
Newsletter
Siap-siap, Wall Street 'Terbakar' Lagi!
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
18 December 2018 05:43

Pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia, sepertinya harus waspada hari ini karena ada berita buruk dari Wall Street. Tiga indeks utama jatuh, di mana Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 2,11%, S&P 500 ambrol 2,08%, dan Nasdaq Composite amblas 2,27%.
Fokus investor saat ini adalah bersiap untuk rapat The Federal Reserve/Th Fed yang hasilnya diumumkan pada 19 Desember. Pelaku pasar memperkirakan Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 2,25-2,5%. Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan ke sana mencapai 72,3%.
Saham bukanlah instrumen yang bisa bekerja optimal di lingkungan suku bunga tinggi. Kala suku bunga tinggi, investor cenderung konservatif sehingga tidak cocok dengan sifat alami saham yang penuh risiko. Selain itu, suku bunga tinggi juga akan menggerus laba emiten sehingga sahamnya menjadi kurang menarik.
"Kita semua menantikan The Fed. Jika The Fed sedikit melepaskan kakinya dari pedal, maka ketidakpastian akan sedikit berkurang," ujar Ryan Detrick, Senior Market Strategist di LPL Finansial yang barbasis di North Carolina, mengutip Reuters.
Luka Wall Street bertambah parah dengan komentar Jeffrey Gundlach, CEO DoubleLine Capital yang mengelola dana lebih dari US$ 123 miliar. Menurutnya, pasar masih akan cenderung bearish dalam waktu yang cukup lama.
"Saya rasa ini akan bertahan lama. Kita sudah mengalami fase pertama, dan fase kedua biasanya akan lebih menyakitkan. Situasinya memang sedang tidak normal karena lonjakan defisit fiskal terjadi kala The Fed sedang dalam siklus menaikkan suku bunga," kata Gundlach, mengutip Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Fokus investor saat ini adalah bersiap untuk rapat The Federal Reserve/Th Fed yang hasilnya diumumkan pada 19 Desember. Pelaku pasar memperkirakan Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 2,25-2,5%. Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan ke sana mencapai 72,3%.
Saham bukanlah instrumen yang bisa bekerja optimal di lingkungan suku bunga tinggi. Kala suku bunga tinggi, investor cenderung konservatif sehingga tidak cocok dengan sifat alami saham yang penuh risiko. Selain itu, suku bunga tinggi juga akan menggerus laba emiten sehingga sahamnya menjadi kurang menarik.
"Kita semua menantikan The Fed. Jika The Fed sedikit melepaskan kakinya dari pedal, maka ketidakpastian akan sedikit berkurang," ujar Ryan Detrick, Senior Market Strategist di LPL Finansial yang barbasis di North Carolina, mengutip Reuters.
Luka Wall Street bertambah parah dengan komentar Jeffrey Gundlach, CEO DoubleLine Capital yang mengelola dana lebih dari US$ 123 miliar. Menurutnya, pasar masih akan cenderung bearish dalam waktu yang cukup lama.
"Saya rasa ini akan bertahan lama. Kita sudah mengalami fase pertama, dan fase kedua biasanya akan lebih menyakitkan. Situasinya memang sedang tidak normal karena lonjakan defisit fiskal terjadi kala The Fed sedang dalam siklus menaikkan suku bunga," kata Gundlach, mengutip Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular