Update Polling CNBC Indonesia

Konsensus: Neraca Dagang Maret Diramal Defisit US$ 217 Juta

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 April 2019 14:06
Konsensus: Neraca Dagang Maret Diramal Defisit US$ 217 Juta
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
  • Menambah proyeksi dari Bahana Sekuritas

Jakarta, CNBC Indonesia -
Neraca perdagangan Indonesia diperkirakan defisit pada Maret. Sepertinya perlambatan ekonomi global sudah mulai terasa mengganggu kinerja ekspor Indonesia, yang menyebabkan neraca perdagangan tekor.

 
Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional edisi Maret pada awal pekan depan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi alias minus 10,75% year-on-year (YoY). 

Sementara impor juga diperkirakan terkontraksi, tetapi hanya 4,15% YoY. Ini membuat neraca perdagangan diramal defisit US$ 217 juta. 

InstitusiPertumbuhan Ekspor (%YoY)Pertumbuhan Impor (%YoY)Neraca Perdagangan (US$ Juta)
CIMB Niaga-10-6430
ING-2.6-2.1502
BCA-14-5.5-263
Maybank Indonesia-9.50.73-464
Moody's Analytics---230
Bank Permata-14.65-4.81-464
Barclays-7-3-1,500
ANZ-7.6-176
Standard Chartered-12.9-4.6-217
Bank Danamon-11.5-3.7-137
Bahana Sekuritas-18.06-11.9639
MEDIAN-10.75-4.15-217
 
Melihat proyeksi tersebut, sepertinya kontraksi di sisi ekspor menjadi penyebab utama defisit neraca perdagangan. Apa yang ditakutkan selama ini rasanya mulai menjadi kenyataan. Perlambatan ekonomi global ternyata bukan sekadar mitos, tetapi sebuah kenyataan. 

Mari kita tengok kondisi ekonomi di sejumlah negara tujuan utama ekspor Indonesia. Pertama di China. Pada Maret, inflasi di China tercatat 2,3% YoY, laju tercepat sejak Oktober 2018. 

Namun inflasi ini lebih disebabkan oleh lonjakan harga daging babi. Akibat wabah flu babi di Afrika, pasokan si sapi pendek di Negeri Tirai Bambu menjadi langka sehingga harganya meroket dan mendorong inflasi. 

Sejatinya daya beli di China masih so-so, belum terlihat ada kenaikan. Ini tercermin dari laju inflasi inti yang pada Maret tercatat 1,82% YoY, sama seperti bulan sebelumnya. 



Konsumsi China yang masih berjalan perlahan tentu akan mempengaruhi permintaan produk impor, termasuk dari Indonesia. Dengan posisi China sebagai negara tujuan ekspor nomor 1 bagi Indonesia, tentu dampaknya signifikan. 

Lalu AS, yang merupakan negara tujuan ekspor nomor 2 bagi Indonesia. Data-data ekonomi di Negeri Paman cukup mengecewakan. 

Pemesanan baru barang tahan lama (durable goods) made in USA pada Februari turun 1,6% dibandingkan bulan sebelumnya. Kemudian angka Purchasing Managers Index (PMI) non-manufaktur versi PMI pada Maret ada di 56,1, turun drastis dibandingkan Februari yang masih 59,7. PMI non-manufaktur pada Maret menjadi yang terendah sejak Agustus 2017. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Kemudian Jepang. Laju inflasi Negeri Matahari Terbit pada Februari adalah 0,2% YoY. Tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya, masih menjadi laju paling lemah sejak November 2016 atau hampir 3 tahun. 



Seperti di China, inflasi inti Jepang juga tidak banyak berubah. Bahkan pada Februari, inflasi inti Jepang yang 0,7% melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 0,8%.

Jepang masih terjebak dalam stagnasi ekonomi, bahkan sekarang sepertinya tambah parah. Dengan posisinya di peringkat ketiga negara tujuan ekspor Indonesia, masalah di Jepang tentu mempengaruhi ekspor secara keseluruhan. 

Terpapar nyata bahwa ada masalah di negara-negara tujuan ekspor Indonesia. Ketika di sana ada masalah, maka permintaan terhadap produk-produk Indonesia pun menurun. 

Namun untungnya, impor pun ikut terkontraksi meski tidak setajam penurunan ekspor. Sepertinya penurunan impor disebabkan oleh pelemahan rupiah. Sepanjang Maret, rupiah melemah 1,14%. 

 

Saat rupiah melemah, produk-produk impor menjadi lebih mahal. Ini sedikit banyak akan mengurangi hasrat dunia usaha untuk melakukan impor, terutama barang-barang konsumsi yang tidak perlu.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular