Newsletter

Waspadai Gaduh Politik di Washington dan London

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
14 January 2019 05:45
Waspadai Gaduh Politik di Washington dan London
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu menjadi periode yang indah bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah. Risk appetite pasar yang sedang membuncah menjadi berkah bagi keduanya. 

Sepanjang pekan lalu, IHSG melesat dengan penguatan 1,38% secara point-to-point. Sementara rupiah menguat 1,58% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). 

Penyebab penguatan IHSG dan rupiah adalah dialog dagang AS-China yang berlangsung pada 7-9 Januari di Beijing. Sedianya dialog tersebut selesai pada 8 Januari, tetapi kedua pihak sepakat untuk menambah 1 hari lagi. Investor melihat hal tersebut sebagai keseriusan dan komitmen kedua negara untuk menyelesaikan masalah secara tuntas.  

Hasil pertemuan tingkat wakil menteri ini cukup memuaskan. Beijing menilai pertemuan ini bisa menjadi dasar bagi hubungan yang lebih baik dengan AS. Sedangkan delegasi dari Washington juga pulang dengan senyuman, karena memperoleh komitmen bahwa China akan membeli lebih banyak produk made in USA. 

Hubungan AS-China semakin mesra kala akhir pekan lalu tersiar kabar Wakil Perdana Menteri China Liu He akan berkunjung ke AS akhir bulan ini. Liu direncanakan akan melakukan pertemuan dengan dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer. 

"Rencananya Wakil Perdana Menteri Liu He kemungkinan besar akan datang pada akhir bulan ini. Kami akan melanjutkan pembicaraan yang telah dimulai," ungkap Mnuchin, dikutip dari Reuters. 

Pelaku pasar dan dunia usaha pun semringah. Prospek damai dagang AS-China semakin terbuka dan membawa kemakmuran bagi dunia. Arus perdagangan akan lancar sehingga pertumbuhan ekonomi global bisa terjaga positif. 

Sentimen lain yang positif bagi pasar keuangan negara berkembang adalah posisi (stance) The Federal Reserve/The Fed yang semakin hati-hati. Kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam menjadi penuh tanda tanya. 

"Dengan inflasi rendah dan terkendali, kami bisa lebih sabar dan memantau dengan saksama bagaimana narasi pada 2019," tuturnya akhir pekan lalu, mengutip Reuters. 

Pelaku pasar membaca bahwa The Fed yang semakin kurang hawkish sudah terlihat nyata. The Fed kini begitu hati-hati, begitu kalem, dan bahkan sudah berani menyebut inflasi rendah dan terkendali. 

Tidak hanya Powell, pernyataan Wakil Gubernur Richard Clarida pun kian memberi konfirmasi bahwa The Fed sudah melunak. Clarida memberi sinyal The Fed harus siap mengubah stance kebijakan menjadi ke arah pro pertumbuhan ekonomi.  

"Pertumbuhan ekonomi negara-negara lain mengalami moderasi. Perkembangan ini berdampak kepada perekonomian AS. Jika situasi ini bertahan, maka kebijakan moneter harus berubah untuk mengatasi hal tersebut," kata Clarida, mengutip Reuters. 

Akibatnya, investor bernafsu memburu cuan di instrumen-instrumen berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. Tidak ada lagi istilah bermain aman. IHSG dan rupiah pun sangat terbantu akibat sikap ini. 

Dolar AS pun kian terpuruk akibat pernyataan para pejabat The Fed tersebut. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,53% sepanjang pekan lalu. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Tidak hanya di Indonesia (dan Asia), Wall Street pun menguat tajam pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melesat 2,4%, S&P 500 melompat 2,54%, dan Nasdaq Composite melejit 3,45%.  

Meski pada perdagangan akhir pekan ketiganya mengalami koreksi tipis di mana DJIA turun 0,02%, S&P 500 melemah 0,01%, dan Nasdaq berkurang 0,21%. Koreksi ini masih wajar, karena Wall Street sudah menguat selama 5 hari beruntun. 

Seperti di Indonesia, sentimen damai dagang dan The Fed yang semakin 'kalem' juga memberi dorongan bagi bursa saham New York. Kini, investor bersiap untuk menantikan musim laporan keuangan (earnings season) yang dimulai pekan ini. 

Sektor keuangan akan memulai earnings season dengan Citigroup pada Senin waktu setempat dan JPMorgan Chase pada Selasa. Untuk sepanjang 2018, konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan rata-rata laba emiten di indeks S&P 500 akan tumbuh 23,5%. Namun pertumbuhan laba akan merosot menjadi 6,4% pada 2019 karena dampak pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang sudah selesai. 

"Namun secara umum, risiko saat ini lebih terkendali," ujar Kristina Hooper, Chief Global Market Strategist di Invesco yang berbasis di New York, mengutip Reuters. 

Wall Street masih tampak abai terhadap penutupan sebagian (partial shutdown) yang melanda pemerintahan AS. Sepertinya shutdown masih kalah dengan sentimen damai dagang AS-China dan The Fed yang tidak lagi agresif.  

Namun jika tidak ada sentimen positif lain, maka sepertinya investor akan mulai mengkhawatirkan shutdown. Pasalnya, shutdown kini sudah berlangsung selama 22 hari 17 jam pada pukul 05:00 WIB. Ini merupakan rekor shutdown terlama sepanjang sejarah Negeri Adidaya. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah koreksi yang dialami Wall Street akhir pekan lalu. Seperti halnya Wall Street, IHSG pun sudah menguat selama berhari-hari sehingga ancaman profit taking selalu menghantui. 

Kedua, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, adalah shutdown pemerintahan AS yang masih berlangsung dan seakan tanpa jalan keluar. Presiden AS Donald Trump masih berkeras ingin membangun tembok di perbatasan AS-Meksiko, sesuatu yang ditolak oleh Partai Demokrat yang kini memegang suara mayoritas di House of Representatives.  

"Mereka (Demokrat) yang menahan-nahan. Saya hanya butuh 15 menit untuk mencapai kesepakatan dan orang-orang bisa kembali bekerja," tegas Trump dalam wawancana dengan Fox News, dikutip dari Reuters. 

Ketika pemerintahan AS tidak berfungsi, maka berbagai layanan publik akan terhenti. Pada satu titik, ini akan mempengaruhi roda perekonomian AS. Perlambatan ekonomi akan semakin menjadi kala pemerintah ikut-ikutan tidak bergerak. 

AS adalah ekonomi terbesar di dunia, sehingga apa yang terjadi di sana akan dirasakan oleh negara-negara lain. Jika ekonomi AS semakin tidak bergerak gara-gara shutdown, maka negara lain akan mengalaminya.  

Investor patut mulai hati-hati terhadap sentimen ini. Sebab dengan mulai meredanya dampak damai dagang AS-China, shutdown bisa menarik perhatian dan menjadi sentimen negatif besar yang membebani. 

Ketiga, investor juga sebaiknya mulai bersiap karena pada 15 Januari waktu setempat akan diadakan pemungutan suara di parlemen Inggris untuk menentukan nasib Brexit. Theresa May, Perdana Menteri Inggris, mengingatkan bahwa apabila proposal Brexit tidak disetujui maka akan menjadi sebuah bencana besar. Inggris terancam keluar dari Uni Eropa tanpa kompensasi apa-apa alias No Deal Brexit

"Melakukan itu (menolak proposal Brexit) akan menjadi bencana dan pengkhianatan besar terhadap demokrasi. Pesan saya kepada parlemen sederhana saja, lupakan permainan (politik) dan lakukan yang benar untuk negara ini," tegas May dalam kolum di Sunday Express. 

Posisi May semakin di ujung tanduk tatkala 'serangan' dari kubu oposisi kian gencar. Jeremy Corbyn, Pemimpin Partai Buruh, menyatakan tidak ingin sampai terjadi No Deal Brexit. Namun apabila proposal Brexit yang diajukan May sampai kalah dalam voting nanti, maka dirinya akan mengajukan mosi tidak percaya kepada pemerintah. 

Meski sangat dihindari, tetapi No Deal Brexit adalah sebuah kemungkinan yang tidak bisa dikesampingkan. Menurut harian The Observer, pihak militer sudah siap membantu sejumlah instansi pemerintah untuk bersiap menghadapi No Deal Brexit

Apabila sampai terjadi No Deal Brexit, dampaknya tidak main-main. Bank Sentral Inggris (BoE) memperkirakan ekonomi Inggris bisa lebih parah dibandingkan saat krisis keuangan global. No Deal Brexit akan menyebabkan ekonomi Negeri Ratu Elizabeth terkontraksi alias minus 8% pada 2019. 

Gaduh politik di Washington dan London sepertinya akan menjadi tema besar pada pekan ini. Jika tidak ada kabar baik (seperti lanjutan damai dagang AS-China), maka dua hal ini bisa menjadi penggerak pasar ke arah pelemahan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini: 
  • Rilis neraca dagang China periode Desember 2018 (10:00 WIB).
  • Rilis data Produksi Industri Zona Euro periode November 2018 (17:00 WIB). 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY)5,17%
Inflasi (Desember 2018 YoY)3,13%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2018)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q III-2018)-3,37% PDB
Neraca pembayaran (Q III-2018)-US$ 4,39 miliar
Cadangan devisa (Desember 2018)US$ 120,7 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular