
Newsletter
Ekonomi Global Kian Gloomy
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 March 2019 05:55

Dari Wall Street, tiga indeks utama kembali finis di jalur merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,27%, S&P 500 turun 0,28%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,29%.
Memang cukup banyak sentimen negatif yang menghantam Wall Street. Pertama, pernyataan Lighthizer, yang sudah membuat bursa saham New York terpeleset kemarin, kembali menjadi biang kerok hari ini.
Benar bahwa AS akan menunda kenaikan tarif bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Namun bukan berarti ada pembatalan, karena kenaikan itu masih bisa dieksekusi kapan saja.
Kedua, pelaku pasar juga cemas terhadap hasil dialog AS-Korea Utara di Vietnam. Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk walk-out dari perundingan, karena menilai permintaan Pyongyang sulit dipenuhi.
"Ini karena soal sanksi. Intinya mereka ingin sanksi dicabut seluruhnya, dan kami tidak bisa melakukan itu," ungkap Trump, mengutip Reuters.
Sementara Ri Yong Ho, Menteri Luar Negeri Korea Utara, menyatakan sebenarnya Pyongyang hanya ingin pencabutan sebagian sanksi, terutama yang terkait dengan kehidupan masyarakat dan tidak terkait dengan sanksi militer. Untuk itu, Korea Utara bersedia melucuti fasilitas pengembangan nuklir di Yongbyon, termasuk unit pengembangan plutonium dan uranium.
"Berdasarkan tingkat kepercayaan yang kini hadir di antara kedua negara, ini adalah upaya denuklirisasi maksimal yang bisa kami berikan. Sulit untuk berpikir ada yang lebih baik dari tawaran kami," tegas Ri, mengutip Reuters.
Pelaku pasar semakin stres kala Ri menyatakan mungkin ke depan tidak ada lagi kesempatan untuk berunding dengan AS. Korea Utara pun tidak akan mengubah pendiriannya.
"Mungkin kita tidak akan mendapat kesempatan seperti ini lagi. Padahal kita butuh langkah awal menuju denuklirisasi yang sepenuhnya. Posisi kami tidak akan berubah, bahkan jika AS kembali mengajak ke meja perundingan, posisi kami tidak akan berubah," papar Ri.
Hubungan Washington-Pyongyang yang agak panas-dingin ini membuat investor sedikit grogi. Akibatnya, pelaku pasar cenderung bermain aman dan meninggalkan instrumen berisiko seperti saham.
Ketiga, faktor lain yang ikut menyeret Wall Street ke zona merah adalah rilis data pertumbuhan ekonomi AS. Sepanjang 2018, ekonomi Negeri Paman Sam tumbuh 2,9% dibandingkan tahun sebelumnya atau di bawah target pemerintah yaitu 3%. Ternyata pemangkasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secepat yang diperkirakan.
Pada kuartal IV-2016, ekonomi Negeri Adidaya tumbuh 2,6% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 3,4%. Padahal pada kuartal IV ada perayaan Thanksgiving, Hari Natal, dan Tahun Baru.
Meski ada catatan di sana-sini, pertumbuhan ekonomi AS pada 2018 tetap menjadi yang terbaik sejak 2015. Mungkin pertumbuhan ekonomi AS tidak cepat, tetapi mulai stabil dan berkelanjutan (sustainable).
"Sepertinya kita mengarah ke ke laju pertumbuhan ekonomi yang lebih sustainable seperti masa-masa Barack Obama. Dengan dampak pemotongan tarif pajak yang sudah berakhir, memang sulit untuk melihat ekonomi bisa tumbuh lebih cepat," kata Joel Naroff, Kepala Ekonom di Naroff Economic Advisors yang berbasis di Pennsylvania, mengutip Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Memang cukup banyak sentimen negatif yang menghantam Wall Street. Pertama, pernyataan Lighthizer, yang sudah membuat bursa saham New York terpeleset kemarin, kembali menjadi biang kerok hari ini.
Benar bahwa AS akan menunda kenaikan tarif bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Namun bukan berarti ada pembatalan, karena kenaikan itu masih bisa dieksekusi kapan saja.
Kedua, pelaku pasar juga cemas terhadap hasil dialog AS-Korea Utara di Vietnam. Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk walk-out dari perundingan, karena menilai permintaan Pyongyang sulit dipenuhi.
"Ini karena soal sanksi. Intinya mereka ingin sanksi dicabut seluruhnya, dan kami tidak bisa melakukan itu," ungkap Trump, mengutip Reuters.
Sementara Ri Yong Ho, Menteri Luar Negeri Korea Utara, menyatakan sebenarnya Pyongyang hanya ingin pencabutan sebagian sanksi, terutama yang terkait dengan kehidupan masyarakat dan tidak terkait dengan sanksi militer. Untuk itu, Korea Utara bersedia melucuti fasilitas pengembangan nuklir di Yongbyon, termasuk unit pengembangan plutonium dan uranium.
"Berdasarkan tingkat kepercayaan yang kini hadir di antara kedua negara, ini adalah upaya denuklirisasi maksimal yang bisa kami berikan. Sulit untuk berpikir ada yang lebih baik dari tawaran kami," tegas Ri, mengutip Reuters.
Pelaku pasar semakin stres kala Ri menyatakan mungkin ke depan tidak ada lagi kesempatan untuk berunding dengan AS. Korea Utara pun tidak akan mengubah pendiriannya.
"Mungkin kita tidak akan mendapat kesempatan seperti ini lagi. Padahal kita butuh langkah awal menuju denuklirisasi yang sepenuhnya. Posisi kami tidak akan berubah, bahkan jika AS kembali mengajak ke meja perundingan, posisi kami tidak akan berubah," papar Ri.
Hubungan Washington-Pyongyang yang agak panas-dingin ini membuat investor sedikit grogi. Akibatnya, pelaku pasar cenderung bermain aman dan meninggalkan instrumen berisiko seperti saham.
Ketiga, faktor lain yang ikut menyeret Wall Street ke zona merah adalah rilis data pertumbuhan ekonomi AS. Sepanjang 2018, ekonomi Negeri Paman Sam tumbuh 2,9% dibandingkan tahun sebelumnya atau di bawah target pemerintah yaitu 3%. Ternyata pemangkasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secepat yang diperkirakan.
Pada kuartal IV-2016, ekonomi Negeri Adidaya tumbuh 2,6% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 3,4%. Padahal pada kuartal IV ada perayaan Thanksgiving, Hari Natal, dan Tahun Baru.
Meski ada catatan di sana-sini, pertumbuhan ekonomi AS pada 2018 tetap menjadi yang terbaik sejak 2015. Mungkin pertumbuhan ekonomi AS tidak cepat, tetapi mulai stabil dan berkelanjutan (sustainable).
"Sepertinya kita mengarah ke ke laju pertumbuhan ekonomi yang lebih sustainable seperti masa-masa Barack Obama. Dengan dampak pemotongan tarif pajak yang sudah berakhir, memang sulit untuk melihat ekonomi bisa tumbuh lebih cepat," kata Joel Naroff, Kepala Ekonom di Naroff Economic Advisors yang berbasis di Pennsylvania, mengutip Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular