Newsletter

Waspadalah, Waspadalah! The Fed Kini Tak Kalem Lagi!

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
02 May 2019 05:17
Waspadalah, Waspadalah! The Fed Kini Tak Kalem Lagi!
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia diliburkan pada perdagangan kemarin seiring peringatan Hari Buruh Sedunia. Kemarin, seluruh bursa saham utama Asia juga diliburkan. 

Sekedar mengingatkan, pada perdagangan terakhir sebelum libur Hari Buruh Sedunia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil ditutup menguat 0,46%. Ini menjadi penguatan yang ketiga secara beruntun. 

IHSG menguat kala mayoritas bursa saham utama kawasan Asia ditutup melemah. Indeks Hang Seng turun 0,65%, Straits Times terkoreksi 0,2%, dan Kospi minus 0,58%. 


Sementara itu, nilai tukar rupiah melemah 0,35% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Mayoritas mata uang negara-negara Asia memang terkulai di hadapan greenback. 

Pelaku pasar keuangan Asia dipaksa bermain aman sembari menantikan perkembangan negosiasi dagang AS-China. Mulai hari Selasa kemarin, delegasi AS menggelar dialog dagang lanjutan dengan China di Beijing. Delegasi AS dipimpin oleh Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin, sementara delegasi China dikomandoi oleh Wakil Perdana Menteri Liu He. 

Menjelang dimulainya negosiasi, pernyataan defensif diungkapkan oleh Mnuchin. Menurutnya, walaupun kedua negara sudah mendekati sebuah kesepakatan, kini negosiasi memasuki tahap di mana sebuah kesepakatan bisa diteken atau justru berakhir buntu. 

"Kami berharap bahwa dalam dua pertemuan di China dan (Washington) DC kami akan berada dalam suatu titik di mana kami dapat memberikan rekomendasi kepada presiden apakah kami dapat meneken kesepakatan atau tidak," papar Mnuchin ketika diwawancarai oleh Fox Business, seperti dilansir dari South China Morning Post. 

Jika AS dan China justru gagal mencapai kesepakatan dagang, balas-membalas bea masuk bisa semakin tereskalasi dan semakin menekan laju perekonomian kedua negara, yang pada akhirnya akan berdampak negatif kepada perekonomian dunia. 

Beruntung kinclongnya laporan keuangan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) berhasil mendongkrak kinerja IHSG. Sepanjang kuartal-I 2019, PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) melaporkan pendapatan senilai Rp 19,17 triliun, mengalahkan konsensus yang dihimpun Refinitiv senilai Rp 18,65 triliun.  

Sementara itu, laba bersih tercatat senilai Rp 1,35 triliun, mengimplikasikan kenaikan sebesar 13,5% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Margin bersih perusahaan tercatat naik dari 6,74% pada kuartal I-2018 menjadi 7,04% pada kuartal I-2019. 

Sementara itu, sepanjang tiga bulan pertama tahun ini, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) melaporkan penjualan senilai Rp 11,26 triliun, mengalahkan konsensus yang senilai Rp 10,95 triliun. Laba bersih perusahaan tercatat senilai Rp 1,34 triliun, mengimplikasikan pertumbuhan sebesar 10,2% dibandingkan capaian kuartal-I 2018. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Kewaspadaan patut ditingkatkan karena tiga indeks utama di Wall Street melemah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) berakhir minus 0,61%, S&P 500 terkoreksi 0,75%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,57%. 

Hasil rapat komite pengambil kebijakan The Federal Reserve/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) yang digadang-gadang bakal melicinkan jalan Wall Street ke zona hijau justru membuatnya terjatuh. Sebab, pelaku pasar terlanjur berekspektasi bahwa Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan kembali menahan suku bunga acuan di 2,25-2,5% sembari mengeluarkan pernyataan bernada kalem (dovish). 

Bahkan investor sudah berani menebak suku bunga acuan bisa turun tahun ini. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas Federal Funds Rate pada akhir 2019 berada di 2-2,25% atau turun 25 basis poin (bps) kemarin berada di angka 41%. Lebih tinggi ketimbang tetap di 2,25-2,5% yaitu 34%. 


Namun semua perkiraan itu kandas. Bagai sebuah peluang matang yang gagal berbuah gol, yang ada justru membuat lawan punya momentum untuk melakukan serangan balik. 

The Fed memang masih mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5%. Namun pernyataan yang menyertainya jauh dari kata dovish

"Kami merasa stance kebijakan kami masih layak dipertahankan untuk saat ini. Kami tidak melihat ada tanda-tanda yang kuat untuk menuju ke arah sebaliknya. Saya melihat kita dalam jalur yang benar," tegas Powell dalam konferensi pers usai rapat, mengutip Reuters. 

Well, Powell ada benarnya. Pada kuartal I-2019, pembacaan awal pertumbuhan ekonomi AS berada di angka 3,2% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Jauh lebih baik dibandingkan proyeksi The Fed yaitu 2,4%. 

"Pasar tenaga kerja tetap kuat. Ekonomi juga tumbuh solid. Apa yang kami putuskan hari ini sebaiknya tidak dibaca sebagai sinyal perubahan kebijakan pada masa mendatang," tambahnya. 

Soal inflasi, Powell menilai The Fed masih bisa bersabar. Sebab belum ada pertanda yang konsisten bahwa inflasi di Negeri Paman Sam stabil di bawah target 2%. 

"Kalau inflasi bergerak secara persisten di bawah (target), maka itu baru sesuatu yang perlu diperhatikan dan kami akan masukkan dalam pengambilan kebijakan. Namun saat ini, kami masih bisa bersabar," sebutnya. 

Komentar yang jauh dari kesan dovish ini membuat investor kecele. Apa yang diharapkan ternyata jauh dari kenyataan. Malah jadi bumerang yang berbalik menyerang. 

Dinamika di CME Fedwatch langsung berubah. Kini peluang The Fed mempertahankan suku bunga acuan hingga akhir tahun ini mencapai 47,1%. Lebih tinggi ketimbang turun 25 bps yang menjadi 38,8%. 

Hawa suku bunga rendah yang batal tercipta membuat risk appetite investor sirna. Pelaku pasar pun kembali aktif berburu aset-aset aman, salah satunya dolar AS. 

Pada pukul 04:42 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,18%. Padahal sampai malam tadi, sebelum rilis hasil rapat FOMC, indeks ini setia di jalur merah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu Wall Street yang berakhir di zona merah. Ditambah dengan jetlag seusai libur Mayday, investor di pasar bisa kehilangan gairah. Tentu bukan kabar baik buat IHSG dkk. 

Sentimen kedua adalah respons investor terhadap hasil rapat The Fed. Sepertinya sentimen ini akan menjadi pemeran utama, dominan memberi arah pergerakan pasar. 

Wall Street sudah merasakan betapa ampuhnya sentimen ini membuat investor berputar 180 derajat. Dari optimistis menjadi sangat hati-hati, dari agresif menjadi sangat konservatif. 

Kemungkinan besar hal serupa juga akan terjadi di pasar keuangan Benua Kuning, termasuk Indonesia. Perburuan terhadap aset-aset berisiko di negara berkembang akan sepi, sebaliknya arus modal akan menyemut di hadapan dolar AS. 

Oleh karena itu, sepertinya dolar AS akan perkasa pada perdagangan hari ini. Nasib rupiah menjadi tidak menentu, dan kalau melemah lagi maka derita mata uang Tanah Air akan semakin panjang. 


Namun, rupiah bisa terbantu oleh sentimen ketiga yaitu harga minyak. Pada pukul 04:44 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet turun masing-masing 0,95% dan 0,45%. 

Penyebab koreksi harga si emas hitam adalah persepsi pasokan yang berlimpah. US Energy Information Administration mencatat stok minyak AS pada pekan lalu naik 9,9 juta barel menjadi 470,6 juta barel. Ini merupakan stok terbanyak sejak September 2017. 

Produksi minyak Negeri Adidaya pun semakin bertambah, kini mencapai 12,3 juta barel/hari. AS menjadi negara penghasil minyak nomor satu di dunia. Akibat stok minyak AS yang meluber, harga pun tertarik ke bawah.   

Koreksi harga minyak bisa menjadi kabar gembira buat rupiah. Sebagai negara net importir minyak, penurunan harga komoditas ini tentu sangat membantu menurunkan defisit di transaksi berjalan (current account). 

Saat defisit transaksi berjalan lebih baik, maka rupiah akan punya modal yang lebih untuk menguat. Sebab ada pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa yang lebih memadai. 

Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data inflasi oleh Badan Pusat Statistik. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi April secara bulanan (month-to-month/MoM) sebesar 0,3%. Sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) ada di 2,665% dan inflasi inti tahunan diperkirakan 3,035%.


Memang ada percepatan dibandingkan Maret, tetapi tidak signifikan. Oleh karena itu, jika realisasi data inflasi tidak jauh dari konsensus maka dampaknya tidak kemungkinan tidak akan terlalu besar. Datar-datar saja, netral lah. Kecuali kenyataannya melenceng jauh dari perkiraan, mungkin bisa menjadi sentimen besar yang menggerakkan pasar.

Namun sepertinya sentimen utama yang harus diwaspadai tetap buntut dari hasil rapat The Fed yang tak lagi dovish. Waspadalah, waspadalah! 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data tingkat inflasi Korea Selatan periode April (06:00 WIB).
  • Rilis data Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia periode April versi Nikkei (07:30 WIB).
  • Rilis data tingkat inflasi Indonesia periode April (11:00 WIB).
  • Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada 27 April (19:30 WIB).
  • Rilis data pesanan pabrik AS periode Maret (21:00 WIB). 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Maret 2019 YoY)2,48%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (April 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Maret 2019)US$ 124,54 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular