbasis di Washington DC, AS, tersebut memutuskan untuk memangkas proyeksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2019, dari yang semula 5,2% menjadi 5,1%.

Dalam publikasinya, Bank Dunia menjelaskan beberapa faktor yang melandasi pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia, di mana salah satunya adalah harga komoditas ekspor andalan Indonesia yang melemah di tahun 2019.

Dampak dari penurunan harga komoditas adalah melambatnya investasi. Pasalnya, imbal hasil investasi yang dihasilkan kala harga-harga komoditas anjlok menjadi tak maksimal. Catatan Bank Dunia memperlihatkan bahwa pertumbuhan investasi kuartal I-2019 hanya sebesar 5% YoY atau turun dari posisi kuartal IV-2018 yang mencapai 6% YoY.

Selain karena pelemahan harga komoditas, perlambatan investasi juga disebabkan oleh dua hal lain yaitu gelaran pemilihan umum (Pemilu) dan perlambatan belanja infrastruktur pemerintah.

BERLANJUT KE HALAMAN 2
Beralih ke AS, tiga indeks saham utama mengakhiri perdagangan kemarin di zona hijau: indeks Dow Jones naik 0,02%, indeks S&P 500 naik 0,29%, dan indeks Nasdaq Composite naik 0,22%. Indeks S&P 500 kembali mencetak rekor penutupan tertinggi sepanjang masa pasca melakukan hal serupa pada awal pekan ini.

Kinerja perekonomian AS yang oke di bawah komando Trump sukses memantik aksi beli di Wall Street. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh National Bureau of Economic Research, bulan ini menandai bulan ke-121 dari ekspansi ekonomi atau yang terpanjang dalam sejarah, seperti dilansir dari CNBC International.

Siklus yang dimulai sejak Juni 2009 ini mematahkan rekor ekspansi ekonomi terpanjang sebelumnya yang berlangsung selama 120 bulan (Maret 1991-Maret 2001).

Pemangkasan tingkat pajak yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump serta pelonggaran regulasi untuk pebisnis disebut oleh para ekonom sebagai faktor yang memotori ekspansi ekonomi selama 121 bulan tanpa putus tersebut, dilansir dari CNBC International.

Sayang, kekhawatiran bahwa perang dagang AS-China bisa kembali memanas membatasi kinerja Wall Street.

Berbicara selepas menggelar pertemuan dengan Xi Jinping di sela-sela gelaran KTT G20 di Osaka, Jepang, Trump menyebut bahwa AS meringankan sanksi yang sebelumnya dibebankan kepada raksasa pembuat perangkat telekomunikasi asal China, Huawei.

“Salah satu hal yang akan saya izinkan adalah – banyak orang terkejut bahwa kami mengirim dan menjual banyak sekali produk ke Huawei yang pada akhirnya diproduksi menjadi berbagai macam hal – dan saya katakan oke, kami akan tetap menjual produk tersebut,” kata Trump, dilansir dari CNBC International.

Sebelumnya pada bulan Mei, AS memasukkan Huawei ke dalam daftar hitam yang membuat perusahaan-perusahaan asal AS tak bisa menjual atau mentransfer teknologi yang mereka miliki ke Huawei tanpa adanya lisensi khusus.

Namun ternyata, pelonggaran sanksi yang diberikan AS tak sesignifikan yang sebelumnya diisyaratkan oleh Trump. Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyebut bahwa pemerintah AS tidak mengeluarkan Huawei dari daftar hitam dan pihaknya hanya akan menerbitkan izin lebih banyak bagi perusahaan asal AS untuk menjual produknya ke Huawei selama produk tersebut tak membawa ancaman bagi kemanan nasional AS.

“Huawei akan tetap masuk dalam daftar hitam di mana akan ada kontrol ekspor yang ketat dan dalam hal yang berkaitan dengan kemanan nasional maka tak akan ada izin yang diterbitkan (bagi perusahaan AS untuk berbisnis dengan Huawei),” kata Kudlow dalam wawancara dengan Fox News, dilansir dari CNBC International.

Akibatnya, harga saham emiten-emiten pembuat chip yang memotori laju Wall Street pada hari Senin justru berjatuhan kemarin: Skyworks Solutions ambruk 1,31%, Micron Technology melemah 1.27%, Qualcomm turun 0,66%, dan Broadcom terdepresiasi 1,67%.

Celakanya lagi, Trump juga ingin kesepakatan dagang AS-China dibuat untuk lebih menguntungkan AS.

“Itu (kesepakatan dagang) haruslah lebih menguntungkan kita ketimbang China karena mereka telah mengambil keuntungan yang sangat besar (dari AS) untuk begitu lama,” cetus Trump di Gedug Putih pada hari Senin, dilansir dari CNBC International.

"Sudah jelas Anda tidak bisa membuat kesepakatan 50-50. Itu (kesepakatan dagang) haruslah lebih menguntungkan kami,” lanjut presiden AS ke-45 tersebut.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 Pada perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama, kinerja Wall Street yang relatif menggembirakan lantaran berhasil mencetak rekor baru, walau secara persentase penguatannya terbilang tipis saja.

Kinclongnya kinerja bursa saham AS yang menjadi kiblat dari bursa saham dunia diharapkan bisa memberikan kepercayaan diri bagi pelaku pasar saham Asia untuk memulai hari.

Kedua, pelaku pasar perlu mencermati perkembangan seputar perang dagang AS-China. Seperti yang sudah disebutkan pada halaman sebelumnya, AS sudah menunjukkan sikap keras terhadap China dengan tetap membatasi ruang gerak Huawei secara signifikan serta menuntut kesepakatan yang ‘memenangkan’ pihaknya.

Sejauh ini, China memang masih kalem, belum terprovokasi. Namun kalau AS tak juga mengerem sikapnya tersebut, ada potensi yang besar bahwa Beijing pada akhirnya akan gerah dan menyebabkan negosiasi dagang mandek lagi.

Kalau ini yang terjadi, rasanya semua sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. AS akan mengenakan bea masuk baru terhadap importasi produk asal China yang kemudian akan diikuti oleh serangan balasan dari Beijing.

Sentimen ketiga yang perlu dicermati oleh pelaku pasar adalah terkait dengan potensi meletusnya perang dagang AS-Uni Eropa. Ya, belum juga perang dagang AS-China beres, pelaku pasar kini harus dihadapkan pada potensi perang dagang antara negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia melawan blok ekonomi dengan nilai perekonomian terbesar di dunia.

Harga Minyak Ambruk 4% Lebih, Semoga Bisa Dimanfaatkan Ya...Foto: Pertemuan G-20 Trump-Xi (REUTERS/Kevin Lamarque)


Seperti yang diketahui, AS sudah lama dibuat geram oleh langkah Uni Eropa yang memberikan subsidi kepada Airbus sehingga membuat pabrikan pesawat asal AS, Boeing, menjadi kurang kompetitif.

Pada bulan April, Kantor Perwakilan Dagang AS sudah merilis daftar produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 21 miliar yang akan dikenakan bea masuk baru. Uni Eropa pun membalas dengan merilis daftar produk AS yang berpotensi dikenakan bea masuk baru. Nilainya mencapai US$ 20 miliar.

Produk-produk AS yang bisa terkena bea masuk di antaranya adalah pesawat terbang, helikopter, produk kimia, ikan beku, jeruk sitrus, saus sambal, tembakau, koper, traktor, hingga konsol video game.

Perkembangan terbaru, pada hari Senin waktu setempat Kantor Perwakilan Dagang AS merilis daftar produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 4 miliar yang bisa ikut dikenakan bea masuk baru. Barang-barang yang disasar AS kali ini berkisar mulai dari makanan hingga minuman keras.

Kantor Perwakilan Dagang AS meyebut bahwa periode dengar pendapat terkait dengan rencana pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 4 miliar tersebut akan dilakukan pada tanggal 5 Agustus.

Kala negara dengan nilai perekonomain terbesar di dunia berperang di bidang perdagangan melawan blok ekonomi dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, hasilnya bisa ditebak. Arus perdagangan global akan terganggu dan menekan aktivitas produksi di seluruh dunia. Pada akhirnya, laju pertumbuhan ekonomi akan melandai.

BERLANJUT KE HALAMAN 4 Sentimen keempat yang perlu diperhatikan pelaku pasar adalah pelemahan harga minyak mentah dunia. Hingga pukul 05:30 WIB, harga minyak brent kontrak pengiriman periode September 2019 ambruk 4,09% ke level US$ 62,4/barel.

Harga minyak mentah bergerak ke selatan merespons potensi eskalasi perang dagang AS-China dan potensi meletusnya perang dagang AS-Uni Eropa. Pelemahan laju pertumbuhan ekonomi sebagai efek samping perang dagang memang akan membuat harga komoditas, utamanya yang merupakan sumber energi, tertekan.

Kala pertumbuhan ekonomi melambat, praktis permintaan atas komoditas energi akan menjadi tertekan sehingga harga akan turun.

Namun, walaupun dimotori oleh kekhawatiran atas perlambatan laju perekonomian dunia, ambruknya harga minyak mentah bisa berdampak positif bagi Indonesia lantaran akan memantik optimisme bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan menjadi bisa diredam. Pada akhirnya, ada potensi rupiah akan menguat seiring dengan sokongan fundamental yang lebih kuat.

Kalau kemarin rupiah membukukan depresiasi, ada harapan bahwa mata uang Garuda akan mencetak apresiasi pada hari ini.

Namun, pelaku pasar harus waspada. Pasalnya, harga minyak mentah bisa sewaktu-waktu membalikkan keadaan lantaran masih menyimpan energi untuk menguat.

Kemarin, Rusia dan sembilan negara produsen minyak non-OPEC lainnya setuju untuk memperpanjang pemangkasan produksi yang sedianya akan berakhir pada bulan ini untuk sembilan bulan mendatang.

Keputusan ini datang pasca pada hari Senin negara-negara anggota OPEC setuju untuk memperpanjang kebijakan tersebut selama sembilan bulan atau hingga Maret 2020.

Sebagai informasi, pemangkasan produksi yang dilakukan oleh OPEC dan negara produsen minyak non-OPEC pada saat ini adalah sekitar 1,2 juta barel per hari.

Jika harga minyak berhasil membalikkan keadaan, rupiah bisa tertekan dan memantik aksi jual atas saham dan obligasi di tanah air, terutama oleh investor asing.

BERLANJUT KE HALAMAN 5 Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data cadangan devisa Korea Selatan periode Juni 2019 (04:00 WIB)
  • Rilis data Composite PMI Singapura periode Juni 2019 oleh Markit (07:30 WIB)
  • Rilis data Services PMI China periode Juni 2019 versi Caixin (08:45 WIB)
  • Rilis data Composite PMI China periode Juni 2019 versi Caixin (08:45 WIB)
  • Rilis angka penciptaan lapangan kerja AS (sektor non-pertanian) periode Juni 2019 versi Automatic Data Processing/ADP (19:15 WIB)
  • Rilis data Manufacturing PMI Singapura periode Juni 2019 oleh Singapore Institute of Purchasing and Materials Management/SIPMM (20:00 WIB)
  • Rilis data Non-Manufacturing PMI AS periode Juni 2019 oleh Institute for Supply Management/ISM (21:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q1-2019 YoY)5,17%
Inflasi (Juni 2019 YoY)3,28%
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Juni 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (1Q-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (1Q-2019)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (Mei 2019)US$ 120,35 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular