
Newsletter
Damai Dagang Sudah Basi atau Masih Bisa 'Dimakan' Nih?
Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 March 2019 05:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kompak mengalami koreksi pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, sampai harga obligasi pemerintah semuanya melemah.
Kemarin, IHSG ditutup turun 0,18%. Padahal indeks saham utama Asia mayoritas menguat bahkan cukup signifikan, misalya Nikkei 225 (1,02%) dan Shanghai Composite (1,12%).
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah 0,11% di perdagangan pasar spot. Rupiah sudah melemah selama 4 hari beruntun dan belum kunjung bangkit.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 4,7 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena berkurangnya minat pelaku pasar atau bahkan ada aksi jual.
Padahal kemarin sejatinya menjadi periode yang indah bagi pasar keuangan Asia. Bagaimana tidak, hubungan AS-China yang pekan lalu sempat tegang kini kembali mesra.
Mengutip Wall Street Journal, beberapa sumber di lingkaran dalam pemerintah China mengungkapkan bahwa Beijing bersedia untuk menurunkan bea masuk dan mengurangi hambatan untuk masuknya produk-produk pertanian, farmasi, otomotif, dan lain-lain asal AS.
Selain itu, para sumber tersebut juga menyebutkan bahwa kesepakatan dagang AS-China akan ditandatangani pada 27 Maret. Sebagai bagian dari kesepakatan dagang, China berkomitmen untuk membeli gas alam senilai US$ 18 miliar dari Cheniere Energy yang berbasis di Houston, Texas.
Sikap China ini merupakan 'balas budi' terhadap kebijakan AS yang menunda kenaikan tarif bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Penundaan ini akan dituangkan dalam peraturan pemerintah yang terbit pada Kamis pekan ini waktu Washington.
"Kenaikan tarif tidak lagi layak untuk diterapkan mengingat perkembangan negosiasi yang berjalan sejak Desember 2018. Tarif akan tetap 10% sampai ada pemberitahuan selanjutnya," sebut keterangan tertulis kantor Perwakilan Dagang AS, mengutip Reuters.
Perkembangan ini membuat asa damai dagang AS-China kembali merekah. Damai dagang AS-China akan membawa kemakmuran bagi dunia, karena membuat arus perdagangan dan rantai pasok kembali semarak. Pertumbuhan ekonomi global pun bisa lebih baik.
Namun pasar keuangan Indonesia gagal memanfaatkan momentum tersebut karena sejumlah faktor. Pertama, ambil untung (profit taking) masih menghantui.
Maklum, IHSG sudah meroket 4,74% sejak awal tahun sementara dalam periode yang sama rupiah menguat 1,74% di hadapan dolar AS. Penguatan yang tajam ini tentu menggoda investor untuk mencairkan keuntungan.
Kedua, harga minyak bergerak naik sepanjang hari kemarin. Saat harga minyak mahal, tentu akan semakin membebani neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Padahal current account adalah fondasi penting bagi nilai tukar, karena mencerminkan pasokan devisa jangka panjang dari ekspor-impor barang dan jasa.
Dibayangi risiko pembengkakan defisit transaksi berjalan, prospek rupiah pun suram. Investor tentunya agak malas memegang aset berbasis rupiah yang nilainya berisiko turun.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir di zona merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,79%, S&P 500 melemah 0,39%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,23%.
Koreksi di bursa saham New York disebabkan oleh rilis data ekonomi yang kurang memuaskan. Biro Sensus AS melaporkan, belanja konstruksi pada December 2018 turun 0,6% dibandingkan bulan sebelumnya. Jauh memburuk dibandingkan pencapaian November yang naik 0,8%.
Selama 2018, belanja konstruksi naik 4,1% dibandingkan tahun sebelumnya. Meski naik, tetapi angka tersebut adalah laju paling lemah sejak 2011.
Sedangkan sentimen damai dagang, yang melambungkan Wall Street akhir pekan lalu, sepertinya sudah basi dan tidak dimakan lagi oleh pelaku pasar saham. Sentimen ini malah menjadi alasan untuk meninggalkan pasar ekuitas.
Investor sepertinya sedang lebih suka mengoleksi obligasi pemerintah AS. Yield obligasi pemerintah Negeri Paman Sam untuk seluruh tenor kompak turun, menandakan harga instrumen ini sedang naik karena tingginya minat pelaku pasar.
Untuk tenor 1 tahun, yield turun 1,3 bps. Kemudian untuk tenor 2 tahun turun 1,6 bps, 3 tahun turun 1,9 bps, 5 tahun turun 2,7 bps, 7 tahun turun 3,3 bps, 10 tahun turun 3,1 bps, dan 30 tahun turun 3,1 bps.
Tampaknya investor benar-benar menaruh harapan tinggi terhadap damai dagang AS-China. Saat AS-China sudah berdamai, tidak lagi saling hambat, maka ekspor dan investasi Negeri Paman Sam akan lebih baik. Ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi AS bakal lebih tinggi.
Saat ekonomi Negeri Adidaya melaju lebih kencang, tentu The Federal Reserves/The Fed akan campur tangan agar tidak terjadi overheating. Kenaikan suku bunga acuan kemungkinan kembali dieksekusi untuk mengendalikan laju pertumbuhan ekonomi AS supaya baik jalannya.
Kenaikan suku bunga acuan tentu akan membuat berinvestasi di AS menjadi semakin menguntungkan, khususnya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Arus modal pun mengalir deras ke pasar surat utang pemerintahan Presiden Donald Trump, meninggalkan bursa saham.
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan sudah barang tentu menjadi sentimen positif buat dolar AS. Kenaikan suku bunga acuan akan menjangkar ekspektasi inflasi, sehingga nilai mata uang tidak tergerus. Jadi memegang dolar AS saja sudah untung, dan menjadi alasan kuat bagi investor untuk menjadikan saham sebagai pilihan kesekian.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya Wall Street yang berakhir negatif. Dikhawatirkan merahnya Wall Street membuat mood pelaku pasar di Asia menjadi jelek sehingga tertular virus koreksi.
Kedua, investor juga patut waspada karena dolar AS masih melanjutkan reli. Pada pukul 04:51 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) menguat 0,09%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini sudah melesat 1,08%.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, potensi kenaikan suku bunga acuan membuat dolar AS kembali menjadi buruan. Apalagi tahun ini sepertinya The Fed kembali seng ada lawan, karena berbagai bank sentral di negara lain masih berkutat dengan kebijakan moneter longgar.
Misalnya Bank of Japan (BoJ). Kemarin, Gubernur BoJ Haruhiko Kuroda dalam paparannya di parlemen menyatakan bank sentral Negeri Matahari Terbit masih akan bersabar dalam menerapkan pelonggaran moneter. Kebijakan itu akan terus ditempuh sampai inflasi mencapai target BoJ yaitu 2%.
"Akan membutuhkan waktu yang signifikan untuk mencapai target inflasi 2%. Oleh karena itu, kami akan sabar dalam mempertahankan kebijakan stimulus untuk memastikan inflasi mencapai target," kata Kuroda, mengutip Reuters.
Pemerintah Jepang pun percaya dan mendukung penuh kebijakan BoJ. Perdana Menteri Shinzo Abe dalam kesempatan yang sama menyatakan Jepang akan sulit lolos dari kubangan deflasi tanpa kebijakan moneter longgar.
"Tanpa kebijakan moneter longgar, Jepang mungkin sekarang masih deflasi," ujarnya, mengutip Reuters.
Oleh karena itu, semakin jelas bahwa The Fed kembali menjadi satu-satunya bank sentral di negara maju yang masih berencana menaikkan suku bunga tahun ini. Sebuah kabar gembira bagi dolar AS.
Jadi, nasib rupiah hari ini sepertinya masih suram. Ada kemungkinan rupiah bisa kembali melemah karena memang dolar sedang dalam tren menanjak.
Namun ada peluang bagi rupiah untuk rebound, karena sepertinya depresiasi selama 4 hari beruntun sudah lumayan signifikan. Dalam periode tersebut, rupiah sudah melemah 0,98%. Rupiah yang sudah lumayan murah bisa menarik minat investor untuk membelinya.
Akan tetapi, rupiah juga mesti hati-hati karena sentimen ketiga yaitu harga minyak. Harga si emas hitam masih belum bosan menguat, di mana pada pukul 05:05 WIB harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,78% dan 1,18%.
Tidak seperti pasar saham, sentimen damai dagang AS-China masih dimakan oleh pasar komoditas. Kebetulan memang ada kabar terbaru soal isu ini, yang datang setelah penutupan Wall Street.
Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, menyatakan AS dan China sudah dekat untuk mengakhiri perang dagang. Dalam waktu dekat, seluruh bea masuk dan berbagai hambatan dagang (trade barrier) bisa hilang.
"Kami mencoba mengesahkan itu (kesepakatan dagang dengan China). Saya rasa kedua pihak akan segera bertemu dan sya berharap seluruh bea masuk dan hambatan dagang akan sirna," tegas Pompeo kepada stasiun televisi KCCI, dikutip dari Reuters.
Beijing pun turut menyuarakan optimisme. Zhang Yesui, Juru Bicara Parlemen China, menyatakan perundingan dagang dengan AS sudah membuahkan hasil yang signifikan.
"Kerja sama ekonomi dan perdagangan China-AS dilandasi atas manfaat bersama, win-win. Kami berharap kedua pihak akan dapat melanjutkan pembicaraan sampai menghasilkan kesepakatan. Perbedaan pendapatan dan ketidaksepahaman adalah hal yang normal, tetapi jangan sampai berujung kepada konfrontasi," kata Zhang, mengutip Reuters.
Damai dagang AS-China berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi dunia menjadi lebih baik. Artinya aktivitas ekonomi meningkat, permintaan energi naik, dan harga minyak terangkat.
Selain itu, kenaikan harga minyak juga masih disebabkan oleh pemangkasan produksi para anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). Survei Reuters mengungkapkan bahwa produksi minyak negara-negara OPEC pada Februari adalah 30,68 juta barel/hari, turun 0,98% dibandingkan bulan sebelumnya. Pemangkasan produksi ini berhasil mengatrol harga minyak sehingga naik lebih dari 20% sejak awal tahun.
Seperti yang sudah disebutkan, kenaikan harga minyak bukanlah sahabat rupiah. Kenaikan harga minyak akan membebani transaksi berjalan dan membuat rupiah semakin tertekan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Kemarin, IHSG ditutup turun 0,18%. Padahal indeks saham utama Asia mayoritas menguat bahkan cukup signifikan, misalya Nikkei 225 (1,02%) dan Shanghai Composite (1,12%).
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah 0,11% di perdagangan pasar spot. Rupiah sudah melemah selama 4 hari beruntun dan belum kunjung bangkit.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 4,7 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena berkurangnya minat pelaku pasar atau bahkan ada aksi jual.
Padahal kemarin sejatinya menjadi periode yang indah bagi pasar keuangan Asia. Bagaimana tidak, hubungan AS-China yang pekan lalu sempat tegang kini kembali mesra.
Mengutip Wall Street Journal, beberapa sumber di lingkaran dalam pemerintah China mengungkapkan bahwa Beijing bersedia untuk menurunkan bea masuk dan mengurangi hambatan untuk masuknya produk-produk pertanian, farmasi, otomotif, dan lain-lain asal AS.
Selain itu, para sumber tersebut juga menyebutkan bahwa kesepakatan dagang AS-China akan ditandatangani pada 27 Maret. Sebagai bagian dari kesepakatan dagang, China berkomitmen untuk membeli gas alam senilai US$ 18 miliar dari Cheniere Energy yang berbasis di Houston, Texas.
Sikap China ini merupakan 'balas budi' terhadap kebijakan AS yang menunda kenaikan tarif bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Penundaan ini akan dituangkan dalam peraturan pemerintah yang terbit pada Kamis pekan ini waktu Washington.
"Kenaikan tarif tidak lagi layak untuk diterapkan mengingat perkembangan negosiasi yang berjalan sejak Desember 2018. Tarif akan tetap 10% sampai ada pemberitahuan selanjutnya," sebut keterangan tertulis kantor Perwakilan Dagang AS, mengutip Reuters.
Perkembangan ini membuat asa damai dagang AS-China kembali merekah. Damai dagang AS-China akan membawa kemakmuran bagi dunia, karena membuat arus perdagangan dan rantai pasok kembali semarak. Pertumbuhan ekonomi global pun bisa lebih baik.
Namun pasar keuangan Indonesia gagal memanfaatkan momentum tersebut karena sejumlah faktor. Pertama, ambil untung (profit taking) masih menghantui.
Maklum, IHSG sudah meroket 4,74% sejak awal tahun sementara dalam periode yang sama rupiah menguat 1,74% di hadapan dolar AS. Penguatan yang tajam ini tentu menggoda investor untuk mencairkan keuntungan.
Kedua, harga minyak bergerak naik sepanjang hari kemarin. Saat harga minyak mahal, tentu akan semakin membebani neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Padahal current account adalah fondasi penting bagi nilai tukar, karena mencerminkan pasokan devisa jangka panjang dari ekspor-impor barang dan jasa.
Dibayangi risiko pembengkakan defisit transaksi berjalan, prospek rupiah pun suram. Investor tentunya agak malas memegang aset berbasis rupiah yang nilainya berisiko turun.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir di zona merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,79%, S&P 500 melemah 0,39%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,23%.
Koreksi di bursa saham New York disebabkan oleh rilis data ekonomi yang kurang memuaskan. Biro Sensus AS melaporkan, belanja konstruksi pada December 2018 turun 0,6% dibandingkan bulan sebelumnya. Jauh memburuk dibandingkan pencapaian November yang naik 0,8%.
Selama 2018, belanja konstruksi naik 4,1% dibandingkan tahun sebelumnya. Meski naik, tetapi angka tersebut adalah laju paling lemah sejak 2011.
Sedangkan sentimen damai dagang, yang melambungkan Wall Street akhir pekan lalu, sepertinya sudah basi dan tidak dimakan lagi oleh pelaku pasar saham. Sentimen ini malah menjadi alasan untuk meninggalkan pasar ekuitas.
Investor sepertinya sedang lebih suka mengoleksi obligasi pemerintah AS. Yield obligasi pemerintah Negeri Paman Sam untuk seluruh tenor kompak turun, menandakan harga instrumen ini sedang naik karena tingginya minat pelaku pasar.
Untuk tenor 1 tahun, yield turun 1,3 bps. Kemudian untuk tenor 2 tahun turun 1,6 bps, 3 tahun turun 1,9 bps, 5 tahun turun 2,7 bps, 7 tahun turun 3,3 bps, 10 tahun turun 3,1 bps, dan 30 tahun turun 3,1 bps.
Tampaknya investor benar-benar menaruh harapan tinggi terhadap damai dagang AS-China. Saat AS-China sudah berdamai, tidak lagi saling hambat, maka ekspor dan investasi Negeri Paman Sam akan lebih baik. Ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi AS bakal lebih tinggi.
Saat ekonomi Negeri Adidaya melaju lebih kencang, tentu The Federal Reserves/The Fed akan campur tangan agar tidak terjadi overheating. Kenaikan suku bunga acuan kemungkinan kembali dieksekusi untuk mengendalikan laju pertumbuhan ekonomi AS supaya baik jalannya.
Kenaikan suku bunga acuan tentu akan membuat berinvestasi di AS menjadi semakin menguntungkan, khususnya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Arus modal pun mengalir deras ke pasar surat utang pemerintahan Presiden Donald Trump, meninggalkan bursa saham.
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan sudah barang tentu menjadi sentimen positif buat dolar AS. Kenaikan suku bunga acuan akan menjangkar ekspektasi inflasi, sehingga nilai mata uang tidak tergerus. Jadi memegang dolar AS saja sudah untung, dan menjadi alasan kuat bagi investor untuk menjadikan saham sebagai pilihan kesekian.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya Wall Street yang berakhir negatif. Dikhawatirkan merahnya Wall Street membuat mood pelaku pasar di Asia menjadi jelek sehingga tertular virus koreksi.
Kedua, investor juga patut waspada karena dolar AS masih melanjutkan reli. Pada pukul 04:51 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) menguat 0,09%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini sudah melesat 1,08%.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, potensi kenaikan suku bunga acuan membuat dolar AS kembali menjadi buruan. Apalagi tahun ini sepertinya The Fed kembali seng ada lawan, karena berbagai bank sentral di negara lain masih berkutat dengan kebijakan moneter longgar.
Misalnya Bank of Japan (BoJ). Kemarin, Gubernur BoJ Haruhiko Kuroda dalam paparannya di parlemen menyatakan bank sentral Negeri Matahari Terbit masih akan bersabar dalam menerapkan pelonggaran moneter. Kebijakan itu akan terus ditempuh sampai inflasi mencapai target BoJ yaitu 2%.
"Akan membutuhkan waktu yang signifikan untuk mencapai target inflasi 2%. Oleh karena itu, kami akan sabar dalam mempertahankan kebijakan stimulus untuk memastikan inflasi mencapai target," kata Kuroda, mengutip Reuters.
Pemerintah Jepang pun percaya dan mendukung penuh kebijakan BoJ. Perdana Menteri Shinzo Abe dalam kesempatan yang sama menyatakan Jepang akan sulit lolos dari kubangan deflasi tanpa kebijakan moneter longgar.
"Tanpa kebijakan moneter longgar, Jepang mungkin sekarang masih deflasi," ujarnya, mengutip Reuters.
Oleh karena itu, semakin jelas bahwa The Fed kembali menjadi satu-satunya bank sentral di negara maju yang masih berencana menaikkan suku bunga tahun ini. Sebuah kabar gembira bagi dolar AS.
Jadi, nasib rupiah hari ini sepertinya masih suram. Ada kemungkinan rupiah bisa kembali melemah karena memang dolar sedang dalam tren menanjak.
Namun ada peluang bagi rupiah untuk rebound, karena sepertinya depresiasi selama 4 hari beruntun sudah lumayan signifikan. Dalam periode tersebut, rupiah sudah melemah 0,98%. Rupiah yang sudah lumayan murah bisa menarik minat investor untuk membelinya.
Akan tetapi, rupiah juga mesti hati-hati karena sentimen ketiga yaitu harga minyak. Harga si emas hitam masih belum bosan menguat, di mana pada pukul 05:05 WIB harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,78% dan 1,18%.
Tidak seperti pasar saham, sentimen damai dagang AS-China masih dimakan oleh pasar komoditas. Kebetulan memang ada kabar terbaru soal isu ini, yang datang setelah penutupan Wall Street.
Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, menyatakan AS dan China sudah dekat untuk mengakhiri perang dagang. Dalam waktu dekat, seluruh bea masuk dan berbagai hambatan dagang (trade barrier) bisa hilang.
"Kami mencoba mengesahkan itu (kesepakatan dagang dengan China). Saya rasa kedua pihak akan segera bertemu dan sya berharap seluruh bea masuk dan hambatan dagang akan sirna," tegas Pompeo kepada stasiun televisi KCCI, dikutip dari Reuters.
Beijing pun turut menyuarakan optimisme. Zhang Yesui, Juru Bicara Parlemen China, menyatakan perundingan dagang dengan AS sudah membuahkan hasil yang signifikan.
"Kerja sama ekonomi dan perdagangan China-AS dilandasi atas manfaat bersama, win-win. Kami berharap kedua pihak akan dapat melanjutkan pembicaraan sampai menghasilkan kesepakatan. Perbedaan pendapatan dan ketidaksepahaman adalah hal yang normal, tetapi jangan sampai berujung kepada konfrontasi," kata Zhang, mengutip Reuters.
Damai dagang AS-China berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi dunia menjadi lebih baik. Artinya aktivitas ekonomi meningkat, permintaan energi naik, dan harga minyak terangkat.
Selain itu, kenaikan harga minyak juga masih disebabkan oleh pemangkasan produksi para anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). Survei Reuters mengungkapkan bahwa produksi minyak negara-negara OPEC pada Februari adalah 30,68 juta barel/hari, turun 0,98% dibandingkan bulan sebelumnya. Pemangkasan produksi ini berhasil mengatrol harga minyak sehingga naik lebih dari 20% sejak awal tahun.
Seperti yang sudah disebutkan, kenaikan harga minyak bukanlah sahabat rupiah. Kenaikan harga minyak akan membebani transaksi berjalan dan membuat rupiah semakin tertekan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Menko Perekonomian Darmin Nasution dan sejumlah menteri Kabinet Kerja menggelar rapat koordinasi membahas Pajak Penghasilan pasal 22 dan bea masuk (17:00 WIB).
- Rilis data Murchasing Manager's Index (PMI) non-manufaktur AS periode Februari 2019 versi ISM (22:00 WIB).
- Rilis data Penjualan Rumah Baru AS periode Desember 2018 (22:00 WIB).
- Rilis data Pertumbuhan Ekonomi Korea Selatan kuartal IV-2018 (06:00 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Astra International Tbk (ASII) | Earnings Presentation | - |
PT Indosat Tbk (ISAT) | Rilis Laporan Keuangan Tahun 2018 | - |
PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) | RUPSLB | 14:00 WIB |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Februari 2019 YoY) | 2,57% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2019) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (2018) | -2,98% PDB |
Neraca pembayaran (2018) | -US$ 7,13 miliar |
Cadangan devisa (Januari 2019) | US$ 120,07 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular