
Newsletter
Waspadai Konflik AS-Iran dan Pengumuman Neraca Dagang RI
Hidayat Setiaji, Taufan Adharsyah, & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
24 June 2019 06:06

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditransaksikan menguat pada pekan lalu.
Dalam sepekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 1,06% secara point-to-point. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 1,19% di pasar spot. Adapun imbal hasil (yield) obligasi seri acuan tenor 10 tahun turun 28,2 basis poin (bps).
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Berlaku pula sebaliknya.
Angin segar bagi pasar keuangan Indonesia dalam beberapa hari perdagangan pertama di pekan kemarin datang dari ekspektasi bahwa Bank Sentral AS, The Fed akan menunjukkan sikap kalem (dovish) setelah menggelar rapat komite pengambil kebijakan (Federal Open Market Committee/FOMC) edisi Juni selama dua hari, yakni pada pada Selasa (18/6/2019) dan Rabu (19/6/2019) waktu setempat.
Sesuai ekspektasi, The Fed mengumumkan tingkat suku bunga acuan dipertahankan di level 2,25%-2,5%, sembari mengeluarkan nada dovish yang ditunggu-tunggu pelaku pasar pada hari Kamis (20/6/2019) dini hari waktu Indonesia.
Gubernur The Fed, Jerome Powell menyatakan bahwa prospek perekonomian AS pada dasarnya masih bagus, akan tetapi ada risiko yang semakin meningkat seperti gesekan perdagangan dengan sejumlah negara yang membuat investasi melambat. Ada pula risiko perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang dan investasi AS.
"Pertanyaannya adalah, apakah risiko-risiko ini akan membebani prospek perekonomian? Kami akan bertindak jika dibutuhkan, termasuk kalau memungkinkan, menggunakan berbagai instrumen untuk menjaga ekspansi (ekonomi)," tuturnya, mengutip Reuters.
Akan tetapi kinerja pasar keuangan dalam negeri dibatasi oleh hasil rapat bulanan Bank Indonesia (BI). Pasca melakukan rapat selama dua hari (19-20/6/2019), BI memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan (7-Day Reverse Repo Rate/7-DRRR) di level 6%.
Sejatinya, keputusan tersebut sudah sesuai perkiraan. Dari 11 ekonom yang berhasil dihimpun CNBC Indonesia, empat di antaranya memproyeksikan pemangkasan sebesar 25 bps, sementara sisanya memandang bahwa 7-DRRR masih akan ditahan di level 6%.
Namun, hal yang paling ditunggu pelaku pasar adalah paparan BI terkait dengan peluang pemangkasan tingkat suku bunga acuan ke depan.
Sayangnya, BI masih terlihat ragu untuk memangkas tingkat suku bunga acuan. Gubernur BI, Perry Warjiyo menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global, utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.
"...sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga," kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Memang, masih ada stimulus yang diberikan oleh BI, yaitu penurunan rasio Giro Wajib Minimum (GMW) bank umum menjadi 6% dari yang sebelumnya 6,5%. Sedangkan GMW bank syariah turun menjadi 4,5% dari yang sebelumnya 5%.
Kebijakan tersebut akan berlaku efektif mulai 1 Juli 2019 dan diklaim bisa menambah likuiditas perbankan hingga Rp 25 triliun.
Namun, pelonggaran rasio GWM dianggap belum cukup kuat untuk mendongkrak laju perekonomian Indonesia, mengingat peluang pemangkasan tingkat suku bunga acuan masih terbilang kecil.
Alhasil pelaku pasar merespon negatif pengumuman BI, dan membuat IHSG terkoreksi pada dua hari perdagangan terakhir di pekan lalu (Kamis dan Jumat), masing-masing sebesar 0,06% dan 0,32%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Beralih ke Wall Street, tiga indeks utama terpantau melesat sepanjang pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 2,41%, S&P 500 menguat 2,2%, dan Nasdaq Composite meroket hingga 3,02%.
Ada ada beberapa faktor yang telah mengangkat kinerja pasar saham Wall Street pekan lalu. Pertama tentu saja adalah penurunan suku bunga acuan The Fed (Federal Fund Rate/FFR) yang dipercaya akan dilakukan dalam waktu dekat. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas suku bunga acuan The Fed turun 25 basis poin pada rapat FOMC edisi Juli mencapai 71,9%. Sementara ada pula kemungkinan sebesar 28,1% dimana suku bunga acuan diturunkan hingga 50 basis poin.
Data tersebut menunjukkan bahwa kini sebagian besar pelaku pasar yakin bahwa FFR akan turun bulan depan. Penurunan suku bunga merupakan kabar baik di pasar saham karena membuat ruang yang lebih untuk meningkatkan laba emiten. Selain itu, penurunan suku bunga juga merupakan pertanda bahwa mode investasi agresif bisa dipasang, karena dunia usaha dan rumah tangga akan lebih ekspansif ke depan.
Sentimen kedua yang juga turut mengangkat kinerja Wall Street adalah perkembangan yang positif terkait hubungan dagang Amerika Serikat (AS) dengan China. Pada hari Selasa (19/6/2019) waktu setempat, Presiden AS, Donald Trump mengungkapkan dirinya sudah berbicara dengan Presiden China, Xi Jinping melalui sambungan telepon. Trump mengatakan bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk bertemu dan berdialog di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Osaka, Jepang pada 28-29 Juni mendatang.
"Sudah melakukan pembicaraan yang sangat baik melalui telepon dengan Presiden Xi dari China. Kami akan bertemu pekan depan di KTT G20. Tim kami akan memulai pembicaraan sebelum pertemuan tersebut," cuit Trump di Twitter.
Negeri Panda juga memberi sinyal-sinyal positif dengan menyatakan kesiapannya untuk kembali berdialog dengan AS.
"Kuncinya adalah menunjukkan apa yang menjadi perhatian masing-masing pihak. Kami berharap AS memperlakukan perusahaan-perusahaan China dengan adil. Saya sepakat bahwa tim kedua negara akan menjaga komunikasi untuk menyelesaikan berbagai perbedaan yang ada," papar Xi, mengutip Reuters.
Bahkan di akhir pekan, Wakil Presiden AS, Mike Pence menunda pidatonya terkait kebijakan pada China yang semula dijadwalkan pada pekan depan akibat adanya ‘sinyal positif’ hubungan dagang AS-China, berdasarkan keterangan seorang pejabat senior, mengutip Reuters.
Sederet kabar tersebut membuat risiko eskalasi perang dagang bisa sedikit diredam. Sebelumnya Trump telah beberapa kali mengancam akan memberikan tarif 25% pada produk China lain senilai US$ 325 miliar yang sebelumnya bebas bea impor.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Pada perdagangan hari Senin (24/6/2019), investor perlu mencermati beberapa sentimen yang diperkirakan akan mempengaruhi arah gerak pasar. Pertama tentu saja rilis data perdagangan internasional (ekspor-impor) Indonesia periode Mei 2019.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi 14,62% secara tahunan, sementara impor diprediksi jatuh 14,32%. Alhasil, neraca perdagangan diproyeksi membukukan defisit US$ 1,294 miliar.
Jika proyeksi ini benar terealisasi maka akan membebani kinerja rupiah. Pasalnya, neraca dagang Indonesia sudah membukukan defisit senilai US$ 2,5 miliar pada April 2019 dan merupakan yang paling dalam sepanjang sejarah. Sebelumnya, defisit paling dalam tercatat senilai US$ 2,3 miliar dan terjadi pada Juli 2013.
Kalau neraca dagang barang saja sudah membukukan defisit yang begitu dalam, tentu defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) akan sulit untuk ditekan, apalagi dihabiskan. Alhasil rupiah menjadi sangat rentan untuk terdepresiasi karena kekurangan pasokan valas di dalam negeri.
Pelemahan rupiah pada akhirnya akan mendorong investor, terutama investor asing, untuk melepas saham dan obligasi di Indonesia lantaran ada potensi mereka harus menanggung kerugian kurs.
Selain itu investor juga patut memantau perkembangan dari ketegangan antara AS dengan Iran. Akhir pekan lalu AS dibuat panas karena sebuah drone miliknya ditembak jatuh oleh Iran. Negeri Adidaya mengatakan bahwa penembakan terjadi di wilayah udara internasional. Namun, Iran bersikukuh bahwa drone tersebut terbang di atas wilayah udara mereka.
Menindaklanjuti konflik tersebut, pemerintahan Trump berencana mengenakan sanksi baru terhadap Iran pada hari Senin (24/6/2019), tapi tidak menutup kemungkinan untuk adanya negosiasi.
“Kami siap untuk bernegosiasi tanpa prasyarat. Mereka [Iran] tahu persis bagaimana menemukan kami. Saya yakin bahwa pada saat mereka [Iran] siap untuk terlibat, kita dapat memulai dialog. Saya menantikan hari itu,” ujar Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo kepada awak media, seperti yang dilansir dari Reuters.
Namun bila ternyata ketegangan antara keduanya semakin membuncah, bukan tidak mungkin konflik akan berkembang menjadi kontak senjata. Negeri Persia juga terlihat masih panas akibat merasa kedaulatannya dilanggar.
"Apa pun keputusan yang dibuat oleh pemerintah AS, kami tidak akan membiarkan batas wilayah dilanggar. Iran akan melawan dengan tegas segala agresi dan ancaman dari AS," kata Abbas Mousavi, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, mengutip Reuters.
Perang tentu saja bukan berita baik bagi pasar keuangan Indonesia. Perang akan membuat kondisi politik dan ekonomi kian tak pasti dan membuat pelaku pasar memilih untuk menahan investasi pada aset-aset berisiko.
Konflik Timur Tengah juga berpotensi mengerek harga minyak lebih tinggi lagi. Pasalnya konflik dikhawatirkan akan membuat pasokan minyak mentah global terganggu. Apalagi wilayah Timur Tengah merupakan wilayah penghasil minyak terbesar di dunia.
Bagi Indonesia, yang masih merupakan net-importir minyak, kenaikan harga punya dampak yang negatif karena dapat membuat transaksi berjalan semakin terbebani. Lagi-lagi, nilai tukar rupiah akan semakin terbebani.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/prm) Next Article Hari Penentuan! BI Umumkan Keputusan Genting Hari Ini
Dalam sepekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 1,06% secara point-to-point. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 1,19% di pasar spot. Adapun imbal hasil (yield) obligasi seri acuan tenor 10 tahun turun 28,2 basis poin (bps).
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Berlaku pula sebaliknya.
Angin segar bagi pasar keuangan Indonesia dalam beberapa hari perdagangan pertama di pekan kemarin datang dari ekspektasi bahwa Bank Sentral AS, The Fed akan menunjukkan sikap kalem (dovish) setelah menggelar rapat komite pengambil kebijakan (Federal Open Market Committee/FOMC) edisi Juni selama dua hari, yakni pada pada Selasa (18/6/2019) dan Rabu (19/6/2019) waktu setempat.
Sesuai ekspektasi, The Fed mengumumkan tingkat suku bunga acuan dipertahankan di level 2,25%-2,5%, sembari mengeluarkan nada dovish yang ditunggu-tunggu pelaku pasar pada hari Kamis (20/6/2019) dini hari waktu Indonesia.
Gubernur The Fed, Jerome Powell menyatakan bahwa prospek perekonomian AS pada dasarnya masih bagus, akan tetapi ada risiko yang semakin meningkat seperti gesekan perdagangan dengan sejumlah negara yang membuat investasi melambat. Ada pula risiko perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang dan investasi AS.
"Pertanyaannya adalah, apakah risiko-risiko ini akan membebani prospek perekonomian? Kami akan bertindak jika dibutuhkan, termasuk kalau memungkinkan, menggunakan berbagai instrumen untuk menjaga ekspansi (ekonomi)," tuturnya, mengutip Reuters.
Akan tetapi kinerja pasar keuangan dalam negeri dibatasi oleh hasil rapat bulanan Bank Indonesia (BI). Pasca melakukan rapat selama dua hari (19-20/6/2019), BI memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan (7-Day Reverse Repo Rate/7-DRRR) di level 6%.
Sejatinya, keputusan tersebut sudah sesuai perkiraan. Dari 11 ekonom yang berhasil dihimpun CNBC Indonesia, empat di antaranya memproyeksikan pemangkasan sebesar 25 bps, sementara sisanya memandang bahwa 7-DRRR masih akan ditahan di level 6%.
Namun, hal yang paling ditunggu pelaku pasar adalah paparan BI terkait dengan peluang pemangkasan tingkat suku bunga acuan ke depan.
Sayangnya, BI masih terlihat ragu untuk memangkas tingkat suku bunga acuan. Gubernur BI, Perry Warjiyo menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global, utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.
"...sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga," kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Memang, masih ada stimulus yang diberikan oleh BI, yaitu penurunan rasio Giro Wajib Minimum (GMW) bank umum menjadi 6% dari yang sebelumnya 6,5%. Sedangkan GMW bank syariah turun menjadi 4,5% dari yang sebelumnya 5%.
Kebijakan tersebut akan berlaku efektif mulai 1 Juli 2019 dan diklaim bisa menambah likuiditas perbankan hingga Rp 25 triliun.
Namun, pelonggaran rasio GWM dianggap belum cukup kuat untuk mendongkrak laju perekonomian Indonesia, mengingat peluang pemangkasan tingkat suku bunga acuan masih terbilang kecil.
Alhasil pelaku pasar merespon negatif pengumuman BI, dan membuat IHSG terkoreksi pada dua hari perdagangan terakhir di pekan lalu (Kamis dan Jumat), masing-masing sebesar 0,06% dan 0,32%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Beralih ke Wall Street, tiga indeks utama terpantau melesat sepanjang pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 2,41%, S&P 500 menguat 2,2%, dan Nasdaq Composite meroket hingga 3,02%.
Ada ada beberapa faktor yang telah mengangkat kinerja pasar saham Wall Street pekan lalu. Pertama tentu saja adalah penurunan suku bunga acuan The Fed (Federal Fund Rate/FFR) yang dipercaya akan dilakukan dalam waktu dekat. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas suku bunga acuan The Fed turun 25 basis poin pada rapat FOMC edisi Juli mencapai 71,9%. Sementara ada pula kemungkinan sebesar 28,1% dimana suku bunga acuan diturunkan hingga 50 basis poin.
Data tersebut menunjukkan bahwa kini sebagian besar pelaku pasar yakin bahwa FFR akan turun bulan depan. Penurunan suku bunga merupakan kabar baik di pasar saham karena membuat ruang yang lebih untuk meningkatkan laba emiten. Selain itu, penurunan suku bunga juga merupakan pertanda bahwa mode investasi agresif bisa dipasang, karena dunia usaha dan rumah tangga akan lebih ekspansif ke depan.
Sentimen kedua yang juga turut mengangkat kinerja Wall Street adalah perkembangan yang positif terkait hubungan dagang Amerika Serikat (AS) dengan China. Pada hari Selasa (19/6/2019) waktu setempat, Presiden AS, Donald Trump mengungkapkan dirinya sudah berbicara dengan Presiden China, Xi Jinping melalui sambungan telepon. Trump mengatakan bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk bertemu dan berdialog di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Osaka, Jepang pada 28-29 Juni mendatang.
"Sudah melakukan pembicaraan yang sangat baik melalui telepon dengan Presiden Xi dari China. Kami akan bertemu pekan depan di KTT G20. Tim kami akan memulai pembicaraan sebelum pertemuan tersebut," cuit Trump di Twitter.
Negeri Panda juga memberi sinyal-sinyal positif dengan menyatakan kesiapannya untuk kembali berdialog dengan AS.
"Kuncinya adalah menunjukkan apa yang menjadi perhatian masing-masing pihak. Kami berharap AS memperlakukan perusahaan-perusahaan China dengan adil. Saya sepakat bahwa tim kedua negara akan menjaga komunikasi untuk menyelesaikan berbagai perbedaan yang ada," papar Xi, mengutip Reuters.
Bahkan di akhir pekan, Wakil Presiden AS, Mike Pence menunda pidatonya terkait kebijakan pada China yang semula dijadwalkan pada pekan depan akibat adanya ‘sinyal positif’ hubungan dagang AS-China, berdasarkan keterangan seorang pejabat senior, mengutip Reuters.
Sederet kabar tersebut membuat risiko eskalasi perang dagang bisa sedikit diredam. Sebelumnya Trump telah beberapa kali mengancam akan memberikan tarif 25% pada produk China lain senilai US$ 325 miliar yang sebelumnya bebas bea impor.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Pada perdagangan hari Senin (24/6/2019), investor perlu mencermati beberapa sentimen yang diperkirakan akan mempengaruhi arah gerak pasar. Pertama tentu saja rilis data perdagangan internasional (ekspor-impor) Indonesia periode Mei 2019.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi 14,62% secara tahunan, sementara impor diprediksi jatuh 14,32%. Alhasil, neraca perdagangan diproyeksi membukukan defisit US$ 1,294 miliar.
Jika proyeksi ini benar terealisasi maka akan membebani kinerja rupiah. Pasalnya, neraca dagang Indonesia sudah membukukan defisit senilai US$ 2,5 miliar pada April 2019 dan merupakan yang paling dalam sepanjang sejarah. Sebelumnya, defisit paling dalam tercatat senilai US$ 2,3 miliar dan terjadi pada Juli 2013.
Kalau neraca dagang barang saja sudah membukukan defisit yang begitu dalam, tentu defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) akan sulit untuk ditekan, apalagi dihabiskan. Alhasil rupiah menjadi sangat rentan untuk terdepresiasi karena kekurangan pasokan valas di dalam negeri.
Pelemahan rupiah pada akhirnya akan mendorong investor, terutama investor asing, untuk melepas saham dan obligasi di Indonesia lantaran ada potensi mereka harus menanggung kerugian kurs.
Selain itu investor juga patut memantau perkembangan dari ketegangan antara AS dengan Iran. Akhir pekan lalu AS dibuat panas karena sebuah drone miliknya ditembak jatuh oleh Iran. Negeri Adidaya mengatakan bahwa penembakan terjadi di wilayah udara internasional. Namun, Iran bersikukuh bahwa drone tersebut terbang di atas wilayah udara mereka.
Menindaklanjuti konflik tersebut, pemerintahan Trump berencana mengenakan sanksi baru terhadap Iran pada hari Senin (24/6/2019), tapi tidak menutup kemungkinan untuk adanya negosiasi.
“Kami siap untuk bernegosiasi tanpa prasyarat. Mereka [Iran] tahu persis bagaimana menemukan kami. Saya yakin bahwa pada saat mereka [Iran] siap untuk terlibat, kita dapat memulai dialog. Saya menantikan hari itu,” ujar Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo kepada awak media, seperti yang dilansir dari Reuters.
Namun bila ternyata ketegangan antara keduanya semakin membuncah, bukan tidak mungkin konflik akan berkembang menjadi kontak senjata. Negeri Persia juga terlihat masih panas akibat merasa kedaulatannya dilanggar.
"Apa pun keputusan yang dibuat oleh pemerintah AS, kami tidak akan membiarkan batas wilayah dilanggar. Iran akan melawan dengan tegas segala agresi dan ancaman dari AS," kata Abbas Mousavi, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, mengutip Reuters.
Perang tentu saja bukan berita baik bagi pasar keuangan Indonesia. Perang akan membuat kondisi politik dan ekonomi kian tak pasti dan membuat pelaku pasar memilih untuk menahan investasi pada aset-aset berisiko.
Konflik Timur Tengah juga berpotensi mengerek harga minyak lebih tinggi lagi. Pasalnya konflik dikhawatirkan akan membuat pasokan minyak mentah global terganggu. Apalagi wilayah Timur Tengah merupakan wilayah penghasil minyak terbesar di dunia.
Bagi Indonesia, yang masih merupakan net-importir minyak, kenaikan harga punya dampak yang negatif karena dapat membuat transaksi berjalan semakin terbebani. Lagi-lagi, nilai tukar rupiah akan semakin terbebani.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:
- Rilis data neraca dagang (ekspor-impor) Indonesia periode Mei (11:00 WIB)
- Rilis Indeks Iklim Usaha Ifo Jerman periode Juni (15:00 WIB)
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2019 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Mei 2019 YoY) | 3,32% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2019) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Q I-2019) | -2,6% PDB |
Neraca pembayaran (Q I-2019) | US$ 2,42 miliar |
Cadangan devisa (Mei 2019) | US$ 120,35 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/prm) Next Article Hari Penentuan! BI Umumkan Keputusan Genting Hari Ini
Most Popular