
Newsletter
Mau Memulai Perdagangan Perdana di 2019? Baca Ini Dulu...
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 January 2019 05:52

Dari Wall Street, tiga indeks utama menguat signifikan di perdagangan terakhir 2018. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melesat 1,15%, S&P 500 naik 0,85%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,85%.
Namun secara YtD, bursa saham New York melemah dalam pada 2018. DJIA anjlok 5,63%, S&P 500 amblas 6,41%, dan Nasdaq ambrol 3,99%.
Wall Street sejatinya memulai 2018 dengan meyakinkan. Dampak pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang peribadi dan badan di AS yang diteken Presiden Donald Trump pada akhir 2017 membuat pelaku pasar bergairah. Ada harapan ekonomi AS tumbuh kencang.
Sejak 1 Januari hingga 26 Januari, DJIA melambung 7,22%. Kemudian S&P 500 melejit 6,57%, dan Nasdaq melesat 7,12%.
Namun investor kemudian menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi AS yang kencang akan menyebabkan The Federal Reserve/The Fed campur tangan. Apalagi saat dilantik menggantikan Janet Yellen sebagau Gubernur The Fed, Jerome 'Jay' Powell bersumpah untuk menghindarkan ekonomi AS dari risiko overheating, kondisi di mana permintaan tumbuh jauh melampaui penawaran sehingga menyebabkan tekanan inflasi tinggi.
The Fed pun memulai siklus kenaikan suku bunga acuan pada Maret 2018. Pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan tiga kali sepanjang 2018, tetapi kenyataannya bahkan sampai empat kali.
Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbalan investasi di AS, khususnya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Namun saham bukan instrumen investasi yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga tinggi, karena berpotensi menaikkan beban emiten dan menggerus laba.
Ditambah lagi ada sentimen negatif besar di perekonomian global bernama perang dagang AS vs China. Ketika dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi saling hambat perdagangan, maka rantai pasok global akan terganggu dan pertumbuhan ekonomi melambat.
Perang dagang kemudian memancing investor untuk bermain aman. Instrumen berisiko seperti saham banyak dilepas dan pelaku pasar memilih mengalihkan dana ke aset-aset aman (safe haven).
"Pelaku pasar awalnya terbuai. Mereka sudah mengambil posisi bahwa volatilitas akan minim pada 2018. Namun begitu ada perubahan sedikit saja, investor melakukan reposisi," tutur Thomas Martin, Senior Portfolio Manager di Globalt Investment yang berbasis di Atlanta, mengutip Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Namun secara YtD, bursa saham New York melemah dalam pada 2018. DJIA anjlok 5,63%, S&P 500 amblas 6,41%, dan Nasdaq ambrol 3,99%.
Wall Street sejatinya memulai 2018 dengan meyakinkan. Dampak pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang peribadi dan badan di AS yang diteken Presiden Donald Trump pada akhir 2017 membuat pelaku pasar bergairah. Ada harapan ekonomi AS tumbuh kencang.
Sejak 1 Januari hingga 26 Januari, DJIA melambung 7,22%. Kemudian S&P 500 melejit 6,57%, dan Nasdaq melesat 7,12%.
Namun investor kemudian menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi AS yang kencang akan menyebabkan The Federal Reserve/The Fed campur tangan. Apalagi saat dilantik menggantikan Janet Yellen sebagau Gubernur The Fed, Jerome 'Jay' Powell bersumpah untuk menghindarkan ekonomi AS dari risiko overheating, kondisi di mana permintaan tumbuh jauh melampaui penawaran sehingga menyebabkan tekanan inflasi tinggi.
The Fed pun memulai siklus kenaikan suku bunga acuan pada Maret 2018. Pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan tiga kali sepanjang 2018, tetapi kenyataannya bahkan sampai empat kali.
Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbalan investasi di AS, khususnya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Namun saham bukan instrumen investasi yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga tinggi, karena berpotensi menaikkan beban emiten dan menggerus laba.
Ditambah lagi ada sentimen negatif besar di perekonomian global bernama perang dagang AS vs China. Ketika dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi saling hambat perdagangan, maka rantai pasok global akan terganggu dan pertumbuhan ekonomi melambat.
Perang dagang kemudian memancing investor untuk bermain aman. Instrumen berisiko seperti saham banyak dilepas dan pelaku pasar memilih mengalihkan dana ke aset-aset aman (safe haven).
"Pelaku pasar awalnya terbuai. Mereka sudah mengambil posisi bahwa volatilitas akan minim pada 2018. Namun begitu ada perubahan sedikit saja, investor melakukan reposisi," tutur Thomas Martin, Senior Portfolio Manager di Globalt Investment yang berbasis di Atlanta, mengutip Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular