Polling CNBC Indonesia

Konsensus: Kabar Gembira, Inflasi 2018 Diramal Cuma 3,04%

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 December 2018 08:30
Konsensus: Kabar Gembira, Inflasi 2018 Diramal Cuma 3,04%
Ilustrasi Pasar Tradisional (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Laju inflasi Indonesia pada 2018 diperkirakan melambat ketimbang tahun sebelumnya. Tanpa adanya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dan tarif listrik, inflasi berhasil dijaga stabil di kisaran 3%. 

Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan mengumumkan data inflasi nasional 2018 pada 2 Januari 2019. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan laju inflasi tahunan (year-on-year/YoY) pada Desember 2018 sebesar 3,04%. Inflasi YoY pada Desember akan sama dengan inflasi sepanjang tahun kalender (year-to-date/YtD).
 
InstitusiInflasi (%MtM)Inflasi (%YoY)Inflasi Inti (%YoY)
Maybank Indonesia0.583.093.07
BTN0.63.113.16
Standard Chartered0.422.983.11
Bahana Sekuritas0.482.983.05
Danareksa Research Institute0.422.93-
Bank Permata0.53.013.1
Bank Danamon0.553.063.15
Mandiri Sekuritas0.533.043.05
DBS-3.2-
MEDIAN0.5153.043.1
 
Apabila realisasi sesuai dengan ekspektasi pasar, maka laju inflasi Indonesia akan melambat lumayan signifikan. Tahun lalu, inflasi tercatat 3,61%. Namun masih kalah tipis dibandingkan 2016 yang hanya 3,02%.

Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik pada 2018 berdampak signifikan menahan laju inflasi. Pada 2017, pemerintah mencabut subsidi bagi sebagian pelanggan listrik daya 900 VA yang berdampak pada kenaikan tarif. Ini terjadi pada Januari, Maret, dan Mei yang memberi andil inflasi sebesar 0,81% sepanjang 2017. 

Namun tahun ini, pemerintah tidak lagi menerapkan kebijakan serupa. Akibatnya, laju inflasi tidak secepat 2017. 


Selain itu, pemerintahan Presiden Joko 'Jokowi' Widodo juga membangkitkan BBM jenis premium yang sempat mati suri. Pada April, pemerintah menegaskan BBM premium tidak boleh langka sehingga pasokannya kembali meningkat. 

Akibatnya, pengguna BBM non-subsidi (yang harganya relatif mengikuti perkembangan pasar) agak berkurang. Biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk membeli BBM pun ikut berkurang, sehingga tidak ada sumbangsih inflasi yang berarti dari pos ini. 

Kemudian, pemerintah juga tidak menaikkan harga BBM subsidi jenis minyak diesel alias solar. Caranya adalah dengan menambah subsidi solar yang awalnya Rp 500/liter menjadi Rp 2.000/liter. 

Solar adalah BBM krusial dalam proses logistik. Ketika harga solar tidak naik, maka biaya logistik juga bisa ditekan sehingga akhirnya berdampak kepada inflasi secara keseluruhan. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Namun secara bulanan, inflasi Desember diperkirakan terakselerasi dibandingkan November yang sebesar 0,27%. Wajar, karena memang biasanya terjadi peningkatan pada akhir tahun akibat Hari Natal dan Tahun Baru. 

"Kenaikan harga terjadi untuk sejumlah komoditas pangan seperti telur ayam, daging sapi, daging ayam, bawang bombai, wortel, kacang panjang, cabai rawit, dan cabai merah. Tekanan inflasi Desember juga sepertinya datang dari kenaikan tarif angkutan udara, sewa penginapan, dan kereta api," sebut Juniman, Ekonom Maybank Indonesia. 

Hal serupa dikemukakan Leo Putera Rinaldi, Ekonom Mandiri Sekuritas. Menurutnya, secara bulanan terpantau kenaikan harga untuk sejumlah bahan makanan seperti daging ayam ras (7,4%), telur ayam ras (9,57%), cabai merah (17,79%), dan cabai rawit (4,74%). 

"Namun, transmisi kenaikan harga dari produsen ke konsumen relatif kecil. Sebab harga energi (BBM dan listrik) tidak naik," ujar Leo. 

Sementara untuk 2019, Leo memperkirakan inflasi akan terakselerasi ke kisaran 4%. Akan tetapi, level ini masih tergolong sehat karena menandakan geliat ekonomi nasional. 

"Selain itu, inflasi masih relatif terkendali karena perkembangan yang dialami harga minyak," tuturnya. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sebagai informasi, harga si emas hitam memang merosot drastis mulai awal Oktober. Sejak 3 Oktober hingga 28 Desember, harga minyak jenis brent melorot 39,51%. 

 

Sepertinya tren penurunan harga minyak akan bertahan cukup lama. Sebab, investor masih saja mencemaskan ancaman kelebihan pasokan (oversupply). 

Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan produksi minyak pada 2019 adalah 101,84 juta barel/hari. Melampaui proyeksi permintaan yaitu 101,61 juta barel/hari. Akibatnya, harga minyak pun bergerak turun, dan mungkin bertahan dalam waktu yang tidak sebentar.


Apabila harga minyak dunia terus turun dan bertahan di level rendah, maka inflasi Indonesia akan terkendali. Sebab ya itu tadi, harga BBM dan tarif listrik tidak perlu naik. Apalagi kalau menyinggung 2019 sebagai tahun politik, sepertinya kenaikan harga BBM dan tarif listrik menjadi sesuatu yang begitu jauh.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular