
Polling CNBC Indonesia
Konsensus Pasar: BI Diramal Tahan Bunga Acuan di 6%
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 December 2018 12:13

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih mempertahankan suku bunga acuan esok hari. Kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate bulan lalu dinilai sudah memadai.
Besok, Perry Warjiyo dan kolega akan mengumumkan suku bunga acuan yang diputuskan setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG) selama 2 hari. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate masih bertahan di 6%.
Dari 12 ekonom yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus, 11 di antaranya memperkirakan suku bunga acuan tidak berubah. Hanya satu yang memperkirakan ada kenaikan 25 basis poin (bps) ke 6,25%.
BI sudah menaikkan suku bunga acuan 25 bps bulan lalu, langkah yang di luar perkiraan pasar. Namun langkah itu terbukti cukup ampuh membuat rupiah digdaya di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Selama November, rupiah menguat 5,45% secara point-to-point.
Akibat kenaikan suku bunga acuan, ada ekspektasi imbalan investasi (terutama di instrumen berpendapatan tetap) akan ikut terkerek. Arus modal deras mengalir ke Indonesia, khususnya di obligasi pemerintah.
Selama November, kepemilikan asing di obligasi negara bertambah Rp 35,61 triliun. Bahkan nilai kepemilikan asing menembus angka Rp 900 triliun, tertinggi sepanjang sejarah Republik Indonesia.
Ditambah lagi pemerintah memutuskan untuk membatalkan empat lelang obligasi yang tersisa hingga akhir tahun. Ini membuat pasokan obligasi berkurang, sehingga instrumen ini semakin menjadi buruan pelaku pasar.
Namun tidak hanya di obligasi, investor asing juga rajin berburu aset rupiah di pasar saham. Sepanjang November, investor asing membukukan beli bersih Rp 8,99 triliun. Derasnya arus modal portofolio alias hot money itu membuat rupiah menguat tajam.
Pada kuartal IV-2018, transaksi berjalan kemungkinan akan mengalami defisit yang lumayan dalam seperti kuartal sebelumnya. Sebab, neraca perdagangan pada Oktober dan November mencatat defisit masing-masing US$ 1,82 miliar dan US$ 2,05 miliar. Defisit perdagangan November bahkan menjadi yang terdalam sejak Juli 2013.
Defisit transaksi berjalan tersebut butuh tambalan, yang datangnya dari transaksi modal dan finansial, termasuk investasi portofolio di dalamnya. Tanpa sokongan dari hot money, maka defisit di Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) akan semakin parah.
Namun Satria menilai BI belum perlu sampai menaikkan suku bunga acuan demi menyelamatkan NPI. Ini karena defisit neraca perdagangan (dan transaksi berjalan) tidak akan bisa disembuhkan melalui kebijakan moneter.
"Defisit perdagangan November bukan disebabkan faktor struktural, melainkan lebih akibat penurunan harga komoditas yang menyebabkan ekspor tertekan. Siklus impor juga memang biasanya naik pada kuartal IV. Faktor-faktor ini di luar kuasa BI," jelas Satria.
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan yang ditempuh sebelumnya dinilai sudah cukup dan pada saatnya akan mampu membantu meringankan defisit transaksi berjalan. Kenaikan suku bunga acuan dapat mengendalikan permintaan sehingga bisa menekan impor dan mengurangi beban transaksi berjalan.
"Impor November sudah turun secara bulanan, dan tren ini sepertinya akan berlanjut. Dampak dari kenaikan suku bunga nantinya akan semakin terasa di perekonomian," sebut Satria.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Pasar Tak Kompak, Bunga Acuan BI Tetap atau Turun Nih?
Besok, Perry Warjiyo dan kolega akan mengumumkan suku bunga acuan yang diputuskan setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG) selama 2 hari. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate masih bertahan di 6%.
Dari 12 ekonom yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus, 11 di antaranya memperkirakan suku bunga acuan tidak berubah. Hanya satu yang memperkirakan ada kenaikan 25 basis poin (bps) ke 6,25%.
Institusi | BI 7 day Reverse Repo Rate (%) |
Mirae Asset | 6.25 |
CIMB Niaga | 6 |
BTN | 6 |
ING | 6 |
Maybank Indonesia | 6 |
Bahana Sekuritas | 6 |
Barclays | 6 |
ANZ | 6 |
Nomura | 6 |
Danareksa Research Institute | 6 |
Standard Chartered | 6 |
BCA | 6 |
BI sudah menaikkan suku bunga acuan 25 bps bulan lalu, langkah yang di luar perkiraan pasar. Namun langkah itu terbukti cukup ampuh membuat rupiah digdaya di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Selama November, rupiah menguat 5,45% secara point-to-point.
Akibat kenaikan suku bunga acuan, ada ekspektasi imbalan investasi (terutama di instrumen berpendapatan tetap) akan ikut terkerek. Arus modal deras mengalir ke Indonesia, khususnya di obligasi pemerintah.
Selama November, kepemilikan asing di obligasi negara bertambah Rp 35,61 triliun. Bahkan nilai kepemilikan asing menembus angka Rp 900 triliun, tertinggi sepanjang sejarah Republik Indonesia.
Ditambah lagi pemerintah memutuskan untuk membatalkan empat lelang obligasi yang tersisa hingga akhir tahun. Ini membuat pasokan obligasi berkurang, sehingga instrumen ini semakin menjadi buruan pelaku pasar.
Namun tidak hanya di obligasi, investor asing juga rajin berburu aset rupiah di pasar saham. Sepanjang November, investor asing membukukan beli bersih Rp 8,99 triliun. Derasnya arus modal portofolio alias hot money itu membuat rupiah menguat tajam.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, menyebutkan sebenarnya ada kemungkinan BI untuk menaikkan suku bunga acuan. Sebab, Indonesia masih membutuhkan hot money untuk menutup defisit transaksi berjalan (current account). Pada kuartal IV-2018, transaksi berjalan kemungkinan akan mengalami defisit yang lumayan dalam seperti kuartal sebelumnya. Sebab, neraca perdagangan pada Oktober dan November mencatat defisit masing-masing US$ 1,82 miliar dan US$ 2,05 miliar. Defisit perdagangan November bahkan menjadi yang terdalam sejak Juli 2013.
Defisit transaksi berjalan tersebut butuh tambalan, yang datangnya dari transaksi modal dan finansial, termasuk investasi portofolio di dalamnya. Tanpa sokongan dari hot money, maka defisit di Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) akan semakin parah.
Namun Satria menilai BI belum perlu sampai menaikkan suku bunga acuan demi menyelamatkan NPI. Ini karena defisit neraca perdagangan (dan transaksi berjalan) tidak akan bisa disembuhkan melalui kebijakan moneter.
"Defisit perdagangan November bukan disebabkan faktor struktural, melainkan lebih akibat penurunan harga komoditas yang menyebabkan ekspor tertekan. Siklus impor juga memang biasanya naik pada kuartal IV. Faktor-faktor ini di luar kuasa BI," jelas Satria.
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan yang ditempuh sebelumnya dinilai sudah cukup dan pada saatnya akan mampu membantu meringankan defisit transaksi berjalan. Kenaikan suku bunga acuan dapat mengendalikan permintaan sehingga bisa menekan impor dan mengurangi beban transaksi berjalan.
"Impor November sudah turun secara bulanan, dan tren ini sepertinya akan berlanjut. Dampak dari kenaikan suku bunga nantinya akan semakin terasa di perekonomian," sebut Satria.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Pasar Tak Kompak, Bunga Acuan BI Tetap atau Turun Nih?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular