Dikeroyok Sentimen Negatif, Rupiah Jadi Juru Kunci Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 June 2019 16:31
Dikeroyok Sentimen Negatif, Rupiah Jadi Juru Kunci Asia
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Berbagai sentimen menjadi pemberat laju mata uang Tanah Air. 

Pada Kamis (13/6/2019), US$ 1 dihargai Rp 14.265 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,25% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Kala pembukaan pasar, rupiah masih belum melemah meski tidak menguat juga. Stagnan saja di Rp 14.230/US$. 

Namun itu tidak lama, karena kemudian rupiah terpeleset ke zona merah. Bak berdiri di pasir hisap, depresiasi rupiah cenderung semakin dalam. 

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini: 

 

Di level Asia, rupiah bukan satu-satunya mata uang yang melemah terhadap dolar AS. Yuan China, dolar Hong Kong, rupee India, sampai ringgit Malaysia juga terlempar ke jalur merah. 

Namun di antara mata uang tersebut, depresiasi rupiah jadi yang paling dalam. Rupiah pun resmi menjadi mata uang terlemah di Asia, sang juru kunci. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 16: WIB: 

 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Apa mau dikata, hari ini memang tidak ada sentimen yang bisa menguatkan rupiah. Justru yang ramai adalah sentimen negatif. 

Pertama, rupiah rentan terkena koreksi teknikal karena sudah menguat cukup tajam. Sampai kemarin, rupiah menguat empat hari beruntun dengan apresiasi mencapai 1,15%. 

Penguatan yang sudah lumayan tinggi ini kemungkinan menggoda investor untuk mencairkan cuan. Ketika ini terjadi, maka rupiah rawan mengalami tekanan jual sehingga nilainya melemah. 


Kedua, Bank Indonesia (BI) mengumumkan cadangan devisa pada Mei sebesar US$ 120,3 miliar. Turun drastis dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar US$ 124,3 miliar. 

Cadangan devisa yang anjlok US$ 4 miliar tersebut tampaknya membuat investor cemas. Meski masih memadai, tetapi amunisi BI untuk melakukan stabilisasi nilai tukar menjadi lebih terbatas. Kekhawatiran investor mengenai nasib rupiah ke depan membuat mata uang ini mengalami tekanan jual. 

Ketiga, ini sudah masuk Juni yang mendekati akhir kuartal II. Biasanya momentum seperti ini adalah musim pembayaran dividen.  

Korporasi asing yang beroperasi di Indonesia mulai menyetorkan kewajiban dividen ke kantor pusatnya di luar negeri. Permintaan valas korporasi yang meningkat membuat rupiah melemah. 

Keempat, harga minyak yang sempat anjlok sampai 4% dini hari tadi kini menguat signifikan. Pada pukul 15:55 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet melesat masing-masing 2,95% dan 2,58%. 

Lonjakan harga si emas hitam disebabkan oleh tensi geopolitik Timur Tengah yang memanas. Dua tanker, yaitu Front Altair (berbendera Marshal Island) dan Kokuka Courageous (berbendera Panama), diserang di wilayah Teluk Oman, dekat dengan Selay Hormuz. 

"Kapal diduga mengalami serangan torpedo. Namun kargo masih utuh," ungkap manajer Kokuka Courageous, mengutip Reuters. 

Kejadian ini mengundang perhatian internasional. The United Kingdom Maritime Trade Operations, bagian dari Angkatan Laut Inggris, menyatakan sedang melakukan penyelidikan. 


Serangan terhadap kapal kargo di wilayah Timur Tengah bukan yang pertama. Belum lama ini, kapal milik Uni Emirat Arab juga rusak setelah berkontak dengan ranjau laut yang menurut AS adalah milik Iran. 

Peningkatan eskalasi di Timur Tengah, apalagi kalau sampai berujung pada konflik bersenjata, dikhawatirkan akan mempengaruhi pasokan minyak dunia. Sebab, Timur Tengah adalah kawasan penghasil minyak terbesar di dunia. Ketika pasokan minyak dari kawasan ini bermasalah, maka tentunya mempengaruhi harga minyak di pasar global. 

Buat rupiah, kenaikan harga minyak bukan berita baik. Kenaikan harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini membengkak. Padahal Indonesia mau tidak mau harus mengimpor minyak, karena produksi dalam negeri yang belum juga memadai. 

Jika impor minyak meningkat, maka tekanan yang di transaksi berjalan (current account) akan semakin besar. Devisa dari ekspor-impor barang jasa mengkerut, fondasi penopang rupiah menjadi rapuh. Akibatnya rupiah pun rentan terdepresiasi.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular