Newsletter

TGIF! Semoga Ada Happy Weekend Buat IHSG dan Rupiah...

Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 June 2019 06:11
TGIF! Semoga Ada <i>Happy Weekend</i> Buat IHSG dan Rupiah...
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengalami koreksi pada perdagangan kemarin. Sentimen domestik yang tidak suportif membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah melemah. 

Kemarin, IHSG ditutup berkurang 0,05%. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terdepresiasi 0,32%. 

Sepertinya sentimen domestik dominan menjadi penyebab pelemahan rupiah dan IHSG. Pertama, Bank Indonesia (BI) mengumumkan cadangan devisa pada Mei sebesar US$ 120,3 miliar. Turun drastis dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar US$ 124,3 miliar. 

Cadangan devisa yang anjlok US$ 4 miliar tersebut tampaknya membuat investor cemas. Meski masih memadai, tetapi amunisi BI untuk melakukan stabilisasi nilai tukar menjadi lebih terbatas. Kekhawatiran investor mengenai nasib rupiah ke depan membuat aset-aset berbasis mata uang ini mengalami tekanan jual. 

Kedua, IHSG dan rupiah sudah menguat lumayan tajam. Sampai kemarin, rupiah sudah menguat empat hari beruntun dengan apresiasi mencapai 1,15%. Sedangkan IHSG menguat 1,03% sejak akhir Mei. 

Penguatan yang sudah lumayan tajam ini tentu menggoda investor untuk mencairkan keuntungan. IHSG dan rupiah yang terpapar aksi jual pun mau tidak mau melemah. 


Dua sentimen ini berhasil menutup rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang positif. Bank Indonesia (BI) melaporkan IKK pada Mei adalah 128,2 naik tipis dibandingkan April yaitu 128,1. Meski hanya naik 0,1 poin, tetapi angka IKK Mei menjadi yang terbaik sejak Januari 2012. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama berhasil menguat setelah terkoreksi selama dua hari beruntun. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,39%, Standard and Poor's terangkat 0,41%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,57%. 

Ya, koreksi yang terjadi selama dua hari sebelumnya memuat harga saham di bursa New York relatif lebih murah. Ini membuat investor tertarik dan melakukan aksi beli. 

Penguatan Wall Street didorong oleh saham-saham sektor energi. Indeks sektor energi di S&P 500 naik 1,26%, tertinggi di antara yang lainnya. 

Pelaku pasar bernafsu mengoleksi saham emiten energi karena kenaikan harga minyak. Pada pukul 05:10 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet melonjak masing-masing 2,1% dan 1,88%. 

Lonjakan harga si emas hitam disebabkan oleh tensi geopolitik Timur Tengah yang memanas. Dua tanker, yaitu Front Altair (berbendera Marshal Island) dan Kokuka Courageous (berbendera Panama), diserang di wilayah Teluk Oman, dekat dengan Selay Hormuz. 

"Kapal diduga mengalami serangan torpedo. Namun kargo masih utuh," ungkap manajer Kokuka Courageous, mengutip Reuters. 

Kejadian ini mengundang perhatian internasional. The United Kingdom Maritime Trade Operations, bagian dari Angkatan Laut Inggris, menyatakan sedang melakukan penyelidikan. 


Serangan terhadap kapal kargo di wilayah Timur Tengah bukan yang pertama. Belum lama ini, kapal milik Uni Emirat Arab juga rusak setelah berkontak dengan ranjau laut yang menurut AS adalah milik Iran. 

Peningkatan eskalasi di Timur Tengah, apalagi kalau sampai berujung pada konflik bersenjata, dikhawatirkan akan mempengaruhi pasokan minyak dunia. Sebab, Timur Tengah adalah kawasan penghasil minyak terbesar di dunia. Ketika pasokan minyak dari kawasan ini bermasalah, maka tentunya mempengaruhi harga minyak di pasar global. 

Kemudian, kebangkitan Wall Street juga dipicu oleh rilis data ekonomi terbaru di Negeri Paman Sam. Pada Mei, inflasi impor di AS turun 0,3% month-on-month (MoM). Ini merupakan penurunan pertama sejak Desember 2018. 

Kemudian secara year-on-year (YoY), inflasi impor terkontraksi 1,5%. Kontraksi ini menjadi yang paling dalam sejak Agustus 2016. 

Perlambatan inflasi impor menunjukkan kelesuan di tingkat konsumen. Mulai terlihat ada perlambatan konsumsi sehingga dunia usaha pun ragu menaikkan harga produk yang didatangkan dari luar negeri. 

Situasi ini membuat pelaku pasar semakin yakin bahwa The Federal Reserves/The Fed akan menurunkan suku bunga acuan dalam waktu dekat. Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan memulai siklus pemangkasan Federal Funds Rate dengan menurunkan 25 basis poin (bps) pada bulan depan. Probabilitas suku bunga acuan AS berada di 2-2,25% pada Juli mencapai 64%. 

Bagi pasar saham, penurunan suku bunga acuan adalah berkah karena diharapkan dapat mendongkrak laba emiten. Prospek penurunan suku bunga yang semakin nyata membuat pelaku pasar bersemangat sehingga Wall Street pun terangkat. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah dinamika di Wall Street yang cukup positif. Semoga optimisme di Wall Street menular ke Asia, termasuk Indonesia. 

Kedua, seperti yang mewarnai Wall Street, investor perlu terus memantau perkembangan harga minyak. Jika di pasar saham kenaikan harga minyak bisa menjadi berkah karena mendongkrak laba emiten, maka di pasar valas dampaknya mungkin berbeda terutama buat rupiah. 

Indonesia adalah negara net importir minyak, impor adalah sebuah keniscayaan karena produksi dalam negeri masih belum cukup untuk memenuhi permintaan. Saat harga minyak naik, biaya impor minyak akan membengkak sehingga menambah beban di transaksi berjalan (current account). 

Transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi nilai tukar, karena mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Ketika defisit transaksi berjalan semakin parah karena tingginya impor minyak, jangan heran kalau rupiah rawan melemah. 


Sentimen ketiga adalah dari Inggris, di mana Partai Konservatif menggelar pemilihan untuk menentukan pengganti Theresa May sebagai perdana menteri. May memutuskan mundur dan sosok penggantinya masih merupakan jatah Tories, karena Pemilu di Inggris baru dihelat pada 2022. 

Dalam proses voting pertama, nama Boris Johnson keluar sebagai pengumpul suara terbanyak. Sementara tiga calon lainnya yaitu Mark Harper, Andrea Leadsom, dan Esther McVey dipastikan gugur, tidak bisa ikut proses selanjutnya karena minim perolehan suara. 

Johnson meraup 114 suara, unggul jauh dari pesaing terdekatnya Jeremy Hunt (43 suara). Posisi ketiga ditempat Michael Gove (37 suara). Total ada tujuh kandidat yang bakal ikut serta dalam voting tahap II yang akan digelar pekan depan. 

Melihat kondisi sekarang, sepertinya Johnson bisa melenggang mulus ke Jalan Downing Nomor 10. Rumah judi memasang probabilitas Johnson menjadi perdana menteri mencapai 70%. 

Johnson adalah figur kontroversial dan seorang euroskeptik. Oleh karena itu, ada sedikit kekhawatiran bahwa Johnson akan membuat Inggris keluar dari Uni Eropa dengan cara apa pun, termasuk No Deal Brexit (Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kompensasi). 

Ketidakpastian dari Inggris terkait pergantian kepemimpinan bisa membuat pelaku pasar memilih bermain aman. Sampai semua tenang, lebih baik jangan 'bermain api' dulu. 

Jika ini terjadi, maka aset-aset di negara berkembang akan kekurangan peminat. Tentu menjadi kabar buruk bagi IHSG dan rupiah. 

Sentimen keempat, investor juga masih perlu memantau segala kabar terkait perang dagang AS-China. Terutama soal kepastian pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping di KTT G20 di Osaka (Jepang) akhir bulan ini. 

Sejauh ini Washington masih ingin kedua pemimpin itu bertemu dan bisa membuka jalan menuju damai dagang, seperti yang terjadi di Buenos Aires (Argentina) akhir tahun lalu. "Namun belum ada proses formalisasi," ujar Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengutip Reuters. 

"Prinsip dasar (dialog dagang) adalah kerja sama. China tidak akan bernegosiasi untuk sebuah hal yang sangat prinsip," tegas Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, dikutip dari Reuters. 

Sepertinya hubungan Washington-Beijing masih renggang, belum ada titik terang seputar pertemuan Trump-Xi di Osaka. Kita tunggu saja, semoga hari ini ada berita yang melegakan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data penjualan barang ritel China periode Mei (09:00 WIB).
  • Rilis data produksi industrial China periode Mei (09:00 WIB).
  • Rilis data produksi Industrial Jepang periode April (11:30 WIB).
  • Rilis data penjualan ritel AS periode Mei (19:30 WIB).
  • Rilis pembacaan kedua Indeks Sentimen Konsumen AS periode Juni versi Universitas Michigan (21:00 WIB). 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2019 YoY)5,17%
Inflasi (Mei 2019 YoY)3,32%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q I-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (Q I-2019)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (Mei 2019)US$ 120,35 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Kalau IHSG dan Rupiah Melemah, Itu Gara-gara Jerome Powell

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular