Ajaibnya Perjalanan Rupiah Hari Ini

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 December 2018 17:12
Ajaibnya Perjalanan Rupiah Hari Ini
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Perjalanan rupiah hari ini agak ajaib. Dibuka stagnan, rupiah kemudian menghabiskan sebagian hari dengan pelemahan. Namun jelang penutupan hingga selesainya perdagangan, rupiah mampu berbalik menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS). 

Pada Senin (17/12/2018), US$ 1 kala penutupan pasar spot setara dengan Rp 14.570. Rupiah menguat 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.  

Mengawali hari, rupiah berada di Rp 14.580/US$ atau sama seperti posisi penutupan terakhir. Namun setelah itu rupiah bergerak melemah dan depresiasinya semakin dalam. 


Akan tetapi selepas tengah hari, rupiah mulai membaik. Pelemahan rupiah mulai menipis dan akhirnya mampu finis di zona hijau alias menguat. 


Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini: 

 

Rupiah yang awalnya ketinggalan kereta kini mampu sejajar dengan mata uang Asia lainnya. Ya, sebagian mata uang utama Benua Kuning memang menguat di hadapan dolar AS. 


Rupee India menjadi mata uang terbaik, disusul won Korea Selatan dan dolar Singapura di posisi ketiga. Walau tidak masuk jajaran elit, bisa menguat saja rupiah sudah harus bersyukur. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 16:30 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Rupiah terpukul nyaris seharian akibat rilis data perdagangan internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan pada November 2018 defisit US$ 2,05 miliar, jauh lebih dalam dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu minus US$ 990 juta. Defisit neraca perdagangan November juga menjadi yang terdalam sejak Juli 2013. 


Dibayangi oleh risiko defisit neraca perdagangan yang nantinya akan menular ke transaksi berjalan (current account), rupiah terkena aksi jual. Dengan persepsi seretnya pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, rupiah menjadi kurang menarik karena dinilai sulit menguat. 

Aset-aset berbasis rupiah pun mengalami pelepasan massal. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 405,61 miliar yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,3%. 

Namun jelang penutupan pasar, angin mulai berpihak kepada rupiah. Sepertinya aura positif dari faktor eksternal lebih kuat menarik rupiah ke jalur hijau.

Investor mengapresiasi perkembangan dari China. Seorang penasihat ekonomi pemerintah China menyebutkan Negeri Tirai Bambu berkomitmen untuk mempercepat reformasi ekonomi dengan lebih membuka diri. 

Kebijakan China yang masih cenderung memproteksi industri dan pasar dalam negerinya dalam bentuk subsidi dan sebagainya mendapat kritikan dari banyak pihak, terutama Presiden AS Donald Trump. Dalam pembicaraan Trump dengan Presiden China Xi Jinping, Beijing sepakat untuk lebih membuka diri agar produk dan investasi asing punya kesetaraan (level playing field) dengan pemain dalam negeri. 

"Tekanan dari AS bisa menjadi kesempatan bagi China untuk melakukan reformasi. Tekanan ini sangat besar, dan kami harus bersiap untuk jangka panjang," sebut seorang penasihat ekonomi pemerintah China, mengutip Reuters. 

"Mempercepat reformasi ekonomi juga merupakan agenda kami. Kami akan mendorong terciptanya reformasi yang lebih berorientasi pasar," lanjutnya. 

Jika China semakin terbuka, maka peluang damai dagang dengan AS juga semakin besar. Perang dagang AS vs China yang bergelora sejak awal tahun ini bisa saja berakhir dan berganti menjadi damai dagang yang membawa kemakmuran bagi dunia. 

Aura damai dagang pun menyeruak sehingga investor mulai kembali melirik aset-aset berisiko di negara berkembang. Arus modal mengalir ke Asia sehingga memperkuat nilai mata uang. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Kemudian, dolar AS sendiri memang sedang memasuki masa konsolidasi. Pada pukul 16:48 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,13%. Dolar AS menginjak pedal rem untuk sementara setelah sepanjang pekan lalu Dollar Index menguat nyaris 1%.

Selain itu, investor juga bersikap wait and see sembari memantau rapat The Federal Reserve/The Fed yang hasilnya akan diumumkan Kamis dini hari waktu Indonesia. Pelaku pasar memperkirakan Jerome 'Jay' Powell dan kawan-kawan akan menaikkan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2,25-2,5%. Menurut CME Fedwatch, probabilitasnya mencapai 78,4%. 

Kenaikan ini sudah lama diperkirakan, sudah masuk hitungan, sudah priced-in. Fokus investor kini mencari petunjuk yang lebih terang-benderang mengenai arah kebijakan moneter 2019. 

Ada kemungkinan The Fed tidak akan agresif seperti tahun ini, karena ada potensi perlambatan di perekonomian Negeri Paman Sam. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi AS tumbuh 2,9% tahun ini dan melambat menjadi 2,5% pada 2019.  

Dampak pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang diterapkan pada akhir 2017 sepertinya sudah mereda pada akhir 2018 dan semakin pudar pada 2019. Hasilnya adalah perlambatan ekonomi. 

Selain itu, laju inflasi di AS juga sudah searah dengan target The Fed. Core Personal Consumption Expenditure (Core PCE), preferensi The Fed dalam mengukur inflasi, sudah beberapa kali menyentuh target 2%. 

Oleh karena itu, sebenarnya tujuan pengetatan moneter sudah tercapai yaitu mengerem laju ekonomi untuk menghindari overheating. Kebutuhan untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif sudah mengecil. 

Pelaku pasar pun memperkirakan The Fed hanya akan menaikkan suku bunga acuan dua kali sepanjang 2019. Lebih sedikit dari proyeksi sebelumnya yaitu setidaknya tiga kali. 

Sehingga dalam jangka menengah-panjang, dolar AS akan lebih sedikit diminati. Ini membuka ruang bagi rupiah untuk kembali menguat.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular