Newsletter

Siap-siap, Wall Street 'Terbakar' Lagi!

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
18 December 2018 05:43
Siap-siap, Wall Street 'Terbakar' Lagi!
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia berakhir variatif pada perdagangan kemarin. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat, tetapi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan obligasi pemerintah mengalami koreksi. 

Kemarin, IHSG ditutup anjlok 1,3%. IHSG menjadi bursa saham dengan performa terbawah di Asia. 


Sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik 5,9 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini  sedang turun karena sepinya permintaan atau terjadi aksi jual. 


Namun, rupiah secara mengejutkan mampu menguat 0,07% di hadapan dolar AS kala penutupan pasar spot. Padahal rupiah nyaris sepanjang hari berada di zona merah.


Sentimen yang terjadi kemarin memang variatif. Dari dalam negeri, ada sentimen negatif yaitu rilis data perdagangan internasional. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekspor pada November terkontraksi alias minus 3,28% secara year-on-year (YoY). Lalu impor masih melesat dengan pertumbuhan 11,68% YoY. 

Perkembangan tersebut membuat neraca perdagangan mencatat defisit yang dalam yaitu US$ 2,05 miliar. Ini menjadi defisit paling dalam sejak Juli 2013. 


Sementara dari sisi eksternal, investor juga khawatir dengan potensi resesi di AS yang semakin terlihat. Obligasi pemerintah AS terus mengalami inverted yield, yaitu yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan yang lebih panjang. 

Terjadinya inverted yield merupakan pertanda awal datangnya resesi, karena investor meminta 'jaminan' yang lebih tinggi dalam jangka pendek. Artinya, risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. 

Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020. 


Namun, masih ada sentimen positif yang mampu mengangkat rupiah dan mata uang Asia lainnya menguat di hadapan greenback. Investor mengapresiasi perkembangan dari China.

Negeri Tirai Bambu berkomitmen untuk mempercepat reformasi ekonomi dengan lebih membuka diri.
 Kebijakan China yang masih cenderung memproteksi industri dan pasar dalam negerinya dalam bentuk subsidi dan sebagainya mendapat kritikan dari banyak pihak, terutama Presiden AS Donald Trump. Dalam pembicaraan Trump dengan Presiden China Xi Jinping, Beijing sepakat untuk lebih membuka diri agar produk dan investasi asing punya kesetaraan (level playing field) dengan pemain dalam negeri. 

"Tekanan dari AS bisa menjadi kesempatan bagi China untuk melakukan reformasi. Tekanan ini sangat besar, dan kami harus bersiap untuk jangka panjang," sebut seorang penasihat ekonomi pemerintah China, mengutip Reuters. 

"Mempercepat reformasi ekonomi juga merupakan agenda kami. Kami akan mendorong terciptanya reformasi yang lebih berorientasi pasar," lanjutnya. 

Jika China semakin terbuka, maka peluang damai dagang dengan AS juga semakin besar. Perang dagang AS vs China yang bergelora sejak awal tahun ini bisa saja berakhir dan berganti menjadi damai dagang yang membawa kemakmuran bagi dunia. 

Aura damai dagang pun menyeruak sehingga investor mulai kembali melirik aset-aset berisiko di negara berkembang. Arus modal mengalir ke Asia sehingga memperkuat nilai mata uang. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia, sepertinya harus waspada hari ini karena ada berita buruk dari Wall Street. Tiga indeks utama jatuh, di mana Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 2,11%, S&P 500 ambrol 2,08%, dan Nasdaq Composite amblas 2,27%. 

Fokus investor saat ini adalah bersiap untuk rapat The Federal Reserve/Th Fed yang hasilnya diumumkan pada 19 Desember. Pelaku pasar memperkirakan Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 2,25-2,5%. Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan ke sana mencapai 72,3%. 

Saham bukanlah instrumen yang bisa bekerja optimal di lingkungan suku bunga tinggi. Kala suku bunga tinggi, investor cenderung konservatif sehingga tidak cocok dengan sifat alami saham yang penuh risiko. Selain itu, suku bunga tinggi juga akan menggerus laba emiten sehingga sahamnya menjadi kurang menarik. 

"Kita semua menantikan The Fed. Jika The Fed sedikit melepaskan kakinya dari pedal, maka ketidakpastian akan sedikit berkurang," ujar Ryan Detrick, Senior Market Strategist di LPL Finansial yang barbasis di North Carolina, mengutip Reuters. 

Luka Wall Street bertambah parah dengan komentar Jeffrey Gundlach, CEO DoubleLine Capital yang mengelola dana lebih dari US$ 123 miliar. Menurutnya, pasar masih akan cenderung bearish dalam waktu yang cukup lama. 

"Saya rasa ini akan bertahan lama. Kita sudah mengalami fase pertama, dan fase kedua biasanya akan lebih menyakitkan. Situasinya memang sedang tidak normal karena lonjakan defisit fiskal terjadi kala The Fed sedang dalam siklus menaikkan suku bunga," kata Gundlach, mengutip Reuters. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdgangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya Wall Street yang anjlok parah. Dikhawatirkan 'kebakaran' di Wall Street bisa menjalar hingga ke Asia, termasuk Indonesia. 

Sentimen kedua, rupiah sepertinya punya harapan untuk menguat karena dolar AS masih tertekan. Pada pukul 05:00 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,3%. 

Memang benar The Fed kemungkinan besar menaikkan suku bunga acuan pekan ini. Namun arah kebijakan moneter 2019 sepertinya akan berubah. 

Ada kemungkinan The Fed tidak akan agresif seperti tahun ini, karena ada potensi perlambatan di perekonomian Negeri Paman Sam. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi AS tumbuh 2,9% tahun ini dan melambat menjadi 2,5% pada 2019.  

Dampak pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang diterapkan pada akhir 2017 sepertinya sudah mereda pada akhir 2018 dan semakin pudar pada 2019. Hasilnya adalah perlambatan ekonomi karena rumah tangga dan dunia usaha tidak lagi ekspansif. 

Selain itu, laju inflasi di AS juga sudah searah dengan target The Fed. Core Personal Consumption Expenditure (Core PCE), preferensi The Fed dalam mengukur inflasi, sudah beberapa kali menyentuh target 2%. 

Oleh karena itu, sebenarnya tujuan pengetatan moneter sudah tercapai yaitu mengerem laju ekonomi untuk menghindari overheating. Kebutuhan untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif sudah semakin kecil. 

Pelaku pasar pun memperkirakan The Fed hanya akan menaikkan suku bunga acuan dua kali sepanjang 2019. Lebih sedikit dari proyeksi sebelumnya yaitu setidaknya tiga kali. 

Sehingga dalam jangka menengah-panjang, dolar AS akan lebih sedikit diminati. Ini membuka ruang bagi rupiah untuk kembali menguat. 

Sentimen ketiga adalah harga minyak, yang kembali anjlok lumayan parah. Psda pukul 05:08 WIB, harga minyak jenis brent amblas 4% sementara light sweet ambrol 2,59%. 

Harga si emas hitam anjlok merespons data cadangan minyak AS di Cushing (Oklahoma) yang naik lebih dari 1 juta barel dalam periode 11-14 juta Desember, mengutip Genscape. Kemudian, US Energy Information Administration (EIA) juga melaporkan bahwa produksi dari tujuh lapangan utama minyak serpih (shale oil) di Negeri Paman Sam diekspektasikan menembus angka 8 juta barel/hari pada akhir tahun ini, seperti dilansir dari Reuters.

Kala pasokan terus meningkat, permintaan justru kemungkinan turun. Perlambatan ekonomi dunia yang semakin nyata memunculkan persepsi bahwa permintaan energi akan ikut melambat.

Kemarin, pembacaan awal untuk data Manufacturing PMI zona Eropa versi Markit periode Desember diumumkan sebesar 51,4. Lebih rendah dari konsensus yang sebesar 51,9. 

Kemudian, akhir pekan lalu Biro Statistik Nasional China mengumumkan produksi industri hanya tumbuh 5,4% YoY pada November, yang merupakan laju terlambat dalam hampir 3 tahun terakhir. Pertumbuhan bulan lalu juga lebih lambat daripada konsensus Reuters sebesar 5,9%. 

Penjualan ritel di China juga 'hanya' naik 8,1% YoY pada November, lebih lambat dari pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 8,6% sekaligus masih di bawah ekspektasi pasar sebesar 8,8%. Secara historis, capaian itu juga menjadi yang terlambat sejak Mei 2003. 

Penurunan harga minyak mentah dapat membuat saham-saham sektor energi dalam negeri menjadi kurang diapresiasi. Di sisi lain, hal tersebut justru bisa menjadi sentimen positif bagi rupiah. 

Harga minyak mentah yang turun bisa meringankan beban impor migas. Pos ini adalah kontributor besar dalam defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Ketika harga minyak turun, maka beban neraca pembayaran akan berkurang dan defisit transaksi berjalan bisa ditekan. 

Akibatnya, rupiah akan lebih punya fundamental untuk menguat. Sebab, ada pasokan devisa yang lebih memadai dari ekspor-impor barang dan jasa. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis minutes of meeting rapat Dewan Gubernur Reserve Bank of Australia (07:30 WIB).
  • Rilis data German Ifo Business Climate periode Desember 2018 (16:00 WIB).
  • Rilis data Izin Pembangunan Perumahan AS periode November 2018 (20:30 WIB).
  • Rilis data Pembangunan Rumah Baru di AS periode November 2018 (20:30 WIB).

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Tirta Mahakam Resources Tbk (TIRT)RUPSLB11:00
PT Alkindo Naratama Tbk (ALDO)RUPS Tahunan11:00
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY)5,17%
Inflasi (November 2018 YoY)3,23%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2018)6%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2,19% PDB
Transaksi berjalan (Q III-2018)-3,37% PDB
Neraca pembayaran (Q III-2018)-US$ 4,39 miliar
Cadangan devisa (November 2018)US$ 117,21 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular