
Newsletter
2019 Memang Menantang, Tapi Bukan Berarti Sonder Harapan
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
03 January 2019 05:26

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya Wall Street yang menguat terbatas. Meski agak minim, penguatan Wall Street bisa menjadi pendorong semangat bursa saham Asia untuk mencapai zona hijau.
Sentimen kedua adalah perkembangan nilai tukar dolar AS, yang ternyata perkasa. Pada pukul 04:34 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) menguat sampai 0,66%.
Penguatan dolar AS yang cukup meyakinkan ini membalik perkiraan sebelumnya. Pelaku pasar memperkirakan 2019 adalah saat di mana dolar AS lengser dari singgasana raja mata uang dunia. Namun dolar AS ternyata belum tergoyahkan, setidaknya sampai 3 hari awal 2019.
Penyebab keperkasaan dolar AS adalah data ekonomi yang memble di Eropa, seperti yang terjadi di Asia. Data PMI Zona Euro versi IHS Markit edisi Desember 2018 berada di angka 51,4, terendah sejak Februari 2016.
Sepertinya investor masih enggan bermain api dan lebih memilih aset-aset aman. Dolar AS menjadi salah satu pilihannya (selain yen).
Apabila penguatan dolar AS terus berlangsung, maka rupiah terancam kembali terjerembab ke zona merah. Rupiah akan sulit melepaskan diri jika tekanan eksternal begitu kuat.
Sentimen ketiga, dan yang akan lagi-lagi membebani rupiah, adalah kenaikan harga minyak dunia. Pada pukul 04:50 WIB, harga minyak jenis brent melesat 2,17% sementara light sweet melonjak 2,31%.
Penguatan di bursa saham AS memberikan energi bagi harga komoditas ini. Investor sepertinya berpandangan bahwa 2019 bisa jadi tidak seburuk yang dibayangkan, masih ada secercah harapan yang membuat Wall Street mampu menguat.
Oleh karena itu, ada peluang perekonomian global tidak akan melambat seperti perkiraan. Artinya, ada kemungkinan permintaan energi masih akan naik sehingga harga si emas hitam pun terdongkrak.
Bagi rupiah, lonjakan harga minyak adalah kabar buruk. Sebab, kenaikan harga minyak aka membuat nilai impornya membengkak, meski jumlah yang diimpor tidak naik.
Ini tentu akan menjadi beban buat neraca perdagangan, dan kemudian transaksi berjalan (current account). Tanpa beking devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, rupiah akan sulit untuk menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Sentimen kedua adalah perkembangan nilai tukar dolar AS, yang ternyata perkasa. Pada pukul 04:34 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) menguat sampai 0,66%.
Penguatan dolar AS yang cukup meyakinkan ini membalik perkiraan sebelumnya. Pelaku pasar memperkirakan 2019 adalah saat di mana dolar AS lengser dari singgasana raja mata uang dunia. Namun dolar AS ternyata belum tergoyahkan, setidaknya sampai 3 hari awal 2019.
Penyebab keperkasaan dolar AS adalah data ekonomi yang memble di Eropa, seperti yang terjadi di Asia. Data PMI Zona Euro versi IHS Markit edisi Desember 2018 berada di angka 51,4, terendah sejak Februari 2016.
Sepertinya investor masih enggan bermain api dan lebih memilih aset-aset aman. Dolar AS menjadi salah satu pilihannya (selain yen).
Apabila penguatan dolar AS terus berlangsung, maka rupiah terancam kembali terjerembab ke zona merah. Rupiah akan sulit melepaskan diri jika tekanan eksternal begitu kuat.
Sentimen ketiga, dan yang akan lagi-lagi membebani rupiah, adalah kenaikan harga minyak dunia. Pada pukul 04:50 WIB, harga minyak jenis brent melesat 2,17% sementara light sweet melonjak 2,31%.
Penguatan di bursa saham AS memberikan energi bagi harga komoditas ini. Investor sepertinya berpandangan bahwa 2019 bisa jadi tidak seburuk yang dibayangkan, masih ada secercah harapan yang membuat Wall Street mampu menguat.
Oleh karena itu, ada peluang perekonomian global tidak akan melambat seperti perkiraan. Artinya, ada kemungkinan permintaan energi masih akan naik sehingga harga si emas hitam pun terdongkrak.
Bagi rupiah, lonjakan harga minyak adalah kabar buruk. Sebab, kenaikan harga minyak aka membuat nilai impornya membengkak, meski jumlah yang diimpor tidak naik.
Ini tentu akan menjadi beban buat neraca perdagangan, dan kemudian transaksi berjalan (current account). Tanpa beking devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, rupiah akan sulit untuk menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular