
Polling CNBC Indonesia
Inflasi Juni Diramal 'Jinak', Saatnya BI Turunkan Bunga?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 June 2019 11:48

Inflasi domestik sejauh ini masih 'jinak', bahkan mungkin tetap seperti ini sampai akhir tahun. Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi sepanjang 2019 sebesar 3,1%, berada di batas bawah kisaran 2,5-4,5%.
Baca:
Survei BI: Inflasi April 0,35%, Akhir Tahun 3,1%
Kalau melihat inflasi, maka ada alasan kuat bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan. BI pun sudah menegaskan penurunan suku bunga acuan tinggal masalah waktu.
Namun, BI tentu tidak cuma melihat dari sisi inflasi. Ada hal lain yang tentu menjadi perhatian yaitu perkembangan ekonomi global.
Kini pelaku pasar tengah menantikan pertemuan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 di Osaka (Jepang). Dunia berharap Washington dan Beijing kembali mesra dan memulai lagi proses menuju damai dagang.
Dengan demikian, arus perdagangan, investasi, dan rantai pasok global akan kembali bergairah. Ada harapan dunia bisa menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.
Namun jika pertemuan di Osaka buntu, maka yang terjadi adalah sebaliknya. AS dikabarkan siap mengenakan bea masuk baru senilai US$ 300 miliar untuk importasi produk-produk China. Kebijakan yang pasti mengundang balasan dari China, sehingga api perang dagang kembali bergelora.
Tidak cuma di sektor perdagangan, sentimen ini juga menjadi perhatian utama di pasar keuangan. Gerak pasar, aliran modal, akan ditentukan oleh akur atau tidaknya AS dan China.
Jadi hubungan AS-China akan menentukan seberapa besar pasokan valas baik dari sektor perdagangan maupun portofolio di pasar keuangan. Pasokan valas ini menjadi fondasi penting bagi stabilitas nilai tukar rupiah, yang merupakan ranah BI.
Kalau AS-China damai, pasokan valas melimpah, dan rupiah stabil, maka BI tidak punya beban untuk menurunkan suku bunga acuan. Walau BI 7 Day Reverse Repo Rate turun, tetapi risk appetite pasar sedang tinggi sehingga arus modal tetap masuk dan menyokong stabilitas rupiah.
Namun kalau AS-China ribut lagi, maka situasi menjadi serba salah. Dunia dibayangi perlambatan ekonomi, arus perdagangan dan investasi seret, investor di pasar keuangan main aman. Hasilnya adalah pasokan devisa cekak sehingga rupiah rentan melemah.
Apabila ini yang terjadi, maka BI kemungkinan bakal ragu-ragu menurunkan suku bunga acuan. Indonesia masih membutuhkan pemanis agar pasar keuangan tetap atraktif bagi investor (terutama asing), yang salah satunya adalah suku bunga.
Kesimpulannya, inflasi boleh saja aman-terkendali. Namun untuk menurunkan suku bunga acuan, inflasi saja tidak cukup.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Baca:
Survei BI: Inflasi April 0,35%, Akhir Tahun 3,1%
Kalau melihat inflasi, maka ada alasan kuat bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan. BI pun sudah menegaskan penurunan suku bunga acuan tinggal masalah waktu.
Namun, BI tentu tidak cuma melihat dari sisi inflasi. Ada hal lain yang tentu menjadi perhatian yaitu perkembangan ekonomi global.
Kini pelaku pasar tengah menantikan pertemuan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 di Osaka (Jepang). Dunia berharap Washington dan Beijing kembali mesra dan memulai lagi proses menuju damai dagang.
Dengan demikian, arus perdagangan, investasi, dan rantai pasok global akan kembali bergairah. Ada harapan dunia bisa menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.
Namun jika pertemuan di Osaka buntu, maka yang terjadi adalah sebaliknya. AS dikabarkan siap mengenakan bea masuk baru senilai US$ 300 miliar untuk importasi produk-produk China. Kebijakan yang pasti mengundang balasan dari China, sehingga api perang dagang kembali bergelora.
Tidak cuma di sektor perdagangan, sentimen ini juga menjadi perhatian utama di pasar keuangan. Gerak pasar, aliran modal, akan ditentukan oleh akur atau tidaknya AS dan China.
Jadi hubungan AS-China akan menentukan seberapa besar pasokan valas baik dari sektor perdagangan maupun portofolio di pasar keuangan. Pasokan valas ini menjadi fondasi penting bagi stabilitas nilai tukar rupiah, yang merupakan ranah BI.
Kalau AS-China damai, pasokan valas melimpah, dan rupiah stabil, maka BI tidak punya beban untuk menurunkan suku bunga acuan. Walau BI 7 Day Reverse Repo Rate turun, tetapi risk appetite pasar sedang tinggi sehingga arus modal tetap masuk dan menyokong stabilitas rupiah.
Namun kalau AS-China ribut lagi, maka situasi menjadi serba salah. Dunia dibayangi perlambatan ekonomi, arus perdagangan dan investasi seret, investor di pasar keuangan main aman. Hasilnya adalah pasokan devisa cekak sehingga rupiah rentan melemah.
Apabila ini yang terjadi, maka BI kemungkinan bakal ragu-ragu menurunkan suku bunga acuan. Indonesia masih membutuhkan pemanis agar pasar keuangan tetap atraktif bagi investor (terutama asing), yang salah satunya adalah suku bunga.
Kesimpulannya, inflasi boleh saja aman-terkendali. Namun untuk menurunkan suku bunga acuan, inflasi saja tidak cukup.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Most Popular